"Jangan bicara tentang aku, tapi kamu. Aku sudah dengar tentang semalam. Wisnu mengantarmu pulang dalam keadaan mabuk dan berusaha menciummu. Apa yang terjadi?"
Sandra dan Resty adalah teman dekat. Mereka membicarakan tentang apa pun. Termasuk tentang urusan dengan lelaki. Tentu saja dia ingin tahu apa yang Resty pikirkan tentang kejadian semalam.
Wisnu itu, meskipun dia sedikit iseng dan suka membuat Sandra naik pitam, lebih gugup, dan selalu tetapi secara obyektif, dia masih tergolong lelaki yang baik dan bisa di percaya. Jika dia benar-benar bisa menjaga Resty seumur hidup, Sandra akan dengan senang hati mendukungnya.
"Anak itu telah melakukan hal-hal buruk dan membicarakannya di mana-mana. Dasar tidak tahu malu." Resty menundukkan kepalanya dengan malu-malu. Wajahnya terlihat lesu.
"Tidak usah malu. Semua orang juga sudah tahu kalau Wisnu menyukaimu. Aku hanya ingin tahu apa yang kamu pikirkan. Aku tidak membela Wisnu yang menciummu dengan paksa. Tapi mungkin kamu perlu mempertimbangkan perasaan dia lagi. Kurasa ..."
Sandra menjadi orang pertama yang secara langsung menyarankan Resty untuk menerima Wisnu. Tapi Resty dengan cepat menyela kata-katanya: "San, selama masih belum lulus dari sekolah keperawatan, aku tidak mau pacaran"
"Oke. Tapi apa ini karena kamu tidak suka Wisnu? Kalau ada laki-laki lain yang mendekatimu, apa kamu masih menolak?" Sandra terus mengejar Resty dengan pertanyaan. Dia selalu merasa bahwa temannya itu selalu membuat alasan. Jika orang lain yang sangat baik dan merupakan tipe ideal yang dia suka, apa dia masih berkata begitu?
"Ya!" Resty mengangguk dengan mantap.
Sandra tidak percaya bahwa ada begitu banyak aturan untuk meluapkan emosi. Dia merasa bahwa Resty tidak sepenuhnya jujur, bahkan kepada dirinya sendiri.
"Hei kenapa ada begitu banyak kerumunan di depan gerbang sekolah? Ada apa?"
"Aku tidak tahu, pergi, pergi dan lihat."
"Astaga! Ada seorang pria tinggi dan sangat tampan berdiri di depan gerbang! Ayo cepat lihat! "
" Seberapa tampan? "
"Kamu harus lihat sendiri! Buruan! "
Kerumunan gadis berlari melewati Sandra dan Resty sambil berteriak penuh semangat. Semuanya membicarakan hal yang sama.
Situasi ini sama seperti saat sebuah grup boyband datang ke sekolah untuk konser beberapa waktu yang lalu.
"Ada apa ini? Ayo kita lihat juga Res!". Sandra ikut berlari dengan semangat sambil menarik tangan Resty. Apa mungkin ada seorang artis lewat depan sekolah mereka?
"Kamu saja yang pergi. Aku malas berdesak-desakan" jawab Resty tidak tertarik. Baginya, ketampanan fisik bukan hal yang terlalu menarik.
"Oh ayolah! Siapa tahu ternyata itu artis terkenal!". Sandra bersikeras mengajak temannya berlari kencang menuju kerumunan.
Di belakangnya, Leo juga mempercepat langkahnya. Khawatir Sandra akan terluka karena berdesakan dengan kerumunan orang. Ia berlari disusul dengan Wisnu di belakangnya. Dalam sekejap semua orang terlihat berlari menuju arah yang sama.
Sandra menarik Resty masuk ke dalam kerumunan bersama-sama. Berusaha mencari celah untuk melihat sosok yang mencuri perhatian seluruh pelajar di sekolahnya. Ketika ada sedikit celah, ia berhasil melihat seorang pria dewasa sedang duduk diatas sepeda, kakinya yang panjang memakai sepatu kulit berwarna coklat. Tunggu... ia seperti pernah melihat sepatu itu. Ketika dia mendekat, Sandra akhirnya dapat melihat wajah tampan pria yang menjadi pusat perhatian semua orang itu.
Oke. Memang tampan. Tapi... ini ketampanan yang terlalu familiar. Ia bahkan pernah melihat wajah yang sama persis dari jarak yang jauh lebih dekat. Ya. Pria itu ternyata tidak lain adalah Nico. Bos yang saat ini menumpang di apartemennya.
Mengapa dia datang ke sekolah? Apa Sandra berbuat salah lagi? Atau apa dia sengaja ingin menarik perhatian orang? Apapun alasannya... kedatangannya memang sukses untuk membuat keributan di sekolah keperawatan sederhana ini.
"Wow..." Mulut Resty terbuka tanpa sadar. Ia seakan lupa dengan prinsipnya bahwa ketampanan fisik bukan hal yang menarik. Tidak dapat dipungkiri, saat ini, dia juga sangat tertarik dengan wajah tampan Nico.
Masih duduk di atas sepeda, Nico menghela nafas panjang. Benar-benar tidak mengira bahwa akan menarik perhatian banyak orang. Siapa sangka bahwa pelajar zaman sekarang memiliki pemikiran yang begitu dangkal. Matanya masih berusaha mencari seseorang yang telah lama ditunggunya.
Ketika menemukan orang itu, ia tersenyum dan bergegas mengayuh sepedanya memecah kerumunan. Nico menghela nafas lega dan berhenti tepat di depan Sandra dengan sepedanya. Ia memiliki ekspresi yang teguh, seperti pangeran yang menawan dalam dongeng.
Saat Nico mengulurkan tangannya, Sandra bereaksi, Apakah bos di sini untuk menjemputnya dari sekolah?
Jantung Sandra berdebar-debar, dan dia berpikir, jika dia menerima uluran tangan bosnya, maka semua gadis yang melihat bisa meledak di tempat. Dia tidak pernah suka menarik perhatian. Sandra hanya terdiam memandang Nico dan sepedanya dengan ragu-ragu.
Aneh sekali. Bos besar ini pasti memiliki belasan mobil mewah di rumahnya. Tapi kenapa dia kemari dengan mengendarai sepeda? Hanya saja, sepeda ini adalah sepeda khusus untuk satu orang. Tidak ada tempat di belakang untuk penumpang. Apa yang dipikirkan bosnya itu? Apa Sandra harus duduk di depan?
Melihat pria tampan itu berhenti tepat di depannya dan juga Sandra, Resty berbisik ke telinga sahabatnya itu: "San san, apa dia di sini untuk menjemputmu?". Resty menyentil pinggang Sandra dengan tangannya untuk menghentikannya dari keadaan linglung.
"Ah! Oh!"
Sandra mengangguk, dan menyambut uluran tangan Nico yang langsung menariknya untuk duduk di bagian depan sepeda. Sandra melompat, duduk di palang sepeda tepat depan tubuh Nico yang jangkung. Setelah memastikan gadis itu duduk dengan nyaman, Nico bergegas mengayuh sepedanya menjauhi kerumunan. Meninggalkan para gadis menggumam penuh rasa iri memandang kepergian pasangan itu. Semua orang yang melihat kejadian itu tak berhenti menyebut nama Sandra. Dalam waktu singkat, gadis itu menjadi sangat terkenal di seluruh sekolah keperawatan.
Di tengah kerumunan, Leo mengepalkan tinjunya. Hatinya seakan tercabik-cabik dalam sekejap dan tidak akan pernah bisa disembuhkan. Orang-orang yang menyaksikan pemandangan manis itu bubar satu demi satu, menyisakan Leo yang tetap berdiri disana, memandang jauh ke arah Sandra pergi. Dia tidak ingin mempercayainya, tetapi semua yang terjadi di depannya nyata. Belum lagi foto di ponsel Sandra...jelas sekali bahwa gadis itu sedang jatuh cinta.
"Leo!"
Sebuah tangan menepuk pundak Leo, membangunkannya dari lamunan yang begitu menyesakkan dadanya. Resty menampakkan dirinya dan berdiri di samping Leo. Menatap wajahnya yang terlihat begitu muram. Resty tahu betul wajah itu. Entah sudah berapa kali ia menunjukkan wajah yang sama persis seperti yang ditunjukkan Leo sekarang. Wajah penuh kecemburuan. Leo dan Resty berada pada posisi yang sama-sama menyedihkan. Cinta mereka sama-sama bertepuk sebelah tangan.
"Resty? Kenapa masih disini?", Leo menoleh ke arah Resty. Tidak ingin terus dalam keadaan linglung, dia menutup suasana hatinya yang rumit dan tidak ingin orang lain melihat kesedihannya.
"Kau sendiri juga masih disini"
Mereka berdua pun berjalan berdampingan keluar sekolah. Anehnya, meskipun telah lama saling mengenal dekat, mereka tidak pernah hanya berdua saja. Jantung Resty berdegup kencang, dan pada saat yang sama dia begitu bersemangat.
"Ngomong-ngomong, apakah pria yang barusan adalah pacar baru Sandra? Dia sangat tampan! Tapi kenapa Sandra tidak pernah cerita tentang ini ya? Apa kamu tahu tentang ini?"
Akhirnya, Resty menanyakan sesuatu yang dari tadi membuatnya penasaran. Dia tahu bahwa Leo adalah orang yang paling memedulikan Sandra. Tetapi betapa terkejutnya dia ketika nama Sandra disebutkan, wajah Leo malah terlihat lebih masam.
"Bukan pacarnya" kata Leo dengan nada dingin.
"Oh. Tapi kenapa dia menjemput Sandra dari sekolah?��� Suara Resty menjadi sangat kecil. Dia melihat reaksi Leo dan seakan tahu apa yang dia pikirkan.
"Itu tidak ada hubungannya denganmu," ujar Leo semakin merasa risih dengan semua pertanyaan Resty tentang pria itu. Ia pun berbalik dan berjalan ke arah yang berlawanan, meninggalkan Resty sendirian, hanya diam menatap kepergiannya.