BAB 22
Asap hitam mulai bertebaran di mana-mana dalam auditorium tersebut. Asap hitam mulai menggumpal membentuk sosok Rendy Ibrahim. Rendy Ibrahim muncul di hadapan Erick Vildy yang sudah tidak berdaya di lantai.
"Akhirnya mangsa sudah jatuh ke dalam perangkapku. Malam ini aku akan mendapatkan bintang kemujuran warna merah," terdengar tawa Rendy Ibrahim yang membahana.
Dengan sekali sapuan tangannya, jarum-jarum hitam melesat dengan cepat ke arah Erick Vildy dan Melisa Rayadi. Jeritan Melisa Rayadi melengking tinggi lagi. Tampak Melisa Rayadi yang menutup matanya. Erick Vildy menyapukan tangannya juga. Ia berubah menjadi seberkas sinar merah. Sinar merah menyelimuti sekujur tubuh sang putri pujaannya dan menghilang dari tempat itu. Dia mengamankan sang putri pujaan ke tempat lain. Jarum hitam masih melesat ke arahnya dengan cepat satu demi satu. Erick Vildy terus menghindar dan menghindar. Dia naik ke atas dinding. Satu per satu jarum hitam meninggalkan bekas-bekas lubang tusukan di dinding dan di lantai.
Erick Vildy berbalik arah kali ini. Dengan sekali sapuan gelombang merahnya, akhirnya jarum hitam milik Rendy Ibrahim sirna seketika. Rendy Ibrahim melesat maju menerjang ke arah Erick Vildy yang masih bertengger di atas dinding. Erick Vildy juga melesat maju menerjang ke arah lawan. Terjadilah pertarungan seru di udara. Tangan dan kaki keduanya saling berlaga. Beberapa kali terjadi ledakan gelombang di udara.
"Rick! Hati-hati, Rick! Rick!" jerit Melisa Rayadi dari bawah, menyaksikan pertarungan di atasnya dengan penuh ketegangan.
Rendy Ibrahim mengeluarkan tali-tali hitamnya. Tali-temali melesat dengan cepat ke arah Erick Vildy. Erick Vildy menghindari tali-temali itu dengan melesat cepat ke bagian lantai dua auditorium. Dengan menyapukan gelombang merahnya di udara, gelombang merah membentuk sebuah pedang. Sekali lagi Rendy Ibrahim mengarahkan tali-temalinya ke arah Erick Vildy. Erick Vildy melesat maju menerjang ke arah Rendy Ibrahim. Pedang secara otomatis memotong tali-temali itu satu per satu. Akan tetapi, racun pada tubuh Erick Vildy bereaksi sekali lagi. Erick Vildy kehilangan kekuatannya di udara. Pedang merahnya sirna begitu saja. Mata Melisa Rayadi membesar begitu melihat racun pada tubuh sang kekasih pujaan hati bereaksi lagi.
Erick Vildy terkena serangan tali-temali hitam beberapa kali. Tampak darah merah segar yang muncrat dari mulutnya. Akhirnya, Erick Vildy terhempas kembali ke lantai satu auditorium.
Pas saat yang bersamaan, lorong waktu terbuka di auditorium tersebut. Dua E yang lain muncul di dalam auditorium. Erdie Vio langsung mengarahkan gelombang hijaunya ke arah Rendy Ibrahim. Rendy Ibrahim yang tanpa persiapan langsung terkena gelombang hijau tersebut. Hilang semua tali-temalinya dan terhempaslah ia ke lantai satu auditorium.
Dua E yang lain segera menghampiri si saudara sulung.
"Rick! Rick!" panggil Erwie Vincent.
"Dia memasukkan racun ke dalam cangkirmu, Wie. Si pelayan salah menuangkan sirup. Aku minum dari cangkirmu dan akhirnya racun itu kini sudah bersarang di dalam tubuhku," kata Erick Vildy terbata-bata. Racun bereaksi sekali lagi. Terdengar jeritan Erick Vildy yang tidak berdaya.
Rendy Ibrahim memecahkan semua piring dan gelas yang ada di atas meja. Pecahan-pecahannya diarahkan ke 3E. Erwie Vincent dan Erdie Vio mengarahkan gelombang sinar mereka menghadang semua pecahan itu. Sirna seketika semua pecahan tersebut begitu terkena gelombang sinar kuning dan hijau. Rendy Ibrahim melesat maju lagi.
Kali ini aku harus berhasil mendapatkan tiga bintang kemujuran itu. Dewa Batu Hitam sudah berjanji padaku. Jika aku berhasil mendapatkan tiga bintang kemujuran malam ini, kemujuran dan keberuntungan akan berpihak padaku.
Saudara tengah dan saudara bungsu melesat maju. Terjadilah laga tangan dan kaki antara dua jagoan utama dan sang musuh utama.
