BAB 9
Mendadak Erdie Vio terbangun dari tidurnya. Dia menyadari dirinya sedang berada dalam sebuah kereta api. Dia melihat sebentar keluar jendela. Tampak jejeran pegunungan dengan latar awan-awan putih di belakangnya. Kereta api sedang bergerak ke arah Kuala Lumpur dengan kecepatan penuh. Sinar matahari yang terik nan panas menerobos dengan bebas masuk ke dalam kereta api. Erdie Vio merasa agak kepanasan meski mesin pendingin di dalam kereta api sedang menyala.
"Kok berkeringat dingin, Die?" tanya Sabrina Marcelina menatap sang kekasih dengan dahi yang berkerut.
Erdie Vio meneguk sisa air mineralnya. Dia masih memandang keluar jendela dengan sorot mata menerawang.
"Mimpi buruk lagi…" kata Sabrina Marcelina dengan nada skeptis, "mimpi Erwie Vincent dan Erick Vildy lagi pastinya…"
Erdie Vio kini tersenyum cerah.
"Mimpi kembali ke masa-masa silam, ketika kami bertiga saling mencurigai satu sama lain dan akhirnya itulah yang memecah-belah kami. Sampai dengan detik ini, Rin… Sampai dengan detik ini, aku tidak pernah bicara lagi dengan Erick dan Erwie."
"Tapi, yang membunuh Stella Kuangdinata aku rasa jelas bukan salah satu di antara kalian bertiga, Die. Sudah jelas si pembunuh Stella Kuangdinata ingin membuat kalian saling mencurigai dan akhirnya ia bisa memecah-belah kalian."
"Dan menurutmu sekarang ia berhasil?" ujar Erdie Vio masih dengan pandangan menerawang keluar jendela.
"Itu belum tentu. Apakah… Apakah 3E sudah resmi bubar sekarang?" tanya Sabrina Marcelina lagi.
"Tentu saja tidak… Tentu saja tidak…" jawab Erdie Vio cepat, "tapi, itu dari sudut pandangku ya. Entah dengan sudut pandang kedua abangku ya…"
"Mereka pasti menginginkan 3E balik dan akrab lagi, Die… Aku kenal banget dengan kedua abangmu," sahut Sabrina Marcelina.
"Meski kami bukanlah saudara kandung?" tukas Erdie Vio sedikit sangsi.
"Kadang yang saudara kandung lebih renggang kekerabatan dan persaudaraan mereka daripada kalian yang saudara angkat. Aku yakin ketika kalian baikan lagi setelah ini, kalian takkan terpisahkan lagi sampai tua."
"Kau seyakin itu?" Erdie Vio masih tampak sangsi.
Sabrina Marcelina mengangguk mantap. Mendadak si masinis di depan membunyikan klakson kereta apinya dengan begitu panjang dan nyaring. Sabrina Marcelina terperanjat seketika. Serta-merta ia menutup kedua telinganya sambil memekik ringan.
"Ada apa itu?" Sabrina Marcelina tampak shocked ringan.
Erdie Vio memiliki suatu firasat yang tidak enak. Ia berdiri dari duduknya. Karena gerbong yang ditumpanginya adalah gerbong kedua setelah lokomotif, ia bisa melihat jelas keadaan dalam gerbong lokomotif dan pemandangan yang ada di depan kereta api. Seketika kedua matanya membelalak lebar melihat ada kereta api lain, dalam rel yang sama, sedang bergerak dengan kecepatan tinggi ke arah mereka! Tampak si masinis sudah berkali-kali menekan klakson yang panjang nan nyaring, namun kereta api dari arah berlawanan masih saja tampak berpacu dengan kecepatan yang sama.
"Hah! Ada apa ini? Kereta api yang di depan sana sedang bergerak menuju kita!" teriak Erdie Vio mulai panik.
Sabrina Marcelina menjerit dengan jeritannya yang melengking tinggi.
"Dalam waktu beberapa menit, kita akan tertabrak, Die! Lari ke gerbong-gerbong belakang, Die!" Sabrina Marcelina mulai menarik tangan Erdie Vio.
Erdie Vio melihat keadaan di sekelilingnya. Tidak mungkin bisa lari. Dalam sekejap kereta api berubah menjadi kapal pecah. Semuanya berteriak dan menjerit-jerit, termasuk para staff dan kapten masinisnya. Pintu pembatas gerbong yang kecil dan hanya pas untuk satu orang tentu saja tidak muat ketika semuanya ingin mencari keselamatan dan keamanan masing-masing.
"Pintu itu jadi penuh sesak! Tidak mungkin bisa ke gerbong-gerbong belakang lagi! Kecuali kalau kita langsung lompat keluar melalui jendela! Bagaimana ini, Die? Apa yang harus kita lakukan?" terdengar suara Sabrina Marcelina yang gemetaran. Dia mencengkeram lengan kanan sang kekasih erat-erat.
Erdie Vio memejamkan matanya untuk beberapa saat. Tidak ada pilihan lain lagi! Tidak ada cara lain lagi! Aku harus menggunakan kekuatan itu! Aku harus menggunakan kekuatan itu meski tak ada Erick dan Erwie di sini sekarang!
Sontak sepasang mata Sabrina Marcelina melebar. Mulutnya kontan menganga ketika dia mulai menyadari ada sinar hijau yang terpancar dari kedua tangan Erdie Vio.
"Tutupi aku, Rin… Tutupi aku… Jangan sampai orang-orang yang di belakang sana melihat sinar hijau yang terpancar keluar dari tanganku ini," kata Erdie Vio.
Sabrina Marcelina mengangguk-ngangguk dengan cepat. Dia mengeluarkan selendangnya yang cukup besar dan melingkarkan selendang tersebut ke dirinya sendiri. Kini tampak dirinya yang sudah terbalut oleh selendang besar, sehingga dirinya menjadi agak lebih besar daripada biasanya dan bisa menutupi sosok sang pujaan hati yang sedang mencoba untuk menghentikan dua kereta api yang sebentar lagi akan laga kambing tersebut.
Mulai terdengar suara derit rem yang kontan dan mendadak. Semuanya tercampak ke depan. Sabrina Marcelina merasa heran hanya dia dan Erdie Vio yang tidak tercampak ke depan. Namun, karena selendangnya yang membuat dirinya tampak lebih besar, sama sekali tidak ada yang menyadari dengan kondisi sekujur tubuh Erdie Vio yang sudah bersinar hijau. Semuanya tercampak ke depan – ada yang jatuh terjerembab ke depan dan berteriak-teriak kesakitan.
Sinar hijau pada tubuh Erdie Vio mulai menembus hingga ke gerbong lokomotif dan akhirnya menembus keluar dari kereta api. Sinar hijau mulai membalut kereta api lain yang datang dari arah berlawanan tersebut. Mulai terdengar derit rem yang melengking tinggi. Erdie Vio mengatupkan kedua matanya. Tampak peluh yang membutir besar-besar pada dahi, wajah dan lehernya. Pakaiannya juga sudah basah oleh keringat.
Sabrina Marcelina terus berdoa dalam hati. Ia tidak bisa melakukan apa-apa lagi selain mengeringkan keringat Erdie Vio dengan selendangnya.
Detik demi detik berlalu. Terasa kereta api rem mendadak. Semuanya hanya bisa berdiam diri di tempat masing-masing sambil berpegangan erat pada orang-orang atau benda-benda yang ada di sekitar. Terasa tekanan yang begitu kuat ke depan. Semuanya tidak berani melepaskan pegangannya.
Akhirnya kedua kereta api berhenti, menyisakan jarak yang kira-kira hanya sepuluh senti di antara keduanya! Tampak sang masinis yang menghapus peluhnya dan bernapas lega di tempat. Ada beberapa penumpang lain yang menangis haru. Ada beberapa penumpang lain yang bernapas lega. Namun demikian, atmosfer kengerian dan bayang-bayang maut yang hampir menjamah masih menyelimuti seisi kereta api. Tidak ada yang berani langsung berdiri, sebagian karena takut kengerian belum berakhir, sebagian masih berusaha menetralkan kembali jiwa yang sempat terguncang dan bergejolak barusan.
Mulai tampak sinar hijau pada tubuh Erdie Vio meredup sedikit demi sedikit. Sabrina Marcelina tahu kalau tidak terpaksa, Erdie Vio takkan menggunakan kekuatannya ini. Dia tahu apa yang akan terjadi begitu sinar hijau pada tubuh sang pujaan hati padam total. Benar tebakannya, Erdie Vio kontan kehilangan kesadarannya dan tubuhnya langsung lemas melorot dalam pelukan Sabrina Marcelina. Karena tubuh sang kekasih yang terasa begitu berat, Sabrina Marcelina langsung terduduk di lantai gerbong kereta api. Ia tidak sanggup berdiri lagi. Ia terpaksa terus duduk di sana sambil menunggu sampai bala bantuan datang.
"Apa yang terjadi dengan kekasih Anda, Nona?" tanya seorang ibu-ibu yang kini sudah bisa berdiri. "Apakah keadaannya gawat?"
"Tidak kok, Bu… Terima kasih. Dia hanya shocked ringan dan pingsan. Setelah dibawa ke rumah sakit dan diinfus, dia akan pulih seperti sedia kala," kata Sabrina Marcelina dengan jawabannya yang pas setiap kali Erdie Vio kehilangan kesadarannya di tempat umum setelah ia selesai mempergunakan kekuatan misteriusnya.
Ibu-ibu itu mengangguk dan terdiam setelah itu. Tampak beberapa petugas keamanan dan keselamatan dari stasiun terdekat mulai berdatangan dan mendekati kedua kereta api yang hampir bertabrakan itu. Pintu masing-masing gerbong berhasil dibuka. Akhirnya para penumpang, termasuk Erdie Vio dan Sabrina Marcelina bisa kembali menghirup udara segar.
Penyelidikan terhadap penyebab musibah tersebut pun segera dilaksanakan.
***
Kuala Lumpur, 11 April 2018
Perlahan-lahan, Erdie Vio merasa dia berada di batas antara sadar dan mimpi yang masih samar-samar.
"Kenapa kau pilih lagu itu, Erdie Vio?" tanya salah satu dewan juri yang barusan mendengarnya menyanyi.
"Itu adalah salah satu dari beberapa lagu yang aku dan kedua saudaraku aransemen ketika kami duduk di bangku SMA," kata Erdie Vio dengan senyuman lebarnya.
"Jadi musik dan pemain-pemain musiknya?" tanya juri yang lain.
"Waktu itu, kami bekerja sama dengan beberapa musisi dan studio rekaman yang cukup terkenal di Jakarta."
"Begitu ya…" si juri mangut-mangut. Dengan melihat penampilannya saja, si juri sudah langsung tahu Erdie Vio berasal dari kalangan berada. Namun, dia tidak bertanya kenapa anak orang kaya seperti Erdie Vio ini mau menjadi seorang artis.
"Ada beberapa bagian yang tidak kaunyanyikan tadi, Erdie Vio," kata seorang juri yang lain. "Jadinya pesan lagumu itu menjadi setengah-setengah dan kami menjadi pusing apa sebenarnya yang ingin kausampaikan dari lagumu itu. Boleh aku tahu kenapa kau tidak menyanyikannya saja secara keseluruhan tadi?"
"Itu adalah bagian-bagian yang dinyanyikan oleh kedua saudaraku yang lain. Memang lagu ini cocok dinyanyikan secara trio karena tempo dan iramanya yang begitu cepat. Karena dua saudaraku yang lain itu tidak ada di sini, bagian mereka tidak bisa kunyanyikan secara sempurna. Jadi, kuputuskan untuk mengosongkannya saja."
Keempat juri mengangguk-ngangguk. Terhadap jawaban Erdie Vio yang terakhir itu, mereka sudah memiliki perhitungan dan pertimbangan mereka sendiri.
Erdie Vio kembali menghela napas panjang. Itulah pertama kalinya ia menginjakkan kaki ke Singapura dan mengikuti ajang pencari bakat.
Mimpi itu perlahan-lahan menjadi buyar. Erdie Vio membuka kembali sepasang matanya. Kali ini ia menyadari ia sudah berada di sebuah kamar rawat inap rumah sakit. Dia melihat adanya jarum infus yang terpasang pada pergelangan tangan kanannya. Dia melihat ke sisi kiri tempat tidurnya. Baju dan celananya bergelantungan pada kursi yang ada di sana. Dia terhenyak seketika. Tangan kiri langsung menyibak sedikit selimutnya. Tampak dia hanya mengenakan celana dalam yang sama ketika dia menaiki kereta api dengan Sabrina Marcelina.
Sabrina Marcelina masuk ke dalam kamar rawat inap tersebut dengan langkah-langkah ringan. Begitu menyadari sang pujaan hati masih belum berpakaian, wanita itu langsung menghentikan langkah-langkahnya dan sekonyong-konyong membalikkan badan ke arah lain.
"Astaganaga! Kenapa kau masih belum berpakaian, Die?" teriak Sabrina Marcelina.
"Dengan kondisi tangan kananku yang masih diinfus begini?" protes Erdie Vio. "Lagipula siapa yang suruh kau kurang kerjaan melepaskan baju dan celanaku segala? Kan aku hanya pingsan – kecapekan karena telah menggunakan kekuatan aneh nan misterius itu. Kau sudah tidak sabar ingin melihatnya ya?"
Tampak mata Erdie Vio yang mengerling-ngerling nakal. Sabrina Marcelina bersungut-sungut seraya menghentak-hentakkan kakinya ke lantai.
"Bukan aku!" Sabrina Marcelina memekik lembut. "Dokter dan suster yang melepas baju dan celanamu karena basah kuyup semua. Kau tak henti-hentinya keringatan terus tatkala dibawa ke sini, Die. Bukan aku!"
"Ya… Ya… Ya… Aku tahu… Aku tahu… Hanya bercanda kok… Gitu saja jangan sewot dong, Rin…" kata Erdie Vio menyeringai. "Bagaimana aku bisa ganti baju jika kau tak ambilkan baju dan celana gantiku dari koper itu?"
"Iya… Iya… Kuambilkan…" kata Sabrina Marcelina mulai mengeluarkan satu celana panjang biru tua dan satu kaos warna hijau tua.
Akan tetapi, ketika ia hendak berjalan menuju ke arah Erdie Vio, tanpa sengaja kakinya tersandung ke kaki kursi yang diletakkan dekat dengan tempat tidur pasien. Tak ayal lagi, Sabrina Marcelina terjatuh tepat ke dalam pelukan Erdie Vio. Untuk beberapa detik lamanya, keduanya membeku dalam kekakuan dan tidak tahu mesti berbuat apa.
Sabrina Marcelina perlahan-lahan mengangkat dirinya dari pelukan Erdie Vio. Dia memberikan baju dan celananya kepada si pemilik. Erdie Vio memandangi baju dan celananya dengan pandangan kebingungan dan sepasang bibirnya yang menganga.
"Jadi, dengan kondisi tangan yang masih diinfus, kau pikir aku bisa pakai baju dan celana ini sendiri?" Erdie Vio kembali tersenyum nakal kali ini.
"Hah?" kali ini tampak seakan-akan Sabrina Marcelina terjengat di tempatnya. "Jadi harus aku lagi yang bantu kau berpakaian?"
"Oh… ya sudah…" kata Erdie Vio pura-pura bersungut-sungut kali ini, "Oke… Tidak masalah. Aku panggil suster yang cantik-cantik di luar saja, biar mereka yang bantu aku berpakaian."
"Oke… Oke… Aku bantu… Aku bantu…" kata Sabrina Marcelina akhirnya, menyerah dalam permainan usil sang pangeran pujaan. "Tapi, dengan satu syarat… Kau harus memejamkan matamu ya. Setelah semuanya selesai, kau baru boleh buka mata. Setuju?"
"Iya… Iya…" kata Erdie Vio sambil pura-pura memejamkan matanya. Padahal, tanpa sepengetahuan sang putri pujaan, ia diam-diam membuka sedikit-sedikit matanya.
Tentu saja, berpakaian dengan tangan yang masih dipasangi jarum infus haruslah dengan cara yang sedikit berbeda. Tabung infusnya duluan yang dimasukkan ke dalam lengan baju, baru disusul dengan tangan yang terpasang jarum infus. Setelah itu, baju sudah bisa dikenakan seperti biasa. Di sini, tampak Sabrina Marcelina yang menelan ludah beberapa kali. Bagaimanapun juga, dia adalah seorang perempuan normal. Astaganaga… Dulu ketika masih SMP dan SMA, seingatku tubuh Erdie itu kurus jangkung dan terlihat seolah-olah hanya tinggal kulit berbalut tulang. Kok dalam beberapa tahun terakhir ini, tubuhnya menjadi tegap atletis nan padat berisi?
Pakai celana lebih gampang. Akan tetapi, inilah tantangan terberat yang harus dilewati oleh Sabrina Marcelina. Dengan menarik napas dalam-dalam, dia menepuk-nepuk kedua kaki Erdie Vio. Erdie Vio mengangkat kedua kakinya. Celana pun segera dipakaikan dan akhirnya ditarik Sabrina Marcelina dengan sekuat tenaga. Dalam waktu yang hanya beberapa detik, celana sudah mencapai pantat. Tinggal ditarik sedikit lagi sudah menutupi bagian-bagian terlarang yang membuat Sabrina Marcelina panas dingin tak karuan.
"Kalau kau tidak mengangkat pantatmu, bagaimana celana ini bisa terpakai dengan sempurna?" tanya Sabrina Marcelina berusaha bersikap setenang mungkin.
Erdie Vio yang masih membuka sedikit-sedikit matanya, tahu betul bagaimana kondisi mimik wajah sang putri pujaannya.
"Oh iya… iya… Sorry… Sorry… Kelupaan angkat pantat…" kata Erdie Vio tergelak sebentar.
Begitu pantat diangkat, langsung celana terpakai secara sempurna. Namun, kali ini Erdie Vio sengaja menjatuhkan pantatnya ke tempat tidur dengan cepat. Tangan sang putri pujaan yang masih memegang celananya pun ikut tertarik ke bawah. Tak ayal lagi, untuk kedua kalinya di pagi yang sama, Sabrina Marcelina terjatuh ke dalam pelukan yang sama.
"Orang tua zaman dulu bilang, jika kau sudah memeluk seorang gadis yang sama lebih dari satu kali di pagi yang sama, kau harus menikahi gadis itu, Die. Kau pernah dengar nggak?" ujar Sabrina Marcelina kali ini dengan agak manja. Dia tahu kali ini Erdie Vio sengaja membuatnya terjatuh ke dalam pelukannya, seperti saat ia tersandung ke kaki kursi tadi.
"Oke…" kata Erdie Vio dan kali ini tanpa guyonan sedikit pun. Dia masih memeluk dan membelai-belai kepala sang putri pujaan. "Kali ini aku serius, Rin… Jika kau ingin kita menikah, setelah kontrakku di sini habis, kita akan pulang ke Indonesia dan meminta doa restu dari papa mama kita."
Sabrina mengangkat kepalanya dan menatap sang pangeran pujaan sejenak.
"Apakah… Apakah kau akan menjadi milikku seutuhnya? Setelah hari ini, maukah kau berjanji padaku bahwa Stella Kuangdinata sama sekali sudah tidak ada di hatimu?" tanya Sabrina Marcelina menatap lurus-lurus ke mata sang pangeran pujaan.
"Dia adalah masa laluku, Rin…" kata Erdie Vio mengangkat dagu sang putri pujaan. "Sedangkan kau adalah masa sekarangku. Bagaimana mungkin aku masih terpaku pada masa lalu dan mengabaikan masa sekarang, Rin? Bagaimana mungkin…?"
Sabrina Marcelina meraih sang pangeran pujaan ke dalam pelukannya.
"Aku tidak mau tahu, Die. Aku sudah anggap ini adalah janjimu terhadapku. Kita akan menikah dan memiliki satu keluarga kecil yang bahagia."
"Dan apa pun yang terjadi, kau akan selalu mendukungku bukan? Apa pun yang terjadi, kau takkan meninggalkan aku bukan?"
"Nggak… Nggak akan…" kata Sabrina Marcelina menggeleng mantap. "Kita akan terus bersama, Die… Selalu bersama… Tidak terpisahkan…"
Erdie Vio mendaratkan satu ciuman mesra ke bibir sang putri pujaannya. Kemudian, ia mempererat pelukannya. Inilah yang disebut masa sekarang. Apa yang sudah kulalui dengan Stella Kuangdinata sudah berubah menjadi masa lalu. Ada banyak hal yang lebih baik dibiarkan saja sendirian… Begitu banyak pertanyaan yang tidak bisa dikendalikan… Aku sendiri juga tidak mau tahu bagaimana ini semua akan berakhir. Karena dengan tahu itu semua, itu takkan menghentikan hujan untuk turun kembali. Itulah masa lalu… Aku tak perlu segala takhayul, ramalan nasib, dan segala jenis kekuatan gaib… Untuk hidupku yang tidak terperkirakan ini, aku tak memerlukan itu semua… Aku hanya memerlukan satu hal – keyakinan dari diriku sendiri…
***
Malam mulai menyelisir seantero Kuala Lumpur. Dengan mengendarai mobil sewaannya, akhirnya Erdie Vio dan Sabrina Marcelina tiba di Bukit Bintang. Di tengah-tengah lapangan yang luas nan beratapkan langit, tampak sekelompok anak muda sedang latihan atraksi naga. Erdie Vio tersenyum lebar tatkala ia melihat Gilbert Yuwin di tengah-tengah sekumpulan anak muda tersebut. Gilbert Yuwin adalah teman semasa kuliahnya dulu ketika di Medan. Gilbert juga pernah bergabung dengan sanggar Solidaritas Abadi. Namun, ketika dilihatnya 3E sudah masing-masing bersolo karier, dia memutuskan hijrah saja ke Kuala Lumpur dan mencari pekerjaan di sana. Dua bulan setelah melanglang sana-sini, akhirnya ia diterima sebagai guru Mandarin SD di suatu sekolah swasta.
Salah seorang si pemain naga sedang latihan memutar-mutar mutiara naga. Karena masih belum begitu mahir, tiang mutiara naga terlepas dari genggaman tangannya dan hampir saja kena kepalanya sendiri. Dengan sigap, Erdie Vio menangkap tiang mutiara naga itu.
"Jika kau belum mahir, mula-mula putar dengan kecepatan sedang dulu. Makin lama, kau akan makin terbiasa dengan putaran-putarannya. Saat itu, kau baru boleh menantang dirimu sendiri dengan putaran-putaran yang makin cepat," kata Erdie Vio mula-mula memutar tiang mutiara naganya dengan lambat, dan semakin cepat dan semakin cepat dan akhirnya benar-benar cepat.
Sekelompok anak muda tersebut bertepuk tangan riuh menyaksikan kebolehan Erdie Vio dalam memainkan mutiara naga. Gilbert Yuwin mengangkat tiang kepala naganya. Dia memberi isyarat kepada para pemain tiang badan hingga tiang ekor untuk mengangkat tiang-tiang mereka juga. Dia juga mengedipkan matanya kepada si pemain tambur dan empat pemain alat bunyi-bunyian pengiringnya. Sejurus kemudian, musik pengiring naga dimainkan. Kepala naga dan badannya mulai bergerak mendekati sang mutiara.
Sang mutiara terus berputar-putar ke atas dan ke bawah dengan kecepatan yang lambat, sedang, dan akhirnya menjadi cepat. Pada saat memasuki jurus angka delapan, badan naga akan berbentuk angka delapan dan meliuk-liuk dengan kecepatan yang lambat. Sang mutiara naga juga akan berputar dengan kecepatan yang lambat.
teo teo chi teo… teo tang… teo… cer… teo tang!! teo teo chi teo… teo tang… teo… cer… teo tang!! teo teo chi teo… teo tang… teo… cer… teo tang!!
chi tang… chi tangg… tangg!! chi tang… chi tangg… tangg…!!
Sabrina Marcelina merasa si pemukul gong besar kewalahan menyambungkan pukulannya dengan irama yang dipukul oleh teman-temannya. Dia mendekati si pemudi pemain gong besar tersebut. Dengan memberinya isyarat tangan, Sabrina Marcelina mengajari si pemudi tersebut rumus pukulan yang benar sehingga bunyi gong besarnya bisa sinkron dengan pukulan teman-temannya yang lain. Perlahan-lahan, bunyi gong besar mulai sinkron dengan ketiga alat bunyi-bunyian yang lain. Musik pengiring jurus yang satu ini mulai enak di telinga.
Naga mulai berputar dengan jurus teddy bear 360 derajat dalam kecepatan penuh. Sang mutiara naga juga tampak berputar-putar atas dan bawah dengan kecepatan penuh.
Rumus musik pengiring pun berganti menjadi cepat. chi tang chi tang chi chi tang… Berulang-ulang dan cepat sekali… Tampak pemain gong besar dan simbal besar mulai kewalahan. Akhirnya, ada kalanya pukulan keduanya menjadi campur dan menyatu. Timbullah bunyi musik pengiring yang tidak lagi harmonis.
Sabrina Marcelina membetulkan keduanya lagi. Isyarat tangan kembali diberikan. Begitu sang mutiara dan naga memasuki set yang ketiga, musik pengiring mulai berangsur-angsur sinkron.
Naga mulai melipat badannya dan memberi hormat. Naga membuka dan merentangkan kembali badannya. tang tang… chi chi… takk!! Naga mulai memasuki pos akhir. tang tang… cer… tang tang… cer… teoo!! chepp!! Mutiara naga berhenti – badan naga berhenti – dan seluruh musik pengiring juga berhenti.
"Kak… Thanks banget ya… Thanks banget karena sudah mau ngajarin tadi," kata si pemain gong besar.
"Kalau tidak ada Kakak, sudah kacau balau alias berantakan musik pengiring kami," kata si pemain simbal besar.
"Tidak apa-apa… Aku hanya membantu sebisaku. Mungkin kalian belum begitu terbiasa. Ala bisa karena biasa. Makin sering-sering pukul saja. Nanti ketika sudah terbiasa, akan gampang kok…" kata Sabrina Marcelina sembari tersenyum simpul.
Sabrina Marcelina sesungguhnya mau mendekati Erdie Vio, tapi karena dilihatnya sang pujaan hati sedang bercengkerama dengan sobat lamanya semasa di Medan dulu, dia memutuskan untuk mengobrol-ngobrol dengan keempat pemudi pemain alat bunyi-bunyian tersebut.
"Di sini, kau kerja apa memangnya, Bert?" tanya Erdie Vio, tetap dengan senyumannya yang penuh semangat dan antusiasme.
Gilbert Yuwin menyodorkan sekaleng minuman ringan kepada Erdie Vio.
"Pagi sampai siang mengajar Mandarin tingkat SD di sebuah sekolah swasta. Malamnya aku bergabung dengan tim Prajurit Sejati ini. Selain naga, ada juga barongsai panjat tiang tentunya. Kebetulan sekali malam ini kami sedang latihan naga. Minggu depan mau mengisi acara perayaan ulang tahun sebuah perusahaan besar di Bukit Nanas," jawab Gilbert Yuwin.
Tampak Erdie Vio mengembalikan mutiara naganya kepada si pemain mutiara tadi.
"Berlatih dulu sana, Dik…" kata Gilbert Yuwin kepada salah satu anggota timnya. Si pemain mutiara mengambil tiangnya dan segera bergabung dengan kerumunan teman-temannya.
"Jadi kok kau bisa sempatkan diri ke sini bercengkerama denganku? Sedang tidak ada jadwal shooting?" tanya Gilbert Yuwin lagi.
Erdie Vio hanya diam menatap ke depan dengan sorot mata menerawang.
"Sudah mulai bosan dengan dunia hiburan? Ternyata bukan jati dirimu ya dunia hiburan ini…" tukas Gilbert Yuwin.
"Mulanya kukira sih iya… Begitu kejadian itu terjadi, dan aku bertengkar dengan Erick dan Erwie, aku kira lebih baik jadi artis saja. Punya panggungku sendiri, menyanyikan lagu-laguku sendiri, memainkan film-filmku sendiri, dan kalau bisa, menuliskan cerita-ceritaku sendiri, dan kemudian mengfilmkannya."
"Dan sekarang…?"
"Sekarang… Sekarang…" tampak Erdie Vio masih berusaha mencari padanan kata-kata yang pas untuk melukiskan keadaannya sekarang. "Sekarang aku pikir-pikir kembali… Mungkin waktu itu aku begitu getol ingin menjadi artis, bukan karena artis itu sendiri."
"Terus?"
"Melainkan… Melainkan, mungkin saja waktu itu aku begitu getol ingin meninggalkan Medan, meninggalkan kampung halamanku sendiri, dan juga meninggalkan semua kepedihan yang ada di sana…" kata Erdie Vio, kini dengan sebersit senyuman simpulnya.
Gilbert Yuwin meneguk minuman kalengnya.
"Oleh karena itu, jangan pernah menutup sebuah pintu, menguncinya, dan membuang kuncinya. Suatu saat nanti mungkin kau akan kembali. Nah, aku yakin kuncinya masih ada di tanganmu. Kau kan masih bisa kembali."
"Itulah yang membingungkan buatku sekarang. Entah apa ya… yang akan kukatakan pada 2E di saat aku bertemu dengan mereka lagi. Apakah mereka masih mau menerimaku seperti dulu?" Erdie Vio mendesah panjang kali ini. Capek, bingung, dan lelah semuanya bercampur baur menjadi satu.
"Kalau tidak dicoba, bagaimana kau bisa tahu hasilnya?" terdengar suara Sabrina Marcelina yang berjalan mendekati mereka.
"Dari mana saja, Rin?" Erdie Vio tampak tersenyum kecut.
"Baru saja kembali dari mencari udara malam yang segar," kata Sabrina Marcelina. "Bagaimana kabarmu, Bert? Sama seperti Erdie, masih betah di negeri orang dan belum mau balik ke kampung halaman?"
"Kalau Erdie balik, aku ikut balik," kata Gilbert Yuwin berseloroh.
"Aduh! Jangan meletakkan semua beban ke atas punggungku dong!" protes Erdie Vio tampak bersungut-sungut.
"Jadi di sini kerja apa, Bert?" tanya Sabrina Marcelina lagi.
"Jadi guru Mandarin tingkat SD. Kau? Kerja apa di Singapura?"
"Jadi kasir di sebuah coffee house. Kalau bukan karena aku ada kerjaan di sana dan aku bilang itu untuk cari-cari pengalaman di negeri orang, sudah sejak tiga tahun lalu aku ditarik pulang oleh papa mamaku. Kenapa ya ada orang yang begitu keras kepala, marahan dengan saudara sendiri bisa sampai lima tahun lamanya? Bayangkanlah itu, Bert…"
Gilbert Yuwin meledak dalam tawa, "Sekarang lagi cuti nih?"
"Iya… Kan mau temani dia ke sini mengobrol-ngobrol denganmu," kata Sabrina Marcelina dengan sebersit senyuman simpul.
Gilbert Yuwin menepuk ringan bahu Erdie Vio, "Jadi bagaimana nih, Die? Tiga E sudah siap untuk kembali reunian?"
Erdie Vio mendengus sesaat, "Apakah 3E akan balikkan kembali atau tidak, itu kan murni tidak tergantung pada diriku seorang. Kalian harus tanya dong pada 2E yang lain."
Gilbert Yuwin dan Sabrina Marcelina saling bertukar pandang dengan sorot mata yang skeptis.
"Sudah lama aku tidak melihat penampilan tarian dan nyanyian 3E, Rin…" kata Gilbert Yuwin penuh arti, "Sudah lama juga tidak melihat mereka dalam satu atraksi naga yang sama."
"Iya dong… Bisa sampai lima tahun pula tuh…" kata Sabrina Marcelina mengimbangi permainan Gilbert Yuwin. "Sudah sejak setahun lalu aku bilang padanya, Bert. Ada yang belum terselesaikan di Medan. Kita harus kembali. Tapi apa dayaku… Pemeran utama yang bersangkutan tidak mau mendengarkanku."
"Memangnya apa sih yang belum terselesaikan itu?" Erdie Vio menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak terasa gatal.
"Tentu saja kematian Stella Kuangdinata itu, Die," kata Gilbert Yuwin lembut.
"Memangnya kau mau 3E difitnah-fitnah terus atas kejahatan yang sesungguhnya tidak mereka perbuat?" sambung Sabrina Marcelina.
Erdie Vio kembali menekur.
"Ternyata kalian begitu menginginkan aku kembali ke Medan ya…" Erdie Vio tampak sedikit menyeringai sekarang.
"Kami ingin sekali mempertemukan kembali 3E sehingga mereka bisa berdamai dan berbaikan," kata Sabrina Marcelina. Gilbert Yuwin mengangguk mantap.
"Tapi kontrakku sampai dengan akhir tahun ini loh," kata Erdie Vio masih dengan pembelaan dan pembenarannya.
"Kalau begitu, Januari tahun 2019 nanti kita baru balik Medan," kata Sabrina Marcelina santai.
Kembali Erdie Vio menggaruk-garuk kepalanya.
"Aduh! Aku jadi kaku dan tidak tahu harus ngomong apa ketika bertemu dengan Erick dan Erwie nanti. Sudah lima tahun loh aku tidak menghubungi mereka. Sudah lima tahun loh…" kata Erdie Vio bersungut-sungut.
"Itu gampang. Yang penting kau bertemu dulu dengan 2E yang lain. Mau ngomong apa, mau diskusikan tentang hal apa, nanti ketika kalian sudah bertemu, sudah bisa mengalir secara alamiah tuh…" kata Gilbert Yuwin non komital.
Erdie Vio merapatkan bibirnya. Dia masih memiliki waktu lebih dari setengah tahun ke depan untuk mempersiapkan dirinya kira-kira mau ngomong apa ketika bertemu lagi dengan kedua saudaranya yang lain – setelah lima tahun lamanya mereka berpisah.
Angin malam yang sejuk berhembus sejenak. Segala macam perasaan berkecamuk dalam rangkup batin Erdie Vio.