webnovel

06: Kasus Liz

Kami memasuki sebuah kafe biasa, dan duduk di meja paling ujung. Disini kami bisa melihat keluar dengan bebas, karena kami duduk di samping jendela. Kalau di pikir-pikir lagi, ini adalah kali pertamaku makan dengan lawan jenis selain Ibu dan Kakakku.

Yuki mengangkat tangannya untuk memesan. Dan secara otomatis, NPC pelayan datang mendekati kami, lalu sebuah menu virtual di meja kami akan aktif.

"Kau pesan sesukamu saja." Kata Yuki, sambil mengklik sesuatu di menu kafenya.

Aku mengklik kopi hitam dan pisang goreng yang tersedia di kafe ini.

Setelah selesai dengan semua pengoperasiannya, Pelayan itu berkata, "Silakan di tunggu." Lalu berjalan pergi.

Walaupun berkata 'tunggu', tapi nyatanya si pelayan langsung kembali kemari setelah ke dapur untuk mengambil makanan yang di pesan.

"Maaf menunggu." Kata si pelayan yang langsung pergi setelah kami menganggukan kepala kami.

Yuki hanya memesan semangkuk es krim, dan langsung memakannya setelah di sajikan. Aku mengikuti Yuki dan ikut memakan bagianku juga.

Tidak ada percakapan di antara kami saat kami sedang memakan pesanan kami, tapi entah kenapa aku menyukai kesunyian di antara kami. Saat ini, di tempat ini, hanya ada kami dan beberapa pelayan yang berdiri di depan counter. Kesunyian yang terjadi di antara kami, terasa sangat menyenangkan. Setelah kengerian itu terjadi, rasanya aku tidak pernah merasa senyaman ini, aku tidak tahu apa yang membuatku merasa nyaman, entah itu karena makanan yang disajikan di depanku, entah itu karena sikap Yuki yang dingin yang mampu mendinginkan kepalaku yang panas karena di paksa untuk terus menjadi lebih kuat di penjara yang dibalut indah dengan nuansa game Free World Online ini.

Kami selesai dalam lima menit.

"Terima kasih." Kataku.

Yuki menggeleng, "Ini sebagai rasa terima kasihku, jadi kau tidak perlu berterima kasih padaku."

"I-Iya." Dia terlalu serius.

Setelah selesai dengan makanan kami, kami langsung keluar dari kafe itu dan berpisah. Dia memang cuek ataupun dingin, tapi dia adalah orang baik. Aku menganggukan kepalaku untuk meyakinkan diriku sendiri.

Aku diam di depan kafe itu selama beberapa menit, untuk menjaga jarak antara aku dan Yuki. Karena tujuan kami sama, yaitu Area dua, maka jalan kami pun pasti akan sama, tapi rasanya aneh jika harus berjalan bersama lagi, jadi aku hanya mengatakan alasan konyol dan diam di depan kafe selama beberapa menit.

Entah sudah berapa menit terlewati, tapi aku harap Yuki sudah sedikit lebih jauh di Area dua.

Aku berjalan mendekati air mancur kebangkitan, mengoperasikan beberapa menu, lalu memilih Area dua. Cahaya berwarna putih menyelimuti diriku sebelum akhirnya aku menghilang dan terteleportasi ke Area dua.

Area dua terlihat seperti sebuha Desa bersalju yang di kelilingi oleh pagar raksasa membentang jauh. Suasana salju yang tidak pernah aku rasakan ini membuatku jadi ingin berbaring di atas salju atau membuat bola salju. Oh, ternyata sudah ada beberapa player yang melakukan perang bola salju. Aku rasa perang bola salju adalah salah satu kegiatan yang wajib dilakukan jika kau berdiri di atas salju yang banyak.

Sepertinya seluruh player yang tadi berada di Area satu berkumpul di Area dua. Mungkin mereka penasaran dengan Area dua, yang ternyata adalah sebuah Desa besar bersalju indah ini.

Saat aku melangkahkan kaki-ku di tumpukan salju, mata kaki ku benar-benar sampai tenggelam ke tumpukan salju. Saat angin berhembus, butiran-butiran putih salju menghujani siapapun yang ada di desa ini. Jika ini bukanlah game, aku yakin aku sudah menggigil. Tapi walaupun aku tidak merasakan kedinginan, rasanya dari penglihatan mataku, otakku mengirimkan sinyal palsu ke tubuhku bahwa inilah dingin atau semacamnya. Rasanya kesal saat game seindah ini harus dijadikan sebuah death game.