Erick Vildy perlahan-lahan bangkit dan duduk di lantai. Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, dia mengeluarkan sinar merahnya lagi. Sinar merah diarahkan ke tubuh kedua saudaranya. Tubuh 2E yang lain masing-masing mengeluarkan sinar kuning dan hijau. Ketiga sinar bergabung dan menerjang ke arah Rendy Ibrahim. Tampak darah merah segar muncrat dari mulut Rendy Ibrahim ketika ia terhempas mundur jauh ke belakang.
Muncullah sosok Siluman Batu Hitam. Sang siluman menyapukan tangannya di udara dan muncullah seberkas sinar hitam pekat dari tangannya. Sang siluman menghadang tubuh Rendy Ibrahim di udara. Sementara itu dari arah berlawanan, tiga sinar kekuatan milik 3E masih terus menyerang tanpa henti.
"Dewa… Dewa… Dewa Batu Hitam… Kenapa? Kenapa? Kenapa kau lakukan ini padaku? Kenapa kau menggunakan aku sebagai umpan…? Kenapa…?" tanya Rendy Ibrahim di batas antara kesedihan dan ketidakberdayaannya.
"Kau sudah berjanji akan membantuku bukan, Rendy? Kau sudah berjanji… Oleh sebab itu, kau harus memenuhinya, bahkan jika kau harus mengorbankan nyawamu sekalian. Sama seperti Stella Kuangdinata, bagi para pengikutku yang gagal dalam tugas, harus mati. Mereka harus mati secara terhormat dalam pertempuran. Berhasil atau mati…" kata Siluman Batu Hitam tanpa rasa kasihan sedikit pun.
Racun dalam tubuh Erick Vildy bereaksi lagi. Dia merasakan kesakitan yang tiada tara pada dada kirinya. Sementara itu, Dewa Perak yang berada di tempat lain, juga mengalami luka yang sama. Secara otomatis, Dewa Perak juga berteriak-teriak tak karuan sambil memegangi dada kirinya. Sudah tampak bagian dada kirinya yang menghitam karena racun sudah semakin mengerikan.
"Dewa Perak! Dewa Perak!" teriak Dewi Ruby sambil membaringkan Dewa Perak ke tempat tidurnya. Akan tetapi, rasa sakit tidak berkurang. Dewa Perak masih berteriak-teriak tak karuan sembari memegangi dada kirinya.
"Telah terjadi sesuatu pada 3E! Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah… Apakah… Apakah Siluman Batu Hitam sudah pulih dari luka-lukanya dan sudah bangkit dari pertapaannya? Oh, tidak…! Oh, Buddha… Apa yang harus aku lakukan sekarang…?" Dewi Ruby mulai panik sembari menggigit jari.
Erick Vildy tidak bisa menahan rasa sakitnya lagi. Racun dalam tubuhnya kian menggerogotinya. Dia tidak bisa mengeluarkan kekuatan merahnya lagi. Akibatnya, 3E kehilangan satu kaki. Tentu saja gelombang sinar hitam milik Siluman Batu Hitam yang memenangkan pertarungan itu. Erwie Vincent dan Erdie Vio tercampak ke dua arah yang berbeda dengan darah merah segar yang muncrat dari mulut mereka.
Tampak Rendy Ibrahim yang terhempas ke depan. Tubuhnya tampak menghantam dinding. Setelah itu, tubuhnya tampak melorot lemas ke bawah dan tidak bergerak lagi. Tampak bekas noda darah dan retakan besar di dinding.
Erdie Vio terjatuh persis di samping abang sulungnya. Sinar hitam milik Siluman Batu Hitam melesat maju lagi. Sinar hitam mulai menggumpal dan membentuk banyak sekali ular hitam. Semua ular hitam melesat dengan kecepatan tinggi ke arah Erick Vildy dan Erdie Vio.
"Tidak! Awas, Rick, Die!" teriakan Melisa Rayadi kembali melengking tinggi.
Tak diduga-duga sebelumnya, kini Erwie Vincent berlari secepat kilat ke depan kedua saudaranya. Tak ayal lagi, ular-ular hitam kontan menembus sekujur tubuhnya. Tampak darah merah segar yang mengguyur dengan deras dari mulut dan sekujur tubuhnya. Tampak ular-ular hitam bermunculan dari seluruh tubuh Erwie Vincent dengan kepala-kepala mereka yang masih bergerak-gerak.
"Wie…!" teriak Erick Vildy dan Erdie Vio berbarengan. Air mata mulai mengalir turun dari pelupuk mata keduanya.
"Wie…! Wie…!" teriak Yenty Marlina yang ternyata sejak tadi menyaksikan pertarungan tersebut. Ia langsung berlari ke depan, menerjang ke arah Siluman Batu Hitam tanpa berpikir panjang lagi.
"Jangan, Yenty! Orang itu bukan manusia!" teriak Yenny Mariana hendak mencegat lengan Yenty Marlina, namun Yenty Marlina sudah terlanjur berlari pergi.
Dengan sekali sapuan tangan saja, Siluman Batu Hitam berhasil mengirim tubuh Yenty Marlina kembali ke belakang. Tampak darah merah segar muncrat dari mulutnya. Yenty Marlina terhempas kembali ke pangkuan Yenny Mariana dan Yuni Mariany. Sejurus kemudian, dia sudah kehilangan kesadarannya dan dunianya tenggelam dalam kegelapan yang hitam pekat.
"Yenty…!" teriak Yenny Mariana dan Yuni Mariany berbarengan.
"Lepaskan Bang Erwie Vincent!" teriak Theo Rafael.
"Lepaskan dia!" sahut Tommy Rido.
Lima T menerjang ke arah Siluman Batu Hitam. Namun, juga dengan sekali sapuan tangan dari Siluman Batu Hitam, 5T kalah semuanya dan terhempas ke arah panggung. Bahkan, tubuh Timothy Ricky menghantam latar belakang panggung. Hancurlah seisi panggung yang menimpa tubuh Timothy Ricky yang terkapar tidak berdaya di bawah.
"Kenapa kau lakukan ini, Wie…?" tampak air mata Erick Vildy yang menganak sungai.
"Kenapa kau mengorbankan dirimu demi kami, Wie…?" tangisan Erdie Vio tak kunjung reda.
"Pulang… Pulang… Pulang dari masa lalu, aku curiga… curiga… curiga… Aku curiga kalian bukan hanya saudaraku, Rick, Die. Aku curiga kalian berdua adalah… adalah… adalah dua belahan jiwaku yang terpisah di lain tempat dan lain zaman. Jadi, menyelamatkan kedua belahan jiwaku sama saja aku menyelamatkan jiwaku sendiri bukan?" kalimat Erwie Vincent terdengar terbata-bata di sini. Tampak dirinya yang semakin dan semakin lemah.
"Sungguh keras kepala! Kenapa kalian terus mau melawanku? Kenapa kalian tidak mau menyerahkan tiga bintang kemujuran padaku secara baik-baik? Jika saja kalian menyerahkan tiga bintang kemujuran kalian padaku secara baik-baik, hal ini tak perlu terjadi," terdengar suara sang siluman yang berdentum.
Sontak secara otomatis, semua ular hitam kembali berubah menjadi asap hitam. Asap hitam mulai menyelimuti seluruh tubuh Erwie Vincent. Sontak Erwie Vincent langsung menghilang dari hadapan kedua saudaranya.
"Wie…! Wie…!" teriak Erick Vildy dan Erdie Vio berbarengan.
"Jika ingin saudara kalian ini selamat, gampang saja, Erick Vildy, Erdie Vio… Pas pada tengah malam tahun baru nanti, datanglah ke puncak gunung tertinggi di Danau Toba. Wahai para dewa dan manusia… Kalian sudah lama menyepelekan, meremehkan, dan menghinaku. Aku ingin tunjukkan pada kalian semua. Malam tahun baru yang seharusnya paling menggembirakan, justru akan menjadi malam yang paling menyedihkan seumur hidup kalian."
Siluman Batu Hitam juga menyapukan asap hitamnya ke tubuh Rendy Ibrahim yang sudah tidak bergerak. Menghilanglah tubuh itu dari tempat tersebut. Masih terdengar tawa sang siluman yang membahana sebelum akhirnya ia menghilang dari auditorium.
"Julia Dewi… Julia Dewi…" kata Melisa Rayadi begitu ia melihat Julia Dewi sudah sejak tadi berdiri di pintu samping auditorium dengan sepasang matanya yang kosong dan hampa.
Akan tetapi, begitu Melisa Rayadi hendak meraih Julia Dewi ke dalam pelukan, dirasakannya tubuh Julia Dewi mulai ambruk. Secara otomatis, Julia Dewi kehilangan kesadarannya dan terjatuh ke dalam pelukan Melisa Rayadi.
"Julia…! Julia…! Julia…! Sadarlah, Julia…! Sadarlah…!" teriak Melisa Rayadi sambil menepuk-nepuk pipi Julia Dewi. Akan tetapi, yang ditepuk-tepuk sama sekali tidak bergeming.
Erick Vildy dan Erdie Vio mengeluarkan sinar merah dan sinar hijau mereka. Dalam sekejap, auditorium kembali tampak tertata rapi seperti sedia kala. Sama sekali tidak tampak telah terjadi pertarungan besar di sana.
Si pelayan tadi kembali ke meja 3E. Dia terperanjat kaget karena cangkir kuning yang dituanginya dengan sirup tadi kini sudah menghitam.
Aldo Morales tampak bersembunyi di belakang panggung. Ia telah mendengar dan melihat semua pertarungan barusan. Ia tidak jadi membantu Siluman Batu Hitam setelah mengetahui semua fakta yang ada. Tampak air matanya menganak sungai dan bergulir turun dari pelupuk matanya.
Stella… Stella… Stella… Kini aku tahu siapa yang telah membunuhmu. Aku tahu siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas kematianmu, Stella. Selama ini aku telah keliru menumpahkan semua dendam dan kebencian ini kepada 3E. Mereka sama sekali tidak bersalah… Yang telah membunuhmu, yang seharusnya bertanggung jawab atas kematianmu justru adalah sosok yang telah memberiku kekuatan ini. Oh, Stella… Katakan kepadaku… Beritahu aku… Aku harus bagaimana sekarang…? Aku harus bagaimana…?
***
Terpaksa Pak Faiz dan Nyonya Florencia membohongi tiga pasang suami istri yang menjadi tamu penting mereka malam itu. Mereka terpaksa mengatakan, 3E dan ketiga kekasih mereka sedang ada pementasan naga di tempat lain sehingga mereka tidak sempat bergabung di Marriott untuk makan malam.
Tampak mata Nyonya Florencia yang sembab sepanjang malam tahun baru dan ketika ditanya tamu-tamunya masalah apa yang telah terjadi, Nyonya Florencia hanya menjawab seadanya dan tampak tidak banyak bicara malam itu.
Nyonya Florencia sama sekali tidak menikmati segala makanan ataupun minuman yang disajikan di hadapannya malam itu. Pikirannya terus terpaku ke nasib anak keduanya yang kini entah ada di mana dan entah apa yang sedang dialaminya, terus melayang ke anak pertamanya yang kini masih berjuang melawan racun ganas yang bersarang di tubuhnya, ke anaknya yang paling bungsu, yang kini pasti tertekan berat karena abang keduanya mengalami nasib naas gara-gara ingin menolongnya.
Nyonya Florencia tidak tahan lagi. Dia tak kuasa menahan air matanya lagi yang tak henti-hentinya ingin bergulir keluar. Dia permisi pada sang suami dan semua tamunya malam itu, dengan mengatakan ada sedikit kerjaan dan urusan rumah yang mesti dibereskannya sebelum Imlek esok harinya.
Maka dengan itu, Nyonya Florencia dari Marriott segera bertolak ke Solidaritas Abadi.
***
"Wie…! Wie…! Kau mau ke mana?" tanya Erdie Vio mengejar Erwie Vincent. Tampak Erwie Vincent yang masih mengenakan pakaian tidurnya yang berwarna kuning di antara sekian banyak orang yang tidak berbaju, yang berbaju hitam, dan yang berbaju cokelat.
Barisan kerumunan orang banyak itu sedang berjalan di sebuah gang kecil yang menuju ke satu arah. Erdie Vio akhirnya sadar dia sedang berada di mana.
"Wie…! Wie…! Kembali, Wie…! Jangan ke sana…! Itu arah yang salah! Arah yang benar itu ke sini…!" teriak Erdie Vio, tetapi Erwie Vincent tetap saja melangkah ke arah yang salah, semakin jauh dan semakin jauh.
Erdie Vio mencoba untuk menerobos kerumunan orang-orang yang ada. Ia semakin dekat dan semakin dekat dengan Erwie Vincent. Dia akhirnya sampai di suatu titik di mana terdapat enam persimpangan yang mengelilinginya.
Oh, Buddha… Ada enam persimpangan sekarang. Enam persimpangan ini langsung mengelompokkan orang-orang ini sesuai dengan bajunya… Ada yang tidak berbaju sama sekali, ada yang berbaju hitam, berbaju abu-abu, berbaju cokelat, berbaju warna-warni seperti yang aku dan Wie Wie kenakan sekarang, dan yang berbaju putih. Masing-masing persimpangan ini sebenarnya akan membawa mereka ke mana? Oh, astaganaga, Buddha…! Aku kehilangan Wie Wie… Oh, tidak…! Di mana Wie Wie…? Di mana dia? Sama sekali sudah tidak tampak baju kuningnya… Ke mana dia?
"Wie…! Wie…! Kau ada di mana…? Kau ada di mana…? Wie…! Wie…!" teriak Erdie Vio terus-menerus dan akhirnya ia terbangun dari mimpinya.
"Kau bermimpi tentang Wie Wie, Die… Tenangkan dirimu, Die… Tenangkan dirimu… Aku yakin Wie Wie pasti tidak kenapa-kenapa. Kita sudah berjanji untuk selalu bersama. Kau belum lupa akan hal itu kan?" tukas Erick Vildy yang sejak tadi berbaring di samping adiknya yang paling bungsu.
"Tenangkan dirimu… Tenangkan dirimu, Erdie Vio… Jika kau sendiri juga mengalami gejolak, bagaimana dengan kondisi Dewa Perak nanti? Sudah cukup apa yang terjadi pada Erwie Vincent dan Erick Vildy. Aku mohon kau tidak boleh kenapa-kenapa lagi," kata Dewi Ruby yang tampak sangat mencemaskan keadaan Dewa Perak yang juga sudah bagai telur di ujung tanduk di depan mereka.
Tampak Dewa Perak yang sama sekali tidak bisa membuka matanya lagi. Dia hanya bisa memegangi dada kirinya terus-menerus dengan sejuta peluh yang terus bercucuran dari sekujur badannya. Tampak segala aksesoris dan perhiasan dewa yang dikenakannya mulai layu satu demi satu. Dewi Ruby kembali menyalurkan energi kekuatannya yang berwarna merah muda untuk terus mempertahankan eksistensi hawa dewa yang dimiliki oleh Dewa Perak.
Nyonya Florencia masih mengompres anaknya yang paling sulung dengan tangisannya yang terisak-isak. Erick Vildy membuka matanya dan kali ini ia mengajukan satu pertanyaan yang sulit dijawab bahkan oleh Dewi Ruby sekalipun.
"Ma… Dewi Ruby… Kalian pasti tahu apa hubungan kami bertiga dengan Dewa Perak. Kalian pasti tahu tentang hal itu bukan? Ma… Katakan, Ma… Katakan mengapa apa yang terjadi pada kami juga memberi pengaruh buruk yang tidak kecil kepada Dewa Perak. Katakan, Ma… Katakan, Dewi Ruby," kata Erick Vildy, dan kemudian ia terbatuk-batuk lagi, dan begitu racun dalam tubuhnya bereaksi lagi, ia tampak kesakitan memegangi dada kirinya lagi.
Nyonya Florencia segera menenangkan anak sulungnya untuk segera berbaring kembali.
"Katakan, Ma… Katakan, Dewi Ruby… Apa sebenarnya hubungan kami bertiga dengan Dewa Perak? Dan kami juga pernah melihat Dewa Perak membagi dirinya menjadi tiga dewa dengan tiga warna yang sama persis dengan warna-warna kami, ketika kau belum dibangkitkan dan ketika Dewa Perak kesepian. Apa artinya itu, Dewi Ruby?" tanya Erdie Vio lagi.
"Apakah itu masih belum jelas bagi kalian?" ujar Dewi Ruby dengan pandangan nanar. "Apa yang terjadi pada kalian sekarang, juga berdampak pada Dewa Perak. Lihatlah keadaannya sekarang. Karena pengaruh kekuatan tiga bintang kemujuran yang ada pada tubuh kalian bertiga, kondisinya tidak jauh berbeda dengan kalian. Kalian sendiri juga sudah pernah melihat Dewa Perak membagi dirinya menjadi tiga dewa buah-buahan bukan? Ada Dewa Semangka yang berwarna merah, sama sepertimu, Erick Vildy. Ada Dewa Nenas yang berwarna kuning, sama seperti Erwie Vincent. Dan terakhir, ada Dewa Melon yang seluruh tubuhnya berwarna hijau, sama sepertimu, Erdie Vio. Apa artinya itu? Dan kau sendiri sudah melihat wajah ibu kandungmu di masa lalu bukan, Erdie Vio? Oke… Foto ayahmu sama sekali tidak ada karena masih belum ada kamera di zamanmu itu. Tapi, Erwie Vincent sudah berjumpa dengan ayah kandungnya dan juga sudah melihat foto ibu kandungnya. Coba katakan bagaimana rupa orang tua kandung kalian jika dibandingkan dengan rupa Pak Faiz dan Nyonya Florencia yang sekarang."
Erick Vildy kini menatap saudaranya yang paling bungsu, "Kau sudah bertemu dengan ibu kandungmu, Die? Bagaimana rupanya memangnya, Die?"
"Sama… Sama persis dengan Mama… Bak pinang dibelah dua…" kata Erdie Vio menunjuk ke Nyonya Florencia.
Nyonya Florencia kembali meneteskan air matanya sembari mengangguk-nganggukkan kepalanya. Kau hanya memiliki satu orang anak, Nyonya Florencia. Berkumpul atau terpisah-pisah di lain-lain tempat, apakah itu sangat berarti bagimu? Kembali kata-kata Suhu Ce Hui terngiang-ngiang di telinga Nyonya Florencia. Waktu itu, dia tidak begitu mengerti arti sebenarnya di balik kalimat itu. Sekarang perlahan-lahan dia mulai mengerti.
"Apa… Apa… Apa artinya itu, Ma? Kenapa… Kenapa… Kenapa orang tua kandung Die Die dan Wie Wie di masa lalu bisa mirip bak pinang dibelah dua dengan Papa & Mama yang ada di zaman sekarang?" tanya Erick Vildy mengerutkan dahinya dalam-dalam.
"Orang yang memiliki tekad dan janji yang kuat, biasanya pada detik-detik menjelang kematiannya akan terus mengingat tekad dan janji tersebut, sehingga setelah kematiannya, ia akan menyimpan tekad dan janji tersebut dalam kesadaran lapis kedelapannya dan meneruskannya ke kehidupan yang akan datang. Jadi, bisa jadi di kehidupan mendatang orang tersebut terlahir dengan ciri-ciri fisik, perawakan, dan wajah yang sama persis dengan kehidupannya yang sebelumnya. Sekarang kau mengerti kan, Erick Vildy?" ujar Dewi Ruby menatap lurus-lurus ke lawan bicaranya.
"Hah…? Benarkah itu…?" tampak Erick Vildy terhenyak kaget. Nyonya Florencia hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan membiarkan air matanya mengguyur dengan bebas.
"Jadi… Jadi… Jadi… Orang tua kandungku dan kedua orang tua kandung Wie Wie adalah… adalah…" Erdie Vio tidak sanggup meneruskan pernyataannya lagi.
"Tebakan jitu, Erdie Vio. Orang tua kandungmu dan orang tua kandung Erwie Vincent adalah dua kehidupan lampau Pak Faiz dan Nyonya Florencia yang sekarang," sahut Dewi Ruby apa adanya.
"Jadi… Jadi… Jadi aku dan Wie Wie sebenarnya adalah…"
"Ya… Kalian berdua juga adalah dua kelahiran lampau dari Erick Vildy yang sekarang. Dan, ketika kau meninggal di masa depan nanti, Erick Vildy, kau akan terlahir menjadi Dewa Perak yang berbaring di hadapanmu itu. Dengan kata lain, kalian bertiga adalah tiga kelahiran lampau Dewa Perak sebagai manusia, sebelum ia terlahir menjadi dewa seperti sekarang."
Erick Vildy dan Erdie Vio kini tampak tertegun di tempat masing-masing, masih belum bisa seutuhnya mempercayai kebenaran dan kenyataan yang baru saja mereka dengar.
"Ini… Ini… Ini seperti di dalam mimpi…" tukas Erick Vildy.
"Aku sepertinya sedang bermimpi, Rick. Mungkin Wie Wie sudah mencurigai fakta dan kenyataan ini. Wie Wie bilang dia menyelamatkan kedua belahan jiwanya ketika dia menghadang kekuatan hitam milik Siluman Batu Hitam itu, Rick…" kata Erdie Vio kini tak kuasa membendung air matanya.
"Kini aku mengerti kenapa ketika kalian pulang ke zaman kalian masing-masing, mendadak satu kerinduan yang teramat sangat muncul dan aku begitu tidak sabar menanti kepulangan kalian berdua, Die. Aku… Aku… Aku merasa ada dua bagian dari diriku yang hilang. Kini aku mengerti apa penyebabnya," kata Erick Vildy lagi.
"Dan kau adalah… adalah… adalah…" Erdie Vio membuat tebakannya sambil menyipitkan matanya kepada Dewi Ruby.
"Mulanya aku tidak mau mengakuinya pada kalian. Tapi kini aku merasa tidak ada yang perlu disembunyikan lagi. Ya, tebakan kalian memang benar. Stella Kuangdinata adalah kehidupan lampauku. Tentu saja aku tidak bisa mengingat di kehidupan sebelumnya aku terlahir sebagai apa, sebagai siapa, dan di mana. Tiga bintang kemujuran yang memberitahuku. Aku yakin sebelum kematiannya, tiga bintang kemujuran juga memberitahu Stella Kuangdinata mengenai jati diri kalian bertiga yang sebenarnya. Tiga bintang kemujuran juga memberitahuku mengenai tiga kelahiran lampau dari Dewa Perak. Oleh sebab itulah, ketika Siluman Batu Hitam bersikeras ingin merebut tiga bintang kemujuran dariku, aku membuka lorong waktu dan biarkanlah mereka sendiri yang mencari tiga kelahiran lampau dari tuan rumah mereka. Kini mereka sudah menganggap kalian 3E sebagai tuan rumah mereka dan aku yakin sebentar lagi bintang kuning akan memberikan sinyal keberadaannya kepada bintang merah dan bintang hijau…" kata Dewi Ruby dengan pandangan menerawangnya keluar jendela.
"Ketika tiga bintang kemujuran memberitahuku apa-apa saja yang telah diperbuat oleh Stella Kuangdinata kepada tiga kelahiran lampau Dewa Perak, aku sungguh-sungguh merasa bersalah pada Dewa Perak. Aku merasa aku tidak pantas menerima cinta dari Dewa Perak. Namun, aku sendiri tidak bisa memungkiri perasaanku terhadapnya. Oleh karena itu, aku putuskan… Satu-satunya hal yang bisa kulakukan untuknya adalah mengamankan tiga bintang kemujuran miliknya dengan memasukkan mereka ke tubuh tiga orang yang merupakan tiga kelahiran lampaunya. Begitulah, Erick Vildy, Erdie Vio…" kata Dewi Ruby mengakhiri narasinya yang panjang.
Erdie Vio melemas kembali ke tempat duduknya, "Wie… Wie… Dia pasti sedikit banyak tahu bahwa kita ini adalah dua belahan kesadarannya yang lain, yang terlahir di masa depan dan masa lalu, Rick. Dia menghadang energi jahat milik Siluman Batu Hitam itu guna menyelamatkan kedua belahan jiwanya ini, Rick."
"Oh, Wie… Wie… Wie… Ada di mana kau sekarang, Wie? Kenapa sampai sekarang belum ada tanda-tanda keberadaanmu dari bintang kuning?" Erick Vildy membenamkan dirinya ke pangkuan kakinya sendiri.
Nyonya Florencia memeluk Erdie Vio, "Tenangkan dirimu, Die. Dalam kondisi tenang, Mama yakin kau bisa mengalahkan Siluman Batu Hitam itu dan membawa abangmu kembali dengan selamat. Mama yakin…"
"Wie Wie terluka parah di hadapanku, Ma. Dia terluka parah demi menolongku dan Rick. Dia terluka di depan mata kepalaku sendiri, Ma. Namun, aku tidak berdaya dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya kembali, Ma. Aku bukan adik yang baik, Ma! Aku bukan adik yang pantas mendapat perlindungan dan pengorbanan abangnya, Ma!" teriak Erdie Vio mulai kalap nan histeris.
Nyonya Florencia kembali menenangkan jiwa anak bungsunya yang tengah bergejolak.
"Tenang, Die… Tenang, Die… Sebentar lagi Mama yakin akan ada kabar tentang keberadaan Wie Wie dari bintang kuning. Kau harus bersabar…" kata Nyonya Florencia membelai-belai kepala sang anak bungsu.
Erdie Vio perlahan-lahan mulai menyeka ekor matanya, "Menurut Mama, apakah aku bisa menyelamatkan Wie Wie dan kami berdua bisa pulang dengan selamat membawa obat penawar racun yang ada dalam tubuh Rick itu?"
"Bisa, Die… Apa pun yang terjadi, kalian bertiga harus saling mempercayai, Die. Dulu Mama pernah bilang pada kalian bertiga bukan sewaktu kalian masih kecil? Meski kalian bukan saudara kandung, kelak suatu saat nanti kalian akan saling membutuhkan. Sekarang itulah saatnya, Die. Percayalah pada firasat Mama, Die. Semuanya, meski berat dan susah dijalani, akan berakhir dengan baik-baik saja," kata Nyonya Florencia dengan sebersit senyuman simpul.
Erdie Vio mengangguk lemah setelah itu. Dia melepaskan diri dari pelukan sang mama.
"Oke… Tenang ya, Die… Mama akan ke rumah sakit dulu menengok keadaan Julia Dewi. Dia tadi sempat pingsan melihat kondisi Wie Wie yang diculik oleh siluman tengik itu. Entah sekarang sudah siuman atau belum. Ada Melisa dan Sabrina yang menjaganya di sana. Mereka tadi sebenarnya ingin ke sini, Die. Tapi, Mama bilang kalian memiliki bintang kemujuran yang bisa menjaga dan menuntun kalian. Tapi, Julia Dewi sama sekali tidak ada sandaran lagi begitu Wie Wie diculik oleh siluman jahat itu."
"Iya, Ma… Oke, Ma… Aku akan jaga Rick di sini. Mama tidak usah khawatir," kata Erdie Vio dengan sebersit senyuman hambarnya. Kali ini, benar-benar tidak tampak lagi senyumannya yang penuh keceriaan dan antusiasme.
Nyonya Florencia mencium kening kedua anaknya. Tampak Erick Vildy sudah terlelap dalam tidurnya. Dia tampak sangat lelah, habis bertarung habis-habisan dengan Siluman Batu Hitam tadi dan kini tengah berjuang melawan racun yang menggerogoti tubuhnya. Nyonya Florencia keluar dari bangunan utama sanggar Solidaritas Abadi dengan sedikit isakan tangis. Tak lama kemudian, terdengar deru mesin mobil yang meninggalkan halaman sanggar Solidaritas Abadi.
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat sedikit. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Nyonya Florencia melihat ada banyak pesta kembang api di mana-mana. Nyonya Florencia tak kuasa membendung air matanya yang terus bergulir turun. Entah kenapa pesta kembang api tahun ini menjadi pesta kembang api paling menyedihkan seumur hidupnya.
***
Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Pesta kembang api sudah berlalu sejak satu jam yang lalu. Dewi Ruby masih terus menyalurkan gelombang kekuatan warna pink- nya kepada Dewa Perak guna mempertahankan hawa dewanya yang kian lama kian menipis. Sebentar-sebentar dia akan melirik ke Erick Vildy. Bahkan sekarang tangan dan kakinya sudah menghitam semua. Tampak tubuh Erick Vildy juga sangat gemetaran dan terus meneteskan keringat yang tak terhingga jumlahnya.
Apakah… Apakah 3E akan kalah? Apakah mereka akan kalah begitu saja terhadap Siluman Batu Hitam tengik dan keparat itu? Oh, Buddha… Sebentar lagi, bintang merah juga akan kalah dan mundur dari medan pertempuran ini. Hanya bintang hijau satu-satunya harapanku. Bisakah bintang hijau mengalahkan Siluman Batu Hitam sendirian? Oh, Buddha… Apa yang akan terjadi pada 3E ke depannya? Apa yang akan terjadi pada Dewa Perakku ke depannya?
Mendadak rasa sakit yang tidak terperikan kembali menyerang Erick Vildy. Dia merasa sekujur tubuhnya kaku dan tidak bisa bergerak lagi. Teriakan ketidakberdayaan mulai meluncur keluar dari mulut si saudara sulung ini.
"Rick…! Rick…! Kau baik-baik saja?" Erdie Vio mulai panik dan ia mendekati saudara sulungnya.
Erick Vildy masih terus memegangi dada kirinya dan terus berteriak-teriak tak karuan dengan rasa sakit yang sungguh tidak terperikan pada dada dan sekujur badannya.
"Rick…! Rick…!" teriak Erdie Vio mulai mengeluarkan beberapa tetesan air mata. "Bertahanlah, Rick…! Bertahanlah…!" tampak Erdie Vio yang meraih saudara sulungnya ke dalam sebuah pelukan.
"Aku kira… Aku kira… Aku tidak sanggup bertahan lagi. Racun ini sudah menggerogoti seluruh tubuhku. Sebentar lagi aku akan tamat, Die. Aku akan habis. Kau harus segera ke puncak gunung tertinggi di Danau Toba seperti yang dikatakan oleh Siluman Batu Hitam itu. Kau harus mengalahkannya dan menyelamatkan Wie Wie. Dengan mengalahkannya, otomatis racun dalam tubuhku ini akan sirna dengan sendirinya. Kau… Kau… Kau mengerti maksudku bukan?" terdengar perjuangan Erick Vildy yang teramat sangat untuk menyampaikan pesan terakhirnya kepada adik bungsunya sebelum ia tamat.
Erdie Vio hanya mengangguk-ngangguk dan membiarkan air matanya terus menetes-netes ke wajah abang sulungnya.
"Jangan pergi, Rick… Jangan tinggalkan aku sendirian di sini. Jangan biarkan aku berjuang sendiri menghadapi Siluman Batu Hitam itu."
"Kau… Kau… Kau adalah belahan jiwaku, Die. Aku percaya dengan kemampuanmu, Die. Aku percaya kau bisa menemukan Wie Wie, bisa menemukanku, dan kembali mempersatukan kita bertiga dalam kekuatan 3E yang selama ini dibanggakan orang-orang… Tiga E selamanya takkan bubar bukan?" masih terdengar kalimat Erick Vildy yang terbata-bata dan masih terlihat senyumannya yang hambar dan lemah.
Erdie Vio mengangguk lagi dan air matanya menetes turun lagi membasahi wajah si saudara sulung.
Erick Vildy berteriak sekali lagi ketika racun pada tubuhnya mencapai klimaks. Begitu teriakannya berhenti, tampak Erick Vildy sudah memejamkan sepasang matanya dengan damai. Tampak tubuhnya tidak bergeming lagi. Ia membeku begitu saja dalam pelukan sang adik bungsu.
Erdie Vio terus menatap wajah saudara sulungnya dengan diam sebelum akhirnya satu tangisannya meledak dan pecah berderai.
"Dewa Perak…! Dewa Perak…!" teriak Dewi Ruby di tengah-tengah kepanikannya ketika dilihatnya satu aksesoris dan satu bagian jubah kebesaran Dewa Perak yang layu.
Tubuh Erick Vildy mulai diselimuti oleh asap hitam satu per satu, mulai dari kaki hingga ke badan, hingga ke leher dan kepala. Begitu seluruh tubuh sudah diselimuti oleh asap hitam, tubuh tersebut langsung menghilang dari pelukan sang adik bungsu. Tinggal Erdie Vio seorang diri di sana dengan tangisannya yang masih pecah berderai, laksana aliran sungai kecil dan bagaikan air terjun Niagara di musim hujan.
Aku harus ke puncak gunung tertinggi di Danau Toba sendirian malam ini juga. Rick… Wie… Meski kalian tidak ada di sampingku, meski kalian berdua terpisah dariku di tempat yang begitu jauh, begitu tidak terjangkau, aku tahu kalian akan tetap menemaniku di sampingku selamanya. Karena… Karena… Karena kita bertiga adalah satu jiwa yang terbagi menjadi tiga belahan. Iya kan…?
Perlahan-lahan tubuh Erdie Vio mulai mengeluarkan sinar hijaunya. Makin lama, seluruh tubuhnya mulai diselimuti oleh sinar hijau. Erdie Vio pun menghilang dari tempat tersebut. Sinar hijau terbang melayang keluar melalui jendela. Tinggallah Dewi Ruby, menjaga sang dewa pujaannya dalam bangunan Solidaritas Abadi.
Hanya bintang hijau satu-satunya harapanku, oh Buddha… Semoga Erdie Vio bisa menyelamatkan kedua saudaranya dan mereka bertiga bisa mengalahkan Siluman Batu Hitam dengan menggunakan kekuatan dari tiga bintang kemujuran bersama-sama. Oh, Buddha… Semoga semuanya akan berakhir dengan baik-baik saja…