webnovel

Lima Belas.

Iwata selalu bersemangat saat akan ke kafe, saat ia bisa melihat gadis yang disukainya dari dekat, saat mereka bisa saling bicara dengan bertatap muka, saat jarak yang memisahkan hanya terpaut beberapa senti.

Hal paling manis dari Sakhi adalah saat Sakhi tersenyum ramah pada pelanggan, saat Sakhi merekomendasikan minuman apa yang cocok untuk cuaca panas, berawan, atau dingin. Sakhi juga terlihat manis saat memakai celemek dan menjadi juru masak di kafe. Saat mengenakan dress berwarna lembut, saat tertawa, saat mulai berbicara. Semakin dipikirkan, semakin banyak hal yang membuat Sakhi terlihat manis.

Berpikir tentang semua itu membuat Iwata merasa konyol.

Sebelumnya ia selalu merinding dan merasa ngeri saat mendengar atau menonton drama romantis. Semakin tinggi kadar romantisnya, semakin ia geli. Nyatanya, banyak dari perasaan-perasaan yang membuatnya geli justru dirasakannya sekarang. Benar-benar konyol.

Kafe dalam keadaan ramai pengunjung. Iwata memilih tempat di pojokan, bagian dalam.

"Pulang cepat?" sapa Sakhi sembari membawakan buku menu.

Iwata mengangguk. "Kafe ramai."

"Iya dari sore. Cuacanya lagi bagus mungkin," balas Sakhi. "Mau makan apa?"

"Seperti biasa aja."

"Siap dihidangkan, Pak." Sakhi memberi hormat layaknya seorang Bitara kepada komandannya. Setelah tersenyum kecil ia berlalu.

Setelah itu Sakhi sama sekali tidak mendatangi meja Iwata lagi. Tidak sempat. Pengunjung datang dan pergi tanpa henti. Beberapa kali Sakhi bahkan turun ke dapur untuk ikut memasak, menyiapkan hidangan atau sekadar membantu juru masak.

Meski makanan di piringnya sudah bersih dan minuman di gelasnya sudah kering, Iwata masih tinggal untuk menunggu.

Dia sangat sibuk dengan Tim Khusus beberapa hari ini dan untuk beberapa hari ke depan. Otaknya terlalu penuh dengan segala hal mengenai kasus, stres. Hanya berdiam beberapa saat di keramaian dan kesibukan dalam kafe membuatnya syaraf-syarafnya tenang. Ditambah lagi ia bisa melihat Sakhi dan tersenyum. Itu cukup meski mereka tidak bisa mengobrol banyak.

Sakhi dengan kesibukannya dan ia dengan ketenangannya. Hanya diam, duduk tenang sembari memerhatikan.

Tahu Iwata masih menunggunya, Sakhi yang masih sibuk di dapur meminta temannya untuk mengantarkan camilan ke meja Iwata. Kentang goreng. Yang sudah ia susun berbentuk emoticon senyum.

Mendapat kiriman kentang goreng senyum membuat Iwata tidak lagi merasa kecewa. Ia senyum-senyum sendiri. Tidak tega kalau harus memakannya sekaligus. Setelah hanya diam saja sembari menatap ketang goreng yang tersenyum ke arahnya, Iwata mengambil ponsel. Ckrek– mengambil gambar makanan yang baru disajikan semakin menjadi trend belakangan ini, tapi Iwata tidak akan menggunggahnya di media sosial. Akan disimpan untuk dirinya sendiri.

Perlahan, Iwata mulai memakan kentang goreng di depannya satu per satu. Sekali, dua kali. Setelah lima potong ia lahap, bentuk senyum mulai berantakan.

Iwata hanya memakan kentangnya dan menyisakan saus yang tidak ia sentuh sama sekali. Potongan terakhir dari kentang, baru ia cocolkan ke saus, kemudian ia bentuk tulisan 'terima kasih' di piringnya, juga menambahkan emoticon senyum. Setelahnya, sekali lagi ia mengambil gambar dan mengirimkannya ke Sakhi melalui pesan singkat.

Kafe mulai berangsur-angsur sepi mendekati waktu magrib.

Mendapat celah, Sakhi berencana mendatangi meja Iwata, tapi meja itu sekarang kosong. Seseorang baru saja mengangkut piring kotornya ke belakang. Sakhi menghela nafas. Ia memeriksa ponsel di saku celananya.

1 pesan masuk.

"Senyum-senyum sendiri," tegur Rin, teman dekat sakhi di kafe.

Sakhi hanya berlalu tanpa menaggapi kalimat Rin.

Hariini melelahkan, tapi masih ada sesi malam yang biasanya selalu lebih ramai, yang biasanya selalu lebih melelahkan. Tapi pesan singkat dari Iwata membuat semangatnya kembali dengan cepat.

Isi pesannya bukan kalimat gombal yang penuh dengan rayuan yang dimanis-maniskan. Hanya gambar. Anehnya bisa membuat perasaan Sakhi menjadi lebih baik. Lelah masih menggelayut, hanya saja ia merasa lebih riang. Senyum tipis di sudut bibirnya membuat hal-hal baik memenuhi benaknya.

*****

"Tumben, Mas pulang cepat." Seseorang membukakan pintu.

"Nih!" Iwata menyodorkan kantongan berisi makanan yang ia beli di perjalan pulang.

Lima bulan lalu sepupu Iwata yang tinggal di kampung datang untuk kuliah. Untuk menghemat biaya, Ade tinggal bersama Iwata.

Ayahdan ibu Iwata sendiri tinggal di kota yang berbeda. Sekali setahun saat mendapat cuti ia akan mengunjungi orang tuanya, tempat kelahirannya, dan tempat di mana seluruh kenangan masa sekolahnya berada.

Iwata adalah tipe yang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Meski tempat tinggalnya saat ini, lingkungannya, dan teman-temannya menyenangkan, ia tetap selalu rindu untuk pulang ke kota kelahirannya. Bahkan, meski ia tinggal di kota yang sama dengan orang yang disukainya.

Selesai mandi dan melaksanakan kewajibannya, Iwata hanya berdiam saja dalam kamar. Ia mendengarkan musik, membaca buku, kemudian beralih tempat ke ruang tengah untuk menonton televisi. Bergonta-ganti saluran beberapa kali. Tidak ada siaran yang menarik perhatiannya, Iwata kembali lagi ke kamar. Ia akan tidur lebih cepat.

Tidak bisa! Pikirannya justru dipenuhi dengan kasus.

Berapakali pun diabaikan, tatapan Iwata selalu tertuju pada buku catatan yang ada di atas meja. Masih berusaha menahan diri.

Iwata sudah berpikir keras sepanjang hari, melakukannya lagi malam ini juga tidak akan menghasilkan apa pun.

Iwata memaksakan diri merangkul guling dan memejamkan matanya. Tidur.

"Ah, sial!" desisinya kemudian beranjak dari ranjang.

Iwata memeriksa ulang catatannya. Menggunakan otaknya untuk berpikir keras lagi. Ia juga memindahkan gambar-gambar TKP dari ponselnya ke laptop. Ia amati semuanya. Sekali lagi, lagi.

"Ternyata memang percuma," gerutu Iwata putus asa. Ia merosot dari tempat duduknya dan menghela nafas panjang.

Semuanya sudah bekerja keras, terus berpikir, mendatangi TKP berkali-kali, menanyai saksi berulang-ulang, tapi yang terlihat hanya jejak samar. Asumsi-asumsi liar banyak berkeliaran, tapi tanpa bukti, tidak ada dasar. Asumsi-asumsi itu hanya akan tetap sebatas asumsi, tidak memiliki kekuatan apa pun.

Iwata menutup laptopnya dan kembali ke ranjang. Tidak ada yang bisa ia lakukan sampai besok.

Siap menyibukkan diri dengan salah satu bacaan yang memenuhi rak buku dalam kamarnya, ponsel Iwata berdering singkat. Pesan baru. Pesan singkat yang tampak di layar berasal dari Sakhi.

Membaca nama Sakhi membuat Iwata kembali bersemangat, moodnya membaik seketika. Tidak ada lagi kekesalan karena kasus mengalami jalan buntu. Senyumnya tertarik tipis.

'Cie... yang tadi kucuekin.'

Iwata melirik jam di sudut kanan ponselnya, 22.30. Sakhi pasti baru pulang dari kafe.

Buku yang baru diambil, Iwata kembalikan lagi ke rak. Buru-buru ia membalas chat Sakhi. Diketiknya beberapa kata kemudian dikirim.

'Sudah tahu nyuekin masih pakai cie cie.'

Iwata bisa membayangkan bagaimana reaksi Sakhi saat membaca chatnya. Akan ada senyum kecil di bibirnya yang penuh. Meski lelah, masih ada binar di mata bulatnya, rona juga menghiasi wajah ovalnya. Meski kuyu, Sakhi tetap terlihat manis saat tersenyum.

Chat balasan masuk tidak lama kemudian.

'Maaf Pak, saya khilaf. Mohon diampuni.'

Iwata mengirim emoticon senyum.

Mereka masih saling berkirim pesan untuk yang keenam kalinya. Pesan kemudian terputus di Sakhi, karena tak kunjung mengirim balasan. Iwata masih menunggu, 5 menit lagi. Tetap tidak ada juga balasan, ia menyimpan ponselnya. Ia yakin sekarang Sakhi pasti sudah tertidur dengan masih menggengam ponselnya.

Perlahan, Iwata juga mulai terlelap.

Setelah ijab kabul diucapkan di depan penghulu dan disahkan oleh dua orang saksi, jarak adalah hal pertama yang melebur. Kemudian tidak ada lagi pemisah.

Menemukan dermaga terakhir yang indah adalah mimpi dari setiap pencinta. Kemudian hidup bahagia selama-lamanya. Seperti epilog-epilog yang ada di dogeng-dogeng putri dan pangeran.

***

Siguiente capítulo