Aku melihat ke sekitarku. Rata-rata NPC di sekitar sini adalah pemburu. Mereka menggunakam baju bulu yang tebal, dan topi mereka seperti terlihat dari kulit serigala yang hangat. Di punggung mereka ada sebuah senapan yang rasanya bisa membunuh serigala dengan sekali tembakan.

"Zack!" Tidak salah lagi, itu adalah suara Rick yang terdengar di belakangku.

Aku berbalik dan mengangkat tanganku, "Yo!"

"Kerja bagus karena sudah membunuh Boss Area satu, Zack."

"Kenapa kau tahu? Padahal kan kau tidak ikut penyerbuan.".

Rick mengeluarkan sesuatu dari ruang itemnya. Itu adalah sebuah kertas koran. Dia menunjukannya padaku. Di sana ada gambar diriku yang sedang menggunakan skill pemotong udara dan beberapa penjelasan singkat tentang pertempuran di Boss Area.

"Ah, tidak kusangka ada koran di dunia ini."

Rick tertawa bodoh, "Awalnya aku kira aku dapat hadiah dari GM, tapi ternyata aku dapat koran. Kemungkinan besar seluruh player mendapatkan koran ini."

Aku menggelengkan kepalaku, "Aku tidak dapat apapun."

"Tentu saja! Itu karena kau yang mengalahkan Boss-nya, jadi kau tidak perlu tahu."

"O-Oh, begitu ya."

"Kalau begitu sudah dulu lah, kau sedang sibuk melakukan quest kan?"

Aku menggeleng, "Tidak. Aku baru datang."

"He? Aku kira seluruh tim penyerbu sedang melakukan quest bersama?"

Aku tertawa bodoh sambil menggaruk belakang kepalaku, "Aku rasa aku di tinggal."

"Hahaha! Bagus untukmu." Rick berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Kalau begitu aku saja yang pergi, isteriku menungguku."

"O-Oke." Aku tidak mengerti kenapa dia mengatakan yang terakhir itu dengan nada yang sombong. Aku jadi ingin tahu seberapa cantik sih isteri Rick.

"Kau, kau yang di sana!"

"Ha?"

Seorang NPC Kakek tua berjalan tergopoh-gopoh ke arahku.

"Ada apa?" Kataku.

"Dari cara berpakaianmu, kau pengelana ya?"

"Ha?" Aku melihat diriku sendiri. "Oh, iya." Mungkin karena jubahku. Aku rasa siapapun yang memakai jubah kegelapan ini di lantai dua, akan di datangi oleh NPC pemberi quest yang seorang Kakek tua ini.

"Maukah kau membantu desa kami?"

"Memangnya ada masalah apa?"

"Serigala putih tahun ini lebih banyak dari sebelumnya. Dan para pemburu di desa ini tidak cukup banyak. Jadi, aku butuh bantuanmu untuk membasmi mereka."

"Kau... Kau kepala desanya?"

"Iya, begitulah." Dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yang rendah, "Apa kau bersedia membantu desa ini?"

Aku mengangguk, "Iya."

Menu quest terlihat di depanku. Hadiahnya berubah Exp dan Koin emas saja. Sial! Aku kira aku bisa mendapatkan perlengkapan keren atau semacamnya, ternyata tidak.

Saat aku menekan menu konfirmasi quest dan menu questnya menghilang, kepala desa tadi pun ikut menghilang. Ada tanda panah di petaku. Aku mengklik petaku dan membuatnya menjadi peta 3D. Aku menyusuri anak panah itu, dan berhenti tepat di tengah-tengah Monster White Wolf Zone. Questnya menyuruhku untuk membunuh lima ratus Monster White Wolf. Sialan! Harusnya ada batasan tertentu dalam sebuah quest MMO, tapi disini benar-benar sudah gila. Memang tidak ada batasan waktunya, tapi membunuh lima ratus Monster White Wolf itu sangat banyak, bahkan aku yakin hanya dengan membunuh mereka saja levelku akan naik lumayan tinggi. Dasar game kematian sialan!

Aku berjalan santai ke arah tanda panah itu menunjuk, tapi aku baru menyadarinya, waktu sudah menunjukan sore hari. Tidak kusangka saat aku tidak menghiraukan waktu, waktu terasa sangat cepat. Tidak! Sebenarnya butuh berapa jam bagi tim penyerbu saat itu untuk membunuh Monster GoTroll itu?

Lebih baik aku mencari penginapan dan tidur untuk esok hari. Besok aku akan berjuang keras untuk menyelesaikan quest tidak karuan ini. Lima ratus White Wolf, besok aku akan datang. Rasanya aku ingin mengatakan itu dengan tatapan sinis, tapi terlalu memalukan jika tidak ada siapapun di depanku.

Aku berkeliling mencari penginapan sambil menikmati desa berselimut salju ini. Aku memang bisa dengan mudah mencari penginapan di peta, tapi aku melakukan ini sekalian berkeliling desa. Setidaknya aku ingin menginjak salju lebih lama lagi.

Matahari yang cahayanya tidak terlalu terlihat di Area ini mulai meredup. Kegelapan mulai menyelimuti desa bersalju ini. Aku sudah menemukan tempat penginapannya. Setelah mendaftar dan mendapatkan kamar, aku segera berjalan menuju kamarku di lantai tiga. Saat aku berjalan di tangga lantai dua, seseorang berjalan melewatiku dari lantai atas. Seorang pria dengan rambut hitam dan mata merah yang khas. Mata merah itu pernah aku lihat saat di kafe waktu itu.

Aku menghentikan langkahku dan menatap player bermata merah itu. Ada yang aneh dengannya. Aku selalu merasa waspada tiap kali ada dia. Tunggu! Perasaan ini, aku pernah merasakan perasaan ini, perasaan ini sama persis dengan yang aku rasakan saat aku berjalan di tengah kota waktu itu. Aku menghiraukan perasaanku dan langsung naik ke lantai tiga.

Saat aku sampai di lantai tiga, ada seorang player perempuan berambut hitam panjang. Dia terkejut bukan main saat melihat aku sampai di lantai tiga, dia dengan terburu-buru masuk ke salah satu kamar yang ada.

"Apa'an sih?" Gumamku.

Aku masuk ke kamarku dan langsung tertidur.

---

"Kyyaaaaaa!!!" Suara jeritan seorang perempuan membuatku langsung terbangun. Sial! Aku lupa mengaktifkan mode senyap di kamar ini.

Suaranya terdengar sangat dekat. Tidak! Suara itu terdengar tepat di bawah jendelaku.

Aku segera bangkit dan membuka jendelanya, lalu menengok ke bawah.

Seorang player perempuan terduduk dalam diam. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Di depan si perempuan, ada seorang laki-laki yang terbaring. Aku melihat HPnya semakin lama semakin berkurang.

"Woi! Ada apa?" Tanyaku, dari kamarku.

Player perempuan itu mendongak ke atas, "Tolong aku!"

"Ha? A-Ada apa?"

"Ka-Kakakku..."

Aku segera melompat dari lantai tiga dan mendarat tepat di depan si perempuan, lalu membalikan tubuh si player laki-laki yang mencium tanah. Saat aku melakukannya, perut dan dada player ini terdapat luka tebasan yang besar. Ada sebilah belati yang tertancap di ulu hatinya.

Aku segera mengambil healing potion di shortcutku, tapi saat aku hendak meminumkannya, dia memegang tanganku dan berkata, "Tolong lindungi Adikku!"

"Jangan banyak bicara dan minum saja healing potionnya!"

Dia malah tersenyum, dan menghilang menjadi asap putih yang terbang ke udara. Dia, laki-laki ini sudah mati, mati tepat di pangkuanku.

Aku hanya terdiam. Baru kali ini aku melihat kematian sangat dekat denganku.

Aku berbalik dan menatap si player perempuan berambut merah mudah panjang ini. "Anu, aku..."

"Kakak..."

"Maaf, saat aku mau memberikannya healing potion, dia..."

Si player perempuan ini membenamkan wajahnya pada pahanya dan menangis. Dia bahkan tidak peduli jika aku bisa melihat celana dalam berwarna putihnya.

Aku melihat ke arah kamarku. Ternyata bukan hanya aku yang terbangun, tapi beberapa player pun membuka jendela mereka dan menonton. Mereka bahkan tidak turun untuk menanyakan sesuatu. Aku menggertakan gigiku dan hampir berteriak ke arah mereka, tapi tiba-tiba si perempuan berambut merah muda ini memegang tangan kiriku.

"Aku belum mau mati." Dia menatapku dengan mata penuh dengan air mata.

"Kita ke kamarku dulu. Kau bisa menceritakan semuanya padaku. Setidaknya kita bisa mengaktifkan mode senyