webnovel

Makanan Keluarga yang Pertama

Dewi dan Restu mengeluarkan makanan dari bibi secara perlahan. Tidak ada meja di gubuk, jadi makanan itu diletakan begitu saja di atas lantai kayu. Anak-anak juga hanya bisa makan di lantai.

"Anak-anak, kemarilah ayo makan, Bibi membawakan makanan enak untuk kita."

Makan siang ini adalah ritual makan pertama Mona yang membuatnya merasa benar-benar makan bersama keluarga yang sebenarnya. Bibi tua memang tidak memberikan makanan dalam porsi banyak, namun baunya harum dan rasanya lezat. Caranya memberikan makanan juga lebih manusiawi, lebih sopan dibandingkan cara nenek memberikan makanan.

Keluarga Restu akhirnya makan dengan menu makanan lengkap. Mona merasa malu karena baru bisa makan setelah diberi orang lain. Namun, ia tetap bahagia karena rona wajah saudara-saudaranya yang girang.

"Ayah, aku melihat ada rotan di tepi sungai saat aku mencari jerami tadi pagi. Kenapa ayah tidak mengambilnya dan membuat keranjang rotan sendiri. Jika kita tidak segera membuatnya sendiri, kita akan terus-terusan meminjam keranjang nenek."

"Iya, Ayah tahu, sayang, jangan lupa minum obat sebentar lagi." Restu menyentuh kepala Mona yang masih bengkak, "Apakah masih sakit?"

"Ayah, tenang saja, kepalaku tidak akan terasa sakit selama Ayah tidak menyentuhnya."

Dewi membawa air sungai yang telah diresbusnya dan menjadikannya sebagai air minum. "Putri, minum obat. Emm, Restu, kita tidak punya tikar di rumah, kita juga tidak punya meja. Haruskah aku ke pasar untuk membelinya?"

"Nah, iya kamu harus membeli tikar. Senentara aku akan berusaha membuat meja makan sendiri. Jadi, kita tidak perlu membelinya. Apa kamu masih pegang uang? Uang yang kita pinjam dari temanmu kemarin, apakah masih cukup untuk membeli tikar dan kayu bakal meja?", Restu sedikit khawatir. Ia khawatir jika sisa uang tidak cukup untuk membeli kebutuhan selain makanan.

"Kalau hanya membeli tikar dan papan kayu masih cukup. Ayo kita segera membelinya sebelum pasar tutup. Perabot rumah lainnya kita pindahkan saja dari rumah lama. Kita masih butuh lemari untuk menyimpan pakaian, kasur untuk tempat tidur anak-anak, dan bukankah sebuah rumah idealnya juga harus punya kursi?"

"Ayah, aku ikut bersamamu, ayo bergegas, Putri Kecil, kau jangan ikut, kau disini saja jaga rumah" kata Eka.

Mona menurut dan tetap tinggal di rumah. Dewi, Restu dan 3 anak lainnya ke rumah lama untuk memindahkan perabot yang mereka butuhkan ke gubuk baru mereka. Namun, baru saja restu ingin memindahkan barang, nenek memelototi mereka dan berbicara dengan nada tinggi. "Hei, perabot itu tidak tercantum dalam perjanjian perpisahan keluarga. Mengapa kalian berdua akan memindahkannya ke rumah baru kalian? Bukankah ini sama dengan perampokan?"

Kakek yang mendengar teriakan nenek bergegas menghampiri. "Dengarkan aku dulu. Perabotan tu terbuat dari kayu yang dipotong sendiri oleh Restu, kenapa kau menghalangi dia membawanya? Perabotan itu dibuat ketika Restu sudah menikah dengan Dewi, jadi perabotan itu hak mereka. Kamu sudah tua, dan Restu itu anak kita, bukan orang asing. Restu, cepat pergi bawa perabot itu dan jangan dengarkan ibumu.

Nenek kaget dengan sikap kakek, suaranya pun meninggi, membalas ucapan kakek seakan tak mau kalah. "Mati saja kau orang tua, Aku tak bermaksud menyimpan perabotan itu untuk kita sendiri. Kita masih punya seorang putra yang belum menikah."

Nenek enggan terus-terusan berdebat dengan kakek. Sementara kakek memang memiliki jalan pikiran yang berbeda dengan nenek. Terus berbicara berdua hanya akan berujung pertengkaran. Jadi, kakek memutuskan keluar untuk mencari ranting dan jerami.

Broto, putra berusia 20 tahun, salah seorang putra nenek yang masih melajang itu bersandar di kusen pintu dan bertanya, "Kak Restu butuh bantuanku?"

Meskipun gayanya sok peduli seakan menawarkan bantuan, nyatanya ia masih terlihat malas. Tidak menggeser sedikitpun badannya dari sandaran pintu. "Tidak perlu, aku akan melakukannya sendiri, lagi pula kami tidak akan memindahkan banyak barang."

Tiga anak restu nampak membuntuti Restu dan Dewi yang mengusung kasur. Anak-anak itu membawa selimut dan beberapa pakaian, meninggalkan rumah yang pernah mereka huni bertahun-tahun. Rumah yang kini tidak akan pernah mungkin menjadi milik mereka lagi.

Kasur dan lemari kayu sudah selesai dipindahkan. Dua perabot ini menjadikan rumah mereka yang berukuran kecil jauh lebih sempit.

Dewi mulai menata tempat tidur untuk keluarganya. Ia meletakan selimut yang dibawa anak-anaknya di atas kasur. Menatanya dan menjadikannya sebagai sprei.

Sore harinya, Eka mengajak adik-adiknya mencari jerami dan ranting. Mereka pergi ke tempat Mona dan Rano mencari jerami dn ranting terakhir kali. Kali ini, ada kakak-kakak yang pergi bersama mereka, jadi Mona dan Rano tidak lagi perlu bersusah payah. Mona hanya diminta duduk mengawasi dari atas batu yang letaknya tak jauh dari parit tempat mereka mengumpulkan jerami. Ada pepohonan di sekeliling tempat Mona duduk dan area persawahan yang membentang dari timur ke barat. Mona tidak begitu mengerti bagaimana bisa parit seperti ini ada di tengah pemakaman dan di dekat areal persawahan.

Mona berjalan ke utara enyusuri parit. Butuh waktu lama bagi Mona untuk menemukan ujung parit. Mungkin, parit ini punya panjang ratusan meter. Semakin jauh Mona melangkah, ia menemukan semakin banyak ranting kering yang siap dijadikan kayu bakar. Mona mengambil ranting kecil dan mengumpulkannya, berharap ranting kecil bisa bertahan menyalakan api lebih lama dibandingkan jerami dan dedaunan kering.

Melihat adik perempuannya melangkah lebih jauh, Rena mengikutinya dengan rasa khawatir. Rena mengambil alih ranting yang dikumpulkan Mona dalam dekapannya. "Biar aku saja Mona, sekarang berdirilah dan pergi ke tempatmu tadi beristirahatlah. Duduklah dan tunggulan."

Dalam ingatan akan pemilik tubuh Mona, kakak perempuan ini sangat baik padanya. Dia akan berbagi makanan meski hanya memiliki sedikit makanan lezat. Dia tidak pernah mengganggu seperti anak-anak yang mengganggu adiknya. Mereka selalu berbagi, pun demikian dengan 3 saudaranya yang lain. Semua rukun dan saling menyayangi.

Tidak ada saudara di kehidupan Mona sebelumnya. Ia hanya punya beberapa saudara yang lahir dari ayah dan ibu tiri. Tapi, saudara-saudara itu tidak nampak saling menyayangi, justru saling menghina dan kerap merendahkan Mona ketika mereka bertemu. Mereka takut jika Mona merampas kembali orang tua mereka, orang tua yang tak lain adalah orangtua kandungnya. Mereka tidak menyukai mereka, pun demikian dengan mereka yang benci dengan Mona. Mereka diperlakukan ayah dan ibunya seperti bangsawan. Sementara Mona? Hanya korban perceraian yang tidak lagi dianggap.

Lahir di kehidupan baru tidak hanya membuat Mona memiliki saudara yang mencintainya, tapi juga orang tua yang penuh kasih sayang. Jadi, Mona tidak takut jika kehidupannya sekarang serba kekurangan. Asal punya keluarga seperti ayah,ibu, dan saudaranya saat ini, semua akan baik-baik saja.

Keempat kakak beradik ini sudah selesai mengumpulkan jerami dan ranting. Diperkirakan jerami dan ranting yang mereka kumpulkan sudah cukup untuk memasak malam ini dan besok pagi. Mereka bergegas memeriksa barang bawaan mereka, memastikan tidak ada yang tertinggal dan melangkah pulang. Dengan bantuan Eka dan Rena, kini Mona dan Rano tak perlu lagi jalan sempoyongan membawa jerami dan ranting. Semuanya jauh lebih ringan setelah dilakukan bersama.

Sesampainya di rumah, Restu telah selesai mengisi ember penampungan air, beberapa makanan juga sudah tersedia, pemberian dari bibi tua. Rena tidak bisa menahan diri untuk berseru girang, "Syukurlah, sekarang kita punya makanan."

Dewei menggelar tikar di lantai, bergegas menyambut anak-anaknya yang baru saja pulang mencari jerami.

"Eka, tolong kamu pergi ke rumah Pak Joko. Ambilah beberapa daun kelapa kering. Setelah itu, tunggu ayahmu pulang untuk membuat sapu dari daun kelapa itu."

"Baik, aku akan pergi sekarang, Bu. Apakah ibu juga perlu sapu, aku membuatkannya khusus untuk ibu."

"Wah, ide bagus, buatkan satu untuk ibu."

Setelah Eka berangkat ke rumah Pak Joko, Dewi meminta anak-anak beristirahat, anak-anak lelah seharian, terutama Mona yang masih kurang sehat.

Ketiga anak itu kemudian duduk di kasur yang diselimuti kain putih lusuh. Mereka terlihat sangat nyaman. Mona terlihat tidur lelap setelah sebelumnya sempat sulit tidur. Dewi yang sedari tadi melihat raut tenang anak-anaknya tertidur ikut terlelap karena kelelahan.

Siguiente capítulo