webnovel

Bukan Kami Pembunuhnya!

BAB 17

Jam dinding sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Dewa Perak sama sekali tidak tidur. Karena perbedaan waktu yang sangat besar antara alam dewa dan alam manusia, Dewa Perak hanya perlu tidur 50 tahun sekali di alam manusia.

Dengan demikian, satu sinar perak melesat masuk ke dalam kamar 3E. Tampak 3E yang sudah tertidur pulas dengan pakaian tidur mereka yang masing-masing berwarna merah, kuning, dan hijau. Dengan menyapukan tangannya sekali, Dewa Perak memastikan ketiganya akan tetap terlelap ketika ia melangsungkan eksperimennya.

"Hai, Tiga Bintang Kemujuran… Keluarlah dan tunjukkan sinar kekuatan kalian…" kata Dewa Perak menyapukan sekali tangannya. Akan tetapi, tampak tiga bintang kemujuran hanya bersinar sekali dan setelah itu, meredup kembali.

"Kenapa kalian tidak mau bersinar terus, Tiga Bintang Kemujuran? Bersinarlah dan tunjukkan kekuatan kalian…" kata Dewa Perak menyapukan sekali lagi tangannya.

Hasilnya tetap nihil. Berkali-kali Dewa Perak menyapukan tangannya, tiga bintang kemujuran hanya bersinar sekali dan setelah itu meredup kembali. Menyerah, akhirnya Dewa Perak menyadari suatu hal.

Tanpa seizin tuan rumah mereka yang sekarang, tetap aku tak bisa meminjam kekuatan mereka dan mengembalikan Dewi Ruby ke wujudnya semula. Bagaimana ini? Apakah aku harus berterus terang pada 3E mengenai jati diriku dan apa sesungguhnya yang telah terjadi selama ini? Oh, Buddha… Sungguh ini merupakan sebuah pilihan yang dilematis…

Sinar perak melesat keluar lagi dari kamar 3E.

"Hah…?" pekik Erdie Vio begitu ia terbangun di tengah malam dan menyadari pakaian mereka bertiga telah bertebaran di mana-mana di dalam kamar. "Bangun, Rick! Bangun, Wie! Kenapa mendadak kita hanya mengenakan CD? Baju dan celana kita bertebaran di mana-mana di dalam kamar ini!"

Saudara sulung dan saudara tengah bangun. Mereka juga kebingungan kenapa hal tersebut bisa terjadi.

"Tapi heran juga…" sahut Erwie Vincent. "Kenapa hanya pakaian kita yang bertebaran di mana-mana, sementara selimut ini masih tetap pada tempatnya?"

"Sudahlah… Sudah ngantuk berat aku ini, Wie, Die…" sergah Erick Vildy malas turun dari tempat tidur. "Memang aneh nan mengherankan… Tapi, takkan terjadi apa-apa deh. Kan kita bertiga bersama-sama dalam kamar ini. Kalau ada apa-apa, kita bisa menghadapinya bersama-sama. Wie… Pinjam dulu badanmu. Sebagai guling…" kata Erick Vildy langsung meledak dalam tawa renyahnya.

"Biasanya kau pakai badan Die Die sebagai guling, Rick. Kok malam ini kau mendadak ganti mangsa?" tukas Erwie Vincent santai.

"Sama saja… Terkadang kan kau atau Die Die pakai badanku juga sebagai guling…" kata Erick Vildy masih dengan senyuman lebarnya.

"Oke… Kalau begitu malam ini gantian aku yang pakai badan Die Die sebagai guling. Pinjam badanmu, Die," kata Erwie Vincent langsung meraih si adik bungsu ke dalam pelukan.

"Oh, Buddha… Maafkanlah kedua abangku ini… Maafkanlah kedua abangku yang sudah menjadi laki-laki homo ini…" kata Erdie Vio dengan gayanya yang dibuat-buat.

Sontak 3E meledak dalam tawa. Sejurus kemudian, dengkuran mulai terdengar lagi. Tiga E kembali terbuai ke alam mimpi masing-masing.

***

Medan, 16 Januari 2019

"Sudah besar kok masih tidur telanjang dan saling peluk-memeluk seperti itu sih? Kalian sudah mulai homo ya?" terdengar pekikan halus Nyonya Florencia Quincy di depan tempat tidur 3E pagi itu.

"Aduh, Ma… Sejak kecil, kami sudah biasa begitu. Sebenarnya kemarin malam kami tidur dengan pakaian tidur yang Mama sediakan kok…" kata Erick Vildy mengusap-usap kepalanya sehabis bangun tidur.

Tiga E kembali mengenakan pakaian tidur dengan warna masing-masing.

"Jadi kenapa di paginya ini kalian bisa tinggal CD saja?" tanya Pak Faiz sambil berkacak pinggang.

"Tidak tahu deh, Pa. Sepertinya kemarin malam ada terjadi sesuatu yang aneh," tukas Erwie Vincent dengan senyuman santainya. "Pas kami terbangun jam duaan gitu, pakaian kami sudah bertebaran sampai di mana-mana. Tapi anehnya, selimutnya masih pada tempat yang sama. Begitulah, Pa, Ma…"

"Kami malas bangun dan berpakaian kembali. Cukup kami kecilkan AC- nya dan lanjut tidur deh sampai pagi," kata Erdie Vio sedikit cengengesan.

Mendengar itu, Pak Faiz menepuk jidatnya.

"Sudah… Sudah… Mandi dan cepat sarapan. Hari ini tetap berangkat ke kantor cabang masing-masing kan?" tanya Pak Faiz menyipitkan matanya sejenak.

"Iya, Pa…" jawab 3E berbarengan dan kemudian mereka juga menguap berbarengan. Melihat kejadian itu, suami istri Makmur merasa ada sedikit yang janggal dengan ketiga anak mereka. Mereka saling berpandangan sesaat.

"Hah…! Hah…! Masuk kamar mandi satu-satu. Bukan anak kecil lagi… Sudah dewasa… Masuk kamar mandi jangan sama-sama lagi dong!" tegur Nyonya Florencia Quincy mengerutkan dahinya.

"Sama saja deh, Pa, Ma…" kata Erdie Vio. "Dari kecil kami sudah saling melihat kepunyaan kami satu sama lain…"

"Sama persis, Pa, Ma…" kata Erwie Vincent dengan sebersit senyuman santainya. "Jadi, tidak ada yang perlu dirisaukan."

"Kami bukan homo, jadi kami tidak akan tertarik dengan kepunyaan orang lain yang sama persis dengan kepunyaan kami," kata Erick Vildy sembari setengah cengengesan.

Dari pintu kamar mandi, sepasang suami istri itu bisa melihat bayangan hitam ketiga anak mereka. Tampak ketiganya kongsi semua peralatan mandi yang jumlahnya memang hanya satu-satu di dalam kamar mandi. Meski demikian, tetap terlihat mereka menghadap ke tiga arah yang berbeda dan menunggu giliran masing-masing untuk mandi di bawah air pancuran.

"Ada… Ada…" Pak Faiz tidak kuasa meneruskan kalimatnya.

"Ada sesuatu yang tidak… yang tidak…" si istri juga sulit meneruskan pernyataannya.

"Ketika mereka masih kecil dan masih remaja, mandi sama-sama, dan tidur telanjang sama-sama, aku anggap itu adalah hal yang wajar, Flor. Aku anggap itu sebagai bagian dari kedekatan, kekompakan dan persaudaraan mereka. Namun, kini mereka sudah dewasa dan sebentar lagi akan menikah. Jadi… Jadi… Jadi, aku merasa kedekatan yang demikian agak sedikit kurang wajar, Flor. Menurutmu?" tutur sang suami sambil menuruni tangga ke lantai satu.

"Iya, Faiz… Menurutku juga agak sedikit tidak wajar, Faiz. Mereka tidak akan menjadi laki-laki homo kan?" tampak sorot kekhawatiran dalam sinar mata Nyonya Florencia.

"Aku tambah bingung sekarang, Flor. Memang sejak kecil ketiga anak ini menyimpan banyak misteri yang tidak terjelaskan sampai sekarang. Kekuatan mereka yang aneh nan misterius… Belum lagi warna barang-barang yang mereka pakai harus sama dengan warna sinar kekuatan mereka. Kau masih ingat kan? Kau pernah menukar warna baju mereka. Erick jadi pakai hijau, Erwie pakai merah, dan Erdie pakai kuning. Keesokan harinya kita berdua harus bawa mereka ke rumah sakit untuk infus karena demam yang tak kunjung reda. Begitu baju mereka ditukar kembali, selang tiga empat jam kemudian, demam mereka pun reda. Percaya tidak percaya ya…"

"Begitulah, Faiz… Sejak saat itu aku tidak berani menukar warna baju dan barang-barang lainnya yang mereka pakai, Faiz. Mereka sendiri juga tahu bahwasanya mereka tidak boleh bertukar warna lebih dari 24 jam," ujar Nyonya Florencia seraya mengerutkan dahinya.

"Dan yang terakhir adalah, kedekatan mereka ini… Kemiripan mereka… Dari belakang dan ketika mendengar suara mereka di telepon, terus terang saja, Flor. Sampai sekarang aku masih tidak bisa membedakan siapa yang merupakan E yang mana," kata Pak Faiz tertegun.

"Padahal mereka tuh bukan saudara kandung bukan?" tanya si istri memberi kepastian mengenai keanehan yang dimaksud oleh suaminya.

Detik-detik berikutnya, suami istri itu sampai di ruangan dapur. Tampak Julia Dewi sibuk memasak di dapur. Melisa Rayadi dan Sabrina Marcelina belum datang rupanya.

"Pagi, Oom… Pagi, Tante…" sapa Julia Dewi dengan sebersit senyuman kelembutannya.

Pak Faiz dan Nyonya Florencia tersenyum menghampiri calon menantu mereka yang kedua. Mereka melupakan sejenak persoalan mengenai keanehan 3E.

***

Sudah pukul delapan pagi. Matahari sudah melambung tinggi dari ufuk timur. Akan tetapi, Sabrina Marcelina masih belum bisa berangkat ke kantor.

"Tidak usah kerja lagi! Cari kerjaan lain saja! Papa tidak suka kau bekerja dengan seorang pembunuh! Apalagi sampai berpacaran diam-diam selama lima tahun belakangan ini dengan berbohong pada Papa & Mama bilang kau ada dapat kerjaan di Singapura dan segala macam!" teriak Pak Louis Willy melemparkan telepon genggam anak perempuannya ke atas meja di hadapan si anak. Dalam layar telepon genggam si anak, tampak si anak tenggelam mesra dalam pelukan Erdie Vio Makmur, salah satu dari ketiga anak konglomerat di Medan sini, yang dicurigai telah membunuh seorang gadis muda dalam bangunan sanggar milik mereka lima tahun lalu.

"Pa! Dengarkan aku dulu, Pa! Erdie bukan pembunuh. Memang dia dan kedua saudaranya memiliki sebentuk kekuatan aneh nan misterius, tapi kekuatan mereka bertiga itu berwarna merah, kuning, dan hijau. Sementara kekuatan yang menewaskan Stella Kuangdinata itu berwarna hitam, Pa."

"Jadi kau sudah tahu tentang kekuatan misterius si Erdie Vio ini dan kau masih berpacaran dengannya selama lima tahun belakangan ini di Singapura?" Nyonya Candy begitu takjub dengan kebulatan tekad anak perempuannya.

"Aku sudah tahu tentang kekuatan misterius mereka bertiga sejak aku mengenal mereka di saat SD, Pa, Ma. Sejak aku mengenal mereka, dan ketika aku menemani Erdie di Singapura selama lima tahun belakangan ini, aku sama sekali tidak pernah terluka ataupun celaka karena kekuatan mereka itu. Yang ada malahan Erdie pernah menyelamatkan aku dan banyak orang ketika kereta api yang kami tumpangi hampir bertabrakan dengan kereta api lain yang datang dari arah berlawanan dan nyasar di rel yang sama. Kumohon, Pa, Ma… Erdie bukanlah seorang pembunuh. Dia adalah pria yang baik. Kami saling mencintai dan sebentar lagi kami akan menikah."

Nyonya Candy memandangi suaminya sebentar.

"Dia sudah gila, Candy!" kata sang suami masih tidak bisa menerima penjelasan anak perempuannya. "Mungkin dia sudah gila cinta atau mungkin dia sudah terkena guna-guna laki-laki itu, Candy!"

"Pa! Aku tidak gila! Aku masih waras. Aku yakin benar dengan keputusan dan pilihanku. Aku tidak pernah cerita kepada Papa & Mama selama ini, karena aku yakin kalian takkan percaya padaku. Akan kubuktikan pada Papa & Mama bahwasanya keputusan dan pilihanku itu benar," kata Sabrina Marcelina dengan kemantapan hati dan tekadnya.

"Kau tidak usah berangkat kerja lagi hari ini!" kata Pak Louis Willy mulai menarik tangan anak perempuannya dan menyeretnya masuk kembali ke dalam kamar. "Kau harus istirahat dulu. Nanti Papa akan panggilkan satu orang pintar yang cukup terkenal dari sekitar sini untuk menyembuhkanmu dari guna-guna laki-laki itu!"

"Jangan, Pa! Jangan, Pa! Lepaskan aku, Pa! Lepaskan aku!" teriak Sabrina Marcelina meraung-raung, tapi ia tak kuasa melawan tenaga ayahnya.

Pak Louis Willy membuka pintu kamar anaknya dan mendorong anak perempuannya ke dalam kamar. Pintu segera dikunci dari luar. Terdengar Sabrina Marcelina yang menggedor-gedor pintu kamar dari dalam.

"Biarkan aku keluar, Pa, Ma! Biarkan aku keluar! Biarkan aku keluar! Aku mau bertemu dengan Erdie, Pa, Ma! Biarkan aku keluar!"

"Kau yakin ini jalan penyelesaiannya, Louis?" tanya Nyonya Candy kepada suaminya.

"Dia harus disembuhkan. Aku yakin dia sudah gila karena terkena guna-guna dari laki-laki itu, Candy. Aku harus memanggil satu orang pintar dari ujung gang di depan sini untuk menengok keadaan Sabrina dan kalau bisa mencuci bersih guna-guna laki-laki itu dari pikirannya."

"Tapi… Tapi… Tidakkah kau merasa tindakanmu ini terlalu berlebihan, Louis? Aku percaya dengan kata-kata Sabrina, Louis. Jika saja laki-laki itu berbahaya dan dia hanya mau mencelakakan Sabrina, sudah sejak awal anak kita itu celaka, Louis. Seperti yang diakui Sabrina tadi, Sabrina sudah mengenal laki-laki itu dan kedua saudaranya sejak duduk di bangku SD dan bahkan selama lima tahun belakangan ini Sabrina bersama-sama dengan laki-laki itu di Singapura. Buktinya sekarang, Sabrina baik-baik saja dan masih perawan, jika itu bisa membuatmu puas," kata Nyonya Candy sambil tersenyum skeptis.

"Tapi… Tapi… Jelas-jelas gadis itu ditemukan…" Pak Louis Willy belum menyelesaikan kalimatnya, sudah terdengar sapaan Erdie Vio dari depan pintu.

"Oom… Tante… Apakah Sabrina ada di rumah? Aku datang menjemput Sabrina untuk sama-sama berangkat ke kantor, Oom, Tante…" kata Erdie Vio dengan senyuman khasnya yang penuh antusiasme dan tingkat kepercayaan dirinya yang tinggi.

"Pergi kau dari sini! Sabrina tidak ada di rumah! Pergi sana! Pergi!" hardik Pak Louis Willy yang tentu saja membuat Erdie Vio terperanjat setengah mati.

"Die! Die!" teriak Sabrina Marcelina begitu ia mendengar suara Erdie Vio dari pintu. "Keluarkan aku dari sini, Die! Mereka mengurungku di dalam sini! Keluarkan aku dari sini, Die!" mulai terdengar raungan tangis Sabrina Marcelina.

"Sabrina? Ada apa ini, Oom, Tante? Ada apa ini?" teriak-teriak Erdie Vio di luar. Tapi, Pak Louis Willy langsung menutup pintu depan dengan rapat.

Erdie Vio terus menggedor-gedor pintu depan rumah Sabrina Marcelina, "Sabrina! Oom! Tante! Buka pintunya, Oom, Tante! Ada apa-apa, bisa kita bicarakan baik-baik. Kenapa harus pakai mengurung Sabrina di dalam kamar segala?"

"Keluarkan aku dari sini, Die! Keluarkan aku! Tolong aku, Die! Papa & Mama melarangku bertemu denganmu, Die! Keluarkan aku dari sini!" terus terdengar tangisan Sabrina Marcelina yang meraung-raung dari dalam kamar.

Kepanikan segera menggeluyur ke padang sanubari Erdie Vio.

***

Kepanikan segera menggeluyur ke padang sanubari Erick Vildy. Pagi ini, Melisa Rayadi memutuskan untuk berterus terang kepada kedua orang tuanya mengenai hubungannya dengan Erick Vildy. Pas pula pada saat itu, Erick Vildy datang ke rumah untuk menjemputnya pergi kerja.

"Mulai sekarang kau jangan berhubungan dengan Melisa lagi. Keluar kau!" kata Pak Fernandus Rayadi mengusir Erick Vildy dari rumah mereka.

"Pa! Tolong, Pa! Dengarkan kami, Pa! Erick bukan pembunuh! Kekuatan yang menewaskan Stella Kuangdinata itu berwarna hitam. Sementara kekuatan Erick ini berwarna merah, Pa. Merah, Pa… Kenapa Papa begitu keras kepala dan tidak mau percaya, Pa?" mulai tampak rinaian air mata di pelupuk mata Melisa Rayadi.

"Aku bisa menjelaskannya, Oom. Bukan aku, bukan kedua saudaraku yang telah membunuh gadis yang bernama Stella Kuangdinata itu, Oom. Seperti yang dikatakan Melisa tadi, kekuatan yang menewaskan Stella Kuangdinata itu berwarna hitam, Oom. Sementara kekuatan kami bertiga berwarna merah, kuning, dan hijau."

"Kau memiliki bukti nyata atas ucapanmu itu?" tanya Nyonya Nina Melina melihat ke sosok Erick Vildy dengan takut-takut.

"Buktikan pada mereka, Rick! Buktikan pada Papa & Mama sehingga mereka percaya bahwasanya kekuatanmu berwarna merah, bukan hitam! Ayo, tunjukkan pada mereka, Rick!" kata Melisa Rayadi menggenggam lengan sang kekasih dan menatapnya dengan mantap.

Erick Vildy menatap sang putri pujaannya sebentar. Melisa Rayadi mengangguk sekali. Erick Vildy mengangguk sekali juga. Erick Vildy mengangkat tangannya ke udara. Sinar merah mulai keluar dari tangannya. Dengan sekali sapuan tangan, sinar merah diarahkan ke dinding putih yang ada di sampingnya. Benar saja… Tampak bercak-bercak merah di dinding putih yang kini sudah retak sedikit itu.

Melihat kejadian itu, sontak kedua mata sepasang suami istri itu membelalak. Keduanya terhenyak di tempat mereka masing-masing.

"Maafkan aku, Oom, Tante… Memang sejak kecil aku memiliki sebentuk kekuatan aneh nan misterius seperti yang Oom dan Tante lihat tadi. Tapi, aku bisa pastikan aku tidak pernah melukai siapa pun apalagi sampai membunuh dengan kekuatanku itu. Justru aku dan kedua saudaraku bertekad melindungi banyak orang dengan menggunakan kekuatan kami bertiga. Itulah yang ditekankan dan diajarkan oleh Papa dan Mama kami semenjak kami kecil sampai sekarang."

"Jadi sudah berapa lama kau tahu mengenai kekuatan Erick yang aneh nan misterius ini, Melisa?" tanya Nyonya Nina Melina kepada anak perempuannya.

"Sejak aku di SD, aku sudah mengenal Erick dan kedua saudaranya, Ma. Aku sudah tahu tentang kekuatan misterius mereka bertiga, Ma."

"Jadi kenapa selama ini kau tidak pernah menceritakan apa-apa kepada kami, Melisa?" tanya Pak Fernandus.

"Karena aku tahu tidak semua orang bisa menerima cerita supranatural yang menurut mereka kadang tidak logis dan tidak masuk di akal, Pa, Ma. Kalau tidak terpaksa begini, aku juga takkan minta Erick menunjukkan kekuatannya kepada kalian, Pa, Ma. Hanya ada satu hal yang kuyakini, Pa, Ma. Dengan kekuatannya itu, Erick bisa melindungiku setiap kali aku berada dalam bahaya."

Melisa Rayadi menenggelamkan diri ke dalam pelukan pangeran pujaannya. Erick Vildy meraih sang putri pujaannya ke dalam sebuah pelukan.

Pak Fernandus dan Nyonya Nina Melina hanya terdiam di tempat masing-masing dan merapatkan bibir mereka. Namun, detik-detik berikutnya sudah dilalui dengan perkenalan Erick Vildy terhadap pasangan suami istri Rayadi yang akan segera menjadi mertuanya kelak.

***

Tak ada pilihan lain lagi… Erdie Vio berubah menjadi seberkas sinar hijau dan langsung tembus masuk ke dalam kamar Sabrina Marcelina.

"Erdie?" Sabrina Marcelina seakan masih tidak percaya dengan kemunculan sosok Erdie Vio di hadapannya. Dia langsung menerjang ke arah laki-laki itu dan menenggelamkan diri ke dalam pelukannya. "Aku tahu kau bisa masuk ke sini dan menyelamatkan aku. Kau harus menjelaskan pada Papa dan Mama, Die. Tunjukkan pada mereka. Buktikan pada mereka bahwasanya kekuatanmu itu berwarna hijau, bukan hitam pekat seperti yang telah menewaskan Stella Kuangdinata itu, Die."

"Oke… Oke… Untuk itu, kau harus tenang dulu, Rin… Kau tenang dulu ya… Aku akan membawamu keluar dari sini dan langsung ke ruang tamu di depan saja ya… Oke…?" kata Erdie Vio menenangkan putri pujaannya. Dia menyeka ekor mata sang putri pujaan yang masih banjir air mata.

Sabrina Marcelina mengangguk tenang. Tangisannya mulai reda dan ia mulai tenang.

"Peluk aku, Rin… Jangan lepaskan sebelum aku bilang lepas ya…" kata Erdie Vio dengan senyumannya yang khas, penuh dengan antusiasme dan keceriaan.

Sabrina Marcelina mengangguk mantap dan memeluk pangeran pujaannya. Benar saja… Serta-merta ia merasa dirinya terbang ke atas dan tidak menginjak tanah. Tahu-tahunya dia sudah muncul di ruang tamu dan melihat kedua orang tuanya berdiri di sana. Kedua orang tuanya balik menatapnya dan pangeran pujaannya dengan sinar mata bengong.

"Oke… Sudah boleh lepas…" kata Erdie Vio masih dengan senyuman keceriaannya.

"Pa! Ma! Seperti yang kalian lihat tadi, sinar kekuatan Erdie itu berwarna hijau, bukan hitam seperti yang telah menewaskan Stella Kuangdinata itu. Kalian harus percaya pada kami, Pa, Ma…" kata Sabrina Marcelina dengan nada yang begitu memelas.

"Maafkan aku, Oom, Tante… Mungkin selama ini aku tidak pernah memperkenalkan diriku kepada Oom dan Tante sehingga aku juga tidak berkesempatan menjelaskan kepada Oom dan Tante soal kekuatan misterius yang ada pada diriku ini. Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa di sini kepada Oom dan Tante. Satu-satunya hal yang bisa kujanjikan di sini adalah, apa pun yang terjadi, aku akan tetap melindungi Sabrina dengan kekuatanku ini. Percayalah padaku, Oom, Tante… Aku begitu mencintai Sabrina dan aku takkan membiarkan apa-apa yang berbahaya terjadi padanya."

"Kalau begitu, siapa… siapa… siapa yang telah membunuh gadis itu dan meninggalkan mayatnya dalam bangunan sanggar kalian lima tahun yang lalu?" tanya Pak Louis Willy masih takut-takut terhadap calon menantunya ini.

"Soal itu, sampai detik ini kami juga belum jelas, Oom… Tapi yang jelas adalah, kami takkan tinggal diam difitnah dan dicurigai terus seperti ini. Kami akan membuktikan pada semuanya siapa sebenarnya yang telah menghabisi nyawa gadis yang tidak berdosa itu dan melimpahkan kesalahannya kepada kami bertiga."

Pak Louis Willy terdiam seketika. Dia hanya tampak merapatkan bibirnya. Nyonya Candy mendorong suaminya ke samping sebentar. Dengan senyuman khas seorang ibu, dia menghampiri anak perempuan dan calon menantunya.

"Nah kubilang juga apa kan, Louis? Erdie ini begitu tampan, dan begitu bersahaja… Dari keluarga dan latar belakang baik-baik… Mana mungkin dia adalah seorang pembunuh… Ada-ada saja," tukas Nyonya Candy.

"Tidak, Tante… Aku juga hanya manusia biasa. Hanya saja, aku mungkin memiliki sedikit kelebihan yang tidak dimiliki oleh manusia pada umumnya," kata Erdie Vio masih dengan senyuman khasnya yang penuh keceriaan dan semangat.

"Tidak usah dihiraukan itu Oom Louisnya. Nanti Tante yang akan bicara dengannya dan menyakinkannya. Kalian sudah mau berangkat kerja bukan? Berangkatlah… Nanti terlambat," kata Nyonya Candy. "Lain kali jangan lupa mampir dan berbincang-bincang dengan Tante dan Oom Louis itu ya, Erdie. Kami juga ingin mengenalmu dengan lebih dekat."

"Oke, Tante…" kata Erdie Vio dengan senyuman khasnya dan membungkukkan badannya sedikit. "Oke, Oom… Oke, Tante… Aku bawa Sabrina pergi kerja dulu. Kami permisi dulu."

Hanya Nyonya Candy yang mengantar mereka sampai di luar pintu. Terdengar deru mesin mobil yang meninggalkan halaman rumah. Pak Louis Willy sendiri masih di ruang tamu ketika istrinya masuk lagi.

"Sudah lihat itu? Anak perempuanmu hampir mati tersiksa kau buat! Pakai mengurungnya di dalam kamar segala! Untung saja ada Erdie yang bisa membawanya keluar lagi," kata Nyonya Candy nonkomital.

"Apa kau tidak lihat tadi kekuatan misterius si Erdie Vio itu, Candy?" tanya Pak Louis Willy memajukan tubuhnya ke depan beberapa senti.

"Ya… Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Memangnya kenapa?" tanya si istri tampak merapatkan bibirnya. "Memang ada banyak hal ganjil nan misterius nan aneh, yang tidak bisa dijelaskan secara gamblang di dunia ini. Karena dulu ayahku adalah seorang cenayang, aku sudah terbiasa menyaksikan hal-hal ganjil seperti yang kita lihat tadi. Jadi, aku rasa itu tidak terlalu mengherankan sampai-sampai kau bisa lupa ini sudah waktunya kita buka toko."

Pak Louis Willy baru sadar sudah hampir jam sembilan dan mereka suami istri masih belum berangkat ke pasar buka toko.

"Oke… Oke… Lupakan soal Erdie Vio dan konsentrasi ke bisnis toko kita hari ini. Itu kan yang ingin kaukatakan?" kata sang suami dengan nada skeptis.

"Asalkan dia mencintai dan menyayangi putri kita, ya sudah… Kudengar Erdie Vio ini bukan dari keluarga sembarangan, asal kau tahu saja, Louis…" kata si istri.

"Ya… Salah satu dari ketiga bersaudara Makmur itu bukan? Salah satu dari ketiga anak Faiz Makmur, pengusaha sawit yang cukup disegani di Medan dan di Indonesia ini, kudengar… Hebat juga si Sabrina ini… Bisa pula dia menggaet salah satu dari si kembar tiga Makmur itu," kata Pak Louis Willy sembari tersenyum simpul.

"Dan kau tadi masih berusaha mati-matian ingin memisahkan mereka sampai anak perempuanmu menjerit-jerit seperti orang gila. Bisa pula lagi kau bicara demikian sekarang…" kata Nyonya Candy memberondong suaminya tanpa ampun.

"Kan aku hanya demi kebaikannya deh… Siapa yang mau anak perempuannya bersuamikan seorang pembunuh? Ini dia berhasil membuktikan bukan dia yang membunuh, ya sudah… Toh aku diam-diam saja setelah itu…" kata si suami tidak mau kalah.

"Sudah… Sudah… Sudah saatnya berangkat ke toko. Jangan lantas berpikir sudah mendapatkan calon menantu kaya raya, bisnis toko langsung dilupakan ya…" sembur si istri lagi.

Si suami meledak dalam tawa renyahnya. Tampak ia masuk ke kamar mandi untuk mandi sebelum berangkat ke toko pagi itu.

***

Erwie Vincent keluar dari hotel Grand Aston sore itu. Dia berdiri di tepi jalan dan kelihatannya sedang menunggu sebuah mobil. Tak lama kemudian, mobil menepi dan Erwie Vincent naik ke dalam mobil.

"Bagaimana, Wie? Deal sudah? Job yang malam tahun baru Imlek itu akhirnya jatuh ke tim kita atau ke tim Gagak Hitam?" tanya Erdie Vio mengerling-ngerlingkan matanya dengan penuh semangat.

"Wah… Kau terlalu meremehkanku jika kau bilang job tersebut jatuh ke tim Gagak Hitam, Die. Tentu saja keputusannya jatuh ke kita dong. Itu tidak perlu dipertanyakan lagi," kata Erwie Vincent dengan senyuman santainya.

"Bagaimana bisa? Kau pasti tunjukkan beberapa video performance kita dulu kepada si bos Grand Aston itu kan?" tebak Erdie Vio.

"Tentu saja… Jika tidak ditunjukkan kepadanya, untuk apa aku menyimpan video-video itu, Die?" tampak Erwie Vincent tersenyum santai.

"Siipp…! Dengan demikian malam ini kita bisa mengumumkan suatu kabar baik kepada anggota-anggota yang lain, terutama 5T yang aku lihat sudah mencurahkan sebagian besar energi dan waktu mereka untuk Solidaritas Abadi," tukas Erick Vildy mulai bersemangat.

"Ini aku juga dapat kabar dari Gilbert Yuwin. Kalian masih ingat Gilbert Yuwin kan?" tanya Erdie Vio.

"Salah satu anggota seangkatan kita di Solidaritas Abadi dulu juga kan?" tebak Erick Vildy.

"Iya… Sekarang kan dia tinggal di Kuala Lumpur, mengajar di salah satu SD swasta di sana. Katanya Maret nanti akan ada suatu turnamen naga se-Asia di Kuala Lumpur. Dia kabari aku tadi siang. Rencanaku sih mau daftarkan tim kita ikut turnamen se-Asia itu juga, Rick, Wie. Menurut kalian bagaimana?"

"Bukan ide yang jelek. Maret masih ada dua bulan lagi. Dengan latihan intensif sesering mungkin, aku yakin mereka bisa deh… Bagaimana menurutmu, Rick?" tanya Erwie Vincent ke saudara sulungnya.

"Tunggu apa lagi…? Jika kalian oke, aku oke saja. Gaskan saja kita…!" kata Erick Vildy tampak sangat bersemangat.

Dua E yang lain hanya mengangguk mantap mendengar persetujuan si saudara sulung. Sisa perjalanan ditempuh dengan cerita Erick Vildy dan Erdie Vio di rumah calon mertua mereka masing-masing kepada Erwie Vincent.

***

Tampak Julia Dewi datang ke sanggar lebih awal. Dia juga bantu-bantu di salah satu kantor cabang milik Pak Faiz. Hari ini dia pulang jam lima, belanja sebentar ke pasar swalayan dan jam enam dia sudah sampai di sanggar. Sejurus kemudian, ia sudah tampak menyibukkan diri dengan masakan-masakannya di dapur.

Mobil 3E sampai di sanggar. Tiga E masuk ke dalam bangunan sanggar dan terdengar kesibukan Julia Dewi dari dapur. Sekali mencium aroma masakannya, Erwie Vincent langsung tahu yang sedang memasak di dapur itu adalah pujaan hatinya.

"Sepertinya aku akan menyusul kalian nanti, Rick, Die…" kata Erwie Vincent dengan sebersit senyuman santainya sambil melirik ke arah dapur.

Erick Vildy menepuk ringan bahu adik pertamanya, "Kami berdua sudah berhasil menyakinkan calon istri kami dan juga calon mertua kami. Sekarang tinggal giliranmu, Wie."

"Iya, Wie…" kata Erdie Vio melingkarkan tangannya di leher abang keduanya. "Yakinkan dia bahwa Yenty Marlina sama sekali bukan siapa-siapa dan ia sama sekali tidak bisa menggantikan Julia Dewi di hatimu. Begitu…"

"Siipp… Kalian naik dulu… Aku menyusul nanti…" kata Erwie Vincent santai.

Dua E yang lain naik lift ke lantai tiga. Erwie Vincent melangkah ke dapur perlahan-lahan. Benar saja… Tampak Julia Dewi sedang sibuk dengan masakan-masakannya di dapur. Dua lengan yang kekar nan kokoh perlahan-lahan memeluknya dari belakang. Julia Dewi menggeliat menghindar dan tetap menyibukkan diri dengan masakan-masakannya.

"Kau masih keringatan, Wie… Bukannya mandi dulu sana…" kata Julia Dewi sedikit tersipu malu.

"Apakah aku bau? Nggak kan? Kan aku habis fitness di Grand Aston tadi. Wajar dong kalau keringatan," terdengar suara Erwie Vincent yang lemah lembut nan serak-serak basah di belakangnya. Sungguh setiap kali Julia Dewi mendengar suara itu, perasaan dan pikirannya sangat tidak karuan.

"Mandi dulu deh sana… Habis mandi, kau sudah boleh makan. Maaf kalau daging ayamnya agak kurang enak. Resep Indonesia ini… Aku baru saja mempelajarinya di kantor tadi pagi," kata Julia Dewi dengan sebersit senyuman simpul.

"Apa pun yang kau masak, tetap terasa enak bagiku, Sayang…" bisik Erwie Vincent dari belakang.

Akhirnya Julia Dewi menyerah. Dia menurut saja ketika Erwie Vincent memutar badannya ke depan dan kini ia berdiri berhadap-hadapan dengan sang pujaan hati. Erwie Vincent mengeluarkan sekuntum mawar kuning dan memberikannya pada Julia Dewi. Julia Dewi tersenyum hangat menerima sekuntum mawar kuning dari sang pangeran pujaan hati.

"Kau tahu warna kuning adalah warnaku. Bersama dengan mawar kuning ini, aku telah menyerahkan warnaku kepadamu, Julia Sayang. Aku yakin kau akan merawatnya dengan baik," bisik Erwie Vincent. Sungguh suaranya yang lemah lembut nan serak-serak basah sangat menggetarkan sukma Julia Dewi.

"Bagaimana dengan Yenty Marlina? Apa yang akan kaulakukan jika ia juga meminta sekuntum mawar kuning darimu?" tanya Julia Dewi menatap lurus-lurus ke dalam bola mata sang pangeran pujaan.

"Kukatakan kepadanya… Jika dia meminta bantuanku, oke, tidak masalah… Aku akan membantunya. Tapi, jika ia meminta mawar kuning dariku, aku akan bilang kepadanya aku hanya punya satu kuntum mawar kuning dan itu sudah kuberikan pada wanita yang sangat kucintai, setelah mamaku…" bisik Erwie Vincent lagi dan kali ini sungguh benteng pertahanan Julia Dewi yang sudah sekokoh tembok China, luluh lantak seketika.

Julia Dewi menenggelamkan diri ke dalam pelukan sang pangeran pujaan.

"Tadi kau bilang aku masih keringatan dan sekarang kau memelukku dengan erat, Julia Sayang…" kata Erwie Vincent meledak dalam tawa santainya.

"Aku memang bilang kau masih keringatan, tapi aku tidak bilang aku tidak menyukainya," kata Julia Dewi mempererat pelukannya.

Erwie Vincent membelai-belai kepala sang putri pujaannya. Senandung kebahagiaan berselarak dalam rangkup pikirannya.

Siguiente capítulo