webnovel

Main ke rumah Bimo

Aku masih senyum-senyum di pembaringanku mengingat puisi absurd tapi indah yang jadi kado ulang tahun ke-17 ku yang berkesan. Ku simpan baik-baik sketsa itu di dalam buku tulis saksi jadian kami waktu itu.

Juga gantungan kunci koala yang katanya dari Australia itu aku kaitkan pada resleting tas sekolahku.

Lalu aku segera memejamkan mataku, menjemput kembang tidur yang sepertinya akan bikin aku tak mau bangun dari tidurku esok hari.

--×××--

"Ray, mama nyuruh ajak kamu main kerumah weekend ini"

Bimo yang tengah merebahkan kepalanya malas di atas meja Dwi, tiba-tiba bicara dengan santai dan nada datar soal mengajakku kerumahnya.

Kami sedang di kelasku, entah sejak kapan dia mulai rajin main ke kelasku seakan-akan ini kelasnya sendiri. Aku yang duduk menyandarkan punggungku pada dinding dan menghadapnya seketika menegakkan badanku.

"Ha? Mau ngapain Bim?" tanyaku tolol.

"Ya main aja Maemunaah sayaaang.... Katanya hari minggu ini mama dirumah seharian jadi nyuruh kamu buat kerumah, bilangnya sih mau masak."

Bimo jawab tanpa mengubah posisinya, sambil menepuk pelan keningku sebab pertanyaan aneh yang kulontarkan.

"Tapi grogi ih, aku mau disuruh bantu masak? Aku gak bisa masak" ujarku sembari mengusap-usap kening yang tadi di tepuknya.

"Lah, perasaan kemaren udah bikin koalisi.. Grogi apanya lagi?" tanyanya heran.

"Ya tetep aja..."

"Jadi gak mau nih?" katanya, kali ini sembari menegakkan kepalanya.

"Eh..siapa yang bilang gak mau?"

"Lah terus?"

"Aku pake baju apa ya?"

"Baju biasa aja"

"Mama kamu suka apa?"

"Apanya?"

"Iih..makanan, suka apa?"

"Tiramisu?" ucapnya ragu sambil mengerdikkan bahunya.

"Oke.. Kalau gitu bawain tiramisu aja"

"Buat aku enggak?"

"Kamu emang suka apa?"

"Pacar durhaka, masa gak tau"

"Gak tau, kamu juga! Emang tau kesukaan aku?"

"Matcha flute, roti moca susu, roti bakar mamah, Bollen pisang keju, puding mangga, aglio olio, balado udang, risolles ayam, sama milo dingin."

"Hahahaha...kurang mie ayam" sambungku dengan cengiran di wajah.

"Dasar..." balasnya sambil mengacak rambutku pelan.

"Hehehe...kamu mau dibawain kroket kentang besok minggu?"

"Boleh, kamu mau bikin?"

"Enggak, beli hahahah"

"Hahahaha.... Aku kira mau di bikinin".

"Aku gak bisa masak, nanti kamu gatel-gatel kalo makan masakan aku"

"Kalo gitu aku harus belajar masak dong"

"Kok? Ngapain kamu belajar masak?"

"Biar nanti kalo nikah sama kamu aku gak kelaperan"

"Hahaha...Ish.. masih lama kaliik.. masih sekolah juga"

"Harus dipersiapkan hehe"

"Apaan sih, kayak mau nikah besok aja"

"Hahahahaha..."

"Besok juga gak masalah"

"Bimoooooo..." omelku seraya melayangkan pukulan ke lengannya.

"Hehehe... Jadi minggu ku jemput ya? Jam 10 pagi bisa?"

"Iya, bisa."

Dan disini lah kami, di rumah Bimo. Ini sudah hari minggu dan tadi pagi Bimo menjemputku ke rumah dengan pamit membawaku pergi main kerumahnya pada mamah dan ayah terlebih dahulu.

Aku baru tau nama mama Bimo adalah tante Ratih, dan mulai dari sini, aku akan menyebut mama Bimo dangan tante Ratih agar lebih mudah.

Tante Ratih sudah berada di dapur semenjak kami sampai, sedang masak bersama dengan seorang perempuan yang bisa dibilang agak lebih tua dari tante, beliau adalah bi Surti, IRT di rumah Bimo yang sehari-hari membantu tante untuk mengurus rumah dan keperluan Bimo juga.

"Assalamualaikum..." Salamku ketika masuk kerumah Bimo, tidak pakai teriak karena ini bukan rumahku hehe.

"Waalaikumsalam...Eeeh... Raya sudah sampai?"

"Iya tante..hehe oh iya ini ada tiramisu tante kebetulan deket rumah ada yang jual, enak loh tante Raya udah sering beli" ujarku lalu memyerahkan paper bag berisi 2 kotak tiramisu ukuran besar di dalamnya pada tante Ratih.

"Yaampuun.. kok bawa-bawa segala, padahal tante nyuruh Bimo ajak kamu kesini buat makan, soalnya tante lagi bikin rawon nih, dapet resep dari koki hotel kemaren. Sebentar lagi mateng heheh". Tante Ratih menyambut niat baikku dengan hangat dan bersahabat.

"Makasih ya Raya" ucap tante Ratih kemudian, sambil sedikit mengacungkan paper bag yang ku berikan tadi dengan senyum merekah di bibirnya.

"Hehe..iya tante sama-sama..."

"Punya aku?" Bimo mulai ikut menuntut haknya yang sudah ku janjikan tempo lalu.

"Nih.. risollesnya punya aku" jawabku seraya meletakkan kantong kresek putih berisi 1 kotak kroket kentang dan 1 kotak risolles ke atas meja makan di depan Bimo.

"Hehe..oke." Bimo mulai melahap kroketnya, bersama aku yang juga makan risollesku sambil duduk di sebelahnya. Sepertinya dia sudah lapar tapi masakan yang ditunggu belum juga matang.

"Uhuk-uhuk-uhuk" Aku tersedak saat sedang mengunyah risolles dengan gigitan cabe rawit sebagai pelengkap. Bimo segera beranjak menuju kulkas untuk mengambil air dingin dari dalamnya dan kembali ke padaku agar aku bisa segera melancarkan tenggorokanku yang pedih karena keselek cabe rawit.

"Ati-ati Raaay...ih..pelan-pelan kalau makan" ujar nya seraya menepuk-nepuk pelan punggungku agar aku merasa lebih baikan.

"Haaah...udah, gak nyangka cabenya pedes banget pas udah di gigit, jadi kesedak" kataku setelah berhasil menenangkan tenggorokan dan hidungku yang jadi pedih. Kau pasti pernah merasakannya, aku yakin.

"Hahaha... gausah pake cabe lah udah, nanti keselek lagi."

"Gak enak gak pake cabe"

"Pake saus aja tuh" balasnya sembari menunjuk sebotol saus sambal di area tengah meja makannya.

"Oke"

belum sempat ku ambil botol sausnya, tante Ratih sudah datang kepada kami dengan membawa mangkuk besar berisi kuah rawon yang sudah matang di tangannya lalu meletakkannya dihadapan kami, semerbak rawon menguar di penjuru ruangan, bikin kami semakin lapar, bi Surti menyusul dengan membawa bebrapa mangkok yang di dalamnya sudah terisi berbagai jenis pelengkap rawon untuk nanti dituang oleh kuah.

"Yok makan rawonnya dulu, risollesnya buat nanti lagi" tante Ratih memberi titah yang segera kami laksanakan tanpa banyak protes.

Tak berselang lama, 1 porsi rawon buatan tante Ratih sudah tandas tak bersisa dari mangkok ku.

"Alhamdulillah... Enak banget tante.. jempolan " ujarku memuji masakan tante Ratih yang memang enak sekali, entah efek lapar atau karena aku sudah lama tidak makan rawon.

"Hahahaha... Syukur deh kalau enak, jarang-jarang tante bisa masak, soalnya gak pernah ada waktu, nanti kapan-kapan kita masak lagi"

"Hehe oke tante" jawabku riang.

"Jangan ajak Raya terlibat mam, dia gak bisa masak. Suruh nonton aja dari pada asin ntar" ucap Bimo pada mamanya.

"Hahahah...gak pa-pa, tante juga dulu seumur kamu bedain garam sama gula aja bingung hahahah"

Aku jadi ketawa dengar omongan tante Ratih yang sama persis denganku. Kalau toples gula, garam, dan bumbu-bumbu semua gak di beri label nama oleh mamah, aku pasti sudah kebingungan.

"Pindah ke ruang tengah yuk, biar enak ngobrolnya" Ajak tante Ratih padaku yang baru selesai membantu membereskan meja makan.

"Boleh tante" balasku seraya mengikuti beliau di belakangnya bersama Bimo yang kedua tangannya berada di pundankku sekarang seperti main kerta api ala anak-anak.

"Raya, mau liat album foto Bimo dari kecil gak?" tanya tante Ratih padaku.

"Mau mau tante!" jawabku mengangguk antusias membuat Bimo ketawa cekikikan.

"Ambil Bim di bufet samping sana" perintah tante Ratih pada anaknya, Bimo menurut dan segera mengambil album foto yang di maksud tante Ratih lalu memberikannya padaku, setelahnya dia menyalakan TV seolah tidak tertarik dengan kegiatan yang akan aku lakukan bersama mamanya.

Aku duduk bersebelahan dengan tante Ratih di atas sofa ruang tengah rumah Bimo, sedangkan Bimo duduk lesehan pada karpet di depan sofa serta menyandar malas pada sofa dan sisi samping kakiku yang jadi sejajar dengan kepalanya.

"Ini Bimo waktu umur 3 tahun, masih nge-dot" tante Ratih menunjuk salah satu foto di halaman awal album itu. Aku terkekeh merasa gemas dengan anak kecil di foto itu yang tidak lain adalah pacarku.

"Yang ini umur 6 tahun, lagi nangis karena layangannya putus kebawa angin. Gak mau di ganti yang baru, dia suruh papanya ngejar layangannya harus sampe dapet"

"Hahaha..trus dapet tante?"

"Ya enggak, gimana caranya..orang sudah jauh layangannya terbang, abis itu dia mogok makan 3 hari. Makan nasi nya yang mogok, jajannya gak ikutan mogok".

"Hahahahah.....dasar"

"Naah.. Ini waktu dia di sekolah dapet juara lomba menggambar"

"Heheh lucuu"

"Ini dia kelas 3 SD sedang suka nonton power ranger sampe-sampe beli kolor juga harus gambar itu. Mana masih ngompol waktu itu."

"Ahahahahahahah..... Yaampun.." aku tertawa sampai ujung mataku keluar air mata.

"Nah ini dia sudah SMP, sudah mulai kalem gak pecicilan kayak waktu masih SD tapi bibit nakalnya sudah mulai kelihatan." Tante Ratih menunjuk sebuah foto Bimo yang sedang duduk di teras sebuah rumah dengan seragam dongker-putih nya tapi ia tidak menatap pada kamera. Sudah mulai terlihat wajah gantengnya yang tengil saat itu dibanding fotonya saat SD.

"Hehehehe..."

Aku berpikir, kalau aku bertemu dia saat dulu SMP apa kami juga akan berakhir seperti saat ini?

"Ini waktu Bimo naik gunung Gede-Pangrango. Lagi di mandala wangi."

"Hah? Bimo naik gunung juga tante? ini kapan?"

"Iyaa..waktu masih SMP, pergi dengan Aa' yang waktu itu sudah jadi mahasiswa, satu komplek rumah di Bandung. Dia ikut Mapala jadi sering naik gunung, terus sekali waktu ngajak Bimo. Eh, jadi ketagihan Bimonya sampe sekarang keterusan."

"Wah, Raya baru tau Bimo suka naik gunung."

"Hmm..dulu dia mah rutin naik gunung, udah sampai ke sumatera juga bareng anak-anak Mapala temennya si Aa'... siapa namanya Bim? mama lupa".

"A' Abdi" jawab Bimo tanpa mengalihkan pandangannya dari layar TV.

"Nah iya...ini aja sudah ngerengek minta izin naik Merapi minggu depan ckckck" ujar tante Ratih.

"Mau naik sama siapa Bim?" tanyaku lebih ke Bimo.

"Ada anak Mapala UPN, temen-temen abangnya Akbar" jawab Bimo masih juga dengan posisinya

"Ooh.." sahutku, ada semburat rasa tak rela di dalamnya.

"Ini Bimo sama papanya lagi mancing di danau, dapet ikannya gak seberapa tapi pulang-pulang bentol semua digigit nyamuk".

"Hahahaha....Yaampuun...eh iya, om kemana tante? gak keliatan." tanyaku baru tersadar kalau aku belum pernah melihat papa Bimo selama ini.

"Hah? Bimo gak bilang tante sama om sudah cerai?" jawab tante Ratih dengan suara tenang, dan biasa saja seperti bukan lagi hal yang membebani untuk mengatakan soal kondisi keluarganya.

Aku terkesiap dan refleks menutup mulutku dengan telapak tangan karena merasa tak enak atas ucapanku.

"Aah...Maaf tante Raya gak tau. Bimo gak pernah bilang."

Aku melirik sebal pada Bimo yang nampak tak terusik.

"Hahahaha...gak apa-apa, bukan aib kok. Papa Bimo sekarang di Kalimantan ngurus bisnisnya disana. Tante disini ngurus Hotel warisan Eyangnya Bimo."

"Waah..hotel apa tante?" tanyaku antusias. Pantas saja saat di sekolah tante berulang kali bilang 'akan balik ke hotel lagi', rupanya tante Ratih memang bekerja mengelola hotel.

"Hotel B******"

"Serius tante? Wah Raya baru tau, itu hotelnya bagus banget kayak ada nuansa etniknya gitukan ya tan?"

"Iyaaa bener....makanya tante jarang banget dirumah, kadang hari minggu pun harus ke hotel ngurus ini-itu."

"Hehehe...yang penting jangan sampai lupa makan dan istirahat tante.."

"Adu duuh...ini nih enaknya kalo punya anak perempuan, perhatian sama mamanya." Sindir tante Ratih pada anak yang masih cuek nonton tak menghiraukan kami.

"Hehehehe" aku hanya bisa cengengesan.

"Padahal pengen punya anak perempuan lagi, tapi tante keburu cerai sih". sambung tante Ratih kemudian.

"Siapa suruh cerai...." balas Bimo enteng seperti dengan kawannya, refleks ku pukul bahunya.

"Aduh! Apaan Raay?"

"Kok ngomong begitu sama mama kamu" tegurku

"Mama duluan yang mulaaaai..." ucapnya membela diri.

"Iya tapi gak boleh jawab begitu"

"Hahahaha.... Rasain, wanita selalu ben--"

Bbzzztt....bbzztt....bbzzztt.... Ucapan tante Ratih terputus oleh telfon seseorang, entah siapa. Lalu tante Ratih beranjak mengangkat telfon itu.

Sementara tante Ratih pergi mengangkat telfon, Bimo menarik lenganku dan meletakkannya di kepalnya, jadi ku acak-acak rambut di pucuk kepalanya sebagai bentuk balas dendam atas kebiasaannya pada rambutku. Dia hanya tertawa.

Tak lama tante Ratih kembali pada kami dan berpamitan terburu-buru untuk menuju hotel karena ada tamu penting yang akan datang ke hotel nya dan membutuhkan kehadiran tante Ratih disana.

Setelahnya, tante dengan cepat bersiap-siap dan berangkat menuju hotel meninggalkan kami di rumah bersama bi Surti.

Siguiente capítulo