"Ah sakit! "
Di rumah, Sandra yang sedang duduk di sofa memukul-mukul punggung Nico dengan manja. Teriakan melengking tak berhenti keluar dari mulutnya, hingga menusuk telinga Nico yang sedang berjongkok menangani luka di lutut Sandra. Pria itu terlihat kebingungan melihat reaksi Sandra. Padahal ia telah begitu hati-hati merawat lukanya, tapi gadis itu malah masih meraung kesakitan.
"Lupakan, aku akan memanggil dokter untuk mengobatimu." Nico membuang kapas dari tangannya dengan kesal Jelas ia bukan seseorang dengan keahlian dan kesabaran ekstra untuk merawat pasien yang terluka.
"Hah? Tidak usah! Ini Cuma goresan kecil. Oleskan saja obat merah di atasnya " Sandra membungkam mulutnya sendiri, mencoba untuk tidak berteriak dan bereaksi berlebihan lagi. Dia adalah seorang mahasiswi keperawatan, seharusnya dia bisa mengobati lukanya sendiri. Tapi lebih seru untuk membiarkan Nico yang melakukannya, hehe.
Nico merasa hal itu merepotkan dan beresiko. Bagaimana kalau terjadi infeksi parah? Atau bagaimana kalau meninggalkan bekas luka yang buruk? Lebih mudah menyuruh dan membayar seorang ahli untuk melakukannya. Ia dengan cepat membuat panggilan telepon.
"Tunggu, dalam sepuluh menit, seseorang akan datang untuk mengobati lukamu.", ujarnya kepada Sandra begitu panggilan telah ditutup. Ia lalu berjalan menuju pintu dan membukanya dengan lebar.
Lima menit kemudian, seseorang benar-benar datang dan langsung masuk ke dalam rumah. Tidak, bahkan lebih dari satu orang. Sekelompok dokter tiba-tiba datang. Ada laki-laki dan perempuan, mereka terlihat tua dan berpengalaman. Hanya dengan melihat saja Sandra tahu bahwa mereka adalah ahli medis top.
Sungguh berlebihan menyuruh sekelompok dokter datang hanya untuk merawat luka kecil ini. Sandra memandang semua orang dengan canggung dan terkikik.
"Kaki gadis itu terluka, cepat obati" kata Nico memberi perintah.
Hanya dengan sekali perintah, semua orang langsung mengelilingi Sandra. Seorang perawat mengambil sebotol obat dari kotak obat dan menyerahkannya kepada seorang wanita paruh baya. Wanita paruh baya itu memandang Sandra dengan senyuman di wajahnya: "Nona, lukamu tidak serius. Sekarang saya akan mengoleskan obat untuk Anda. Oleskan obat ini tiga kali sehari, dijamin tidak akan ada bekas luka yang terlihat. "
Sungguh? Luar biasa. Obat kecil ini pasti harganya sangat mahal. Tidak seperti obat merah yang biasa Sandra beli di warung.
Sandra mengangguk dengan senang. "Terima kasih."
Wanita paruh baya itu segera berjongkok di depan Sandra. Sebelum mengoleskan obatnya, dia harus membersihkan luka Sandra. Ada beberapa perawat yang berdiri di kedua sisinya, menunggu kapan saja. Semua orang melayani gadis itu dengan sepenuh hati.
"Ah!"
Ketika tangan wanita paruh baya itu baru saja menyentuh luka Sandra, dia sedikit berteriak, tetapi tidak sekencang ketika Nico yang merawat lukanya. Dia benar-benar lebih terkondisi. Memang inilah beda tenaga ahli dan orang awam.
Tapi tetap saja, dahi Nico berkerut saat melihat Sandra masih kesakitan. Dia berkata dengan kaku kepada dokter yang merawatnya: "Kenapa dia berteriak kesakitan? Bukankah kamu ini dokter?"
Kalau hasilnya sama saja, Nico juga bisa melakukannya sendiri sejak tadi. Tujuannya memanggil tim dokter ahli adalah agar mereka bisa merawat luka Sandra tanpa membuatnya merasakan sakit sedikitpun. Memang konyol. Tapi itulah yang ada di dalam benak pria yang sedang jatuh cinta itu.
Dalam sekejap, ruangan menjadi begitu sunyi, dan semua orang gemetar. Dokter itu menundukkan kepalanya, seperti seorang tahanan.
"Maaf, Presiden, saya ..." wanita paruh baya itu ingin menjelaskan dengan sedih, merasa benar-benar tidak berguna.
"Jangan marah, kamu membuat semua orang takut" Sandra buru-buru meraih tangan Nico, mencoba meredakan emosinya yang tak terkontrol.
Kemudian dokter wanita berkata,"Oh tidak apa-apa. Ini salah saya yang sedikit ceroboh. Tapi sepertinya nona muda ini memang agak sensitif dengan rasa sakit." Wanita malang itu membeku tidak berani bergerak, sangat terintimidasi oleh Nico.
Nico sekarang tahu bahwa gadis itu sangat takut akan rasa sakit, jadi dia menggendongnya dan membiarkannya duduk di pangkuannya, seperti anak kecil.
"Apa yang kamu lakukan? Banyak orang disini!"
Sandra berbisik di telinga Nico dengan wajah memerah.
"Memelukmu agar tidak merasa sakit," jawab pria itu dengan santainya. Ia seakan tidak memperdulikan sekelompok orang berjas putih yang dengan canggung memperhatikan mereka. Saat ini dunia seperti hanya berisikan dirinya dan Sandra saja.
Semua orang bingung. Tidak pernah mereka melihat kelakuan Presiden East Group yang biasanya begitu dingin dan angkuh menjadi kekanak-kanakan seperti ini. Dia adalah sosok paling misterius di dalam dunia konglomerat. Rumor mengatakan bahwa dia bagaikan kanibal yang memakan orang tanpa menyisakan tulang mereka satu pun. Menghancurkan saingan bisnisnya tanpa ampun adalah pekerjaan biasa baginya.
Siapa yang mengira bahwa dia akan memiliki sisi yang lembut?
Semua orang langsung mengerti status gadis yang terluka itu. Ia bagaikan harta karun seorang Nico Atmaja yang paling berharga. Semua orang bahkan lebih berhati-hati saat menangani lukanya.
"Bagaimana, apakah masih sakit?" Nico bertanya dengan lembut. Saat itu juga tubuh para dokter dan perawat menegang. Jawaban dari gadis itu bisa jadi akan menentukan nasib hidup dan mati mereka saat itu juga.
"Tidak sakit". Sandra menggeleng, dan semua orang pun bernafas lega.
Begitu luka Sandra telah dibalut perban dengan sempurna, semua orang pergi. Hanya ada Nico dan Sandra yang tersisa di ruangan itu. Sandra dengan manja berbaring di pelukan Nico, sama sekali tidak ingin beranjak dari zona nyaman itu.
"Hei, sudah waktunya makan" Tangan Nico mengelus kepala kekasihnya, seperti sedang mengelus seekor kelinci kecil yang rapuh.
"Nanti saja. Aku mau terus seperti ini"
Perilaku manja Sandra membuat Nico tertegu, Jarang sekali gadis ini mau menunjukkan sisi manisnya seperti ini. Biasanya ia begitu meninggikan harga dirinya atau bertingkah malu-malu.
Untuk pertama kalinya Sandra menggantungkan dirinya pada orang lain, selain Leo tentu saja. Tapi itu pun karena mereka tumbuh bersama dan tidak ada rahasia di antara mereka, seperti saudara kandung. Kali ini jelas jauh berbeda. Sandra bergantung pada orang yang benar-benar dicintainya.
"Makan dulu.", balas Nico singkat.
"Tapi kakiku sakit, bagaimana aku bisa makan!" Sandra menatapnya dengan memelas. Gadis ini bisa mengucapkan hal paling tidak rasional dengan begitu santainya. Memangnya ia makan dengan menggunakan kaki?
"Itu mudah." Nico berdiri dari sofa sambil memegangi gadis itu, dan berjalan menuju meja makan dengan membawa Sandra di pelukannya.
Nico dengan hati-hati meletakkan Sandra di kursi, lalu duduk di hadapannya.
"Apakah kamu selalu galak?" tanya Sandra sambil mengunyah makanan. Membuat remah-remah makanan terjatuh dari mulutnya yang mungil.
"Kenapa kamu berkata begitu?" Nico kembali bertanya, mengarahkan tangannya ke bibir Sandra dan mengusap remah makanan yang menempel. Pria itu tidak merasa bahwa 'galak' adalah kata yang tepat untuk menggambarkan sifatnya. Mungkin ia lebih memilih 'tegas' dan 'berwibawa'. Tapi bagaimanapun penilaian paling objektif adalah dari orang lain. Jika orang lain menganggapnya galak. Maka dia adalah orang yang galak.
"Kamu tidak sadar? Hanya dengan satu kalimat saja kamu membuat para dokter itu gemetar", jelas Sandra dengan keheranan. "Dan kamu bahkan tidak perlu berteriak untuk membuat mereka takut!"
Secara pribadi, Sandra juga tidak merasa bahwa kekasihnya adalah seseorang yang galak. Dulu, mungkin. Tapi sekarang, kata 'galak; sama sekali tidak ada dalam benak Sandra ketika menggambarkan sosok Nico. Sisi lembutnya kini justru jauh lebih menonjol dan mendominasi. Tentu saja, semua itu baru terjadi sejak ia bertemu Sandra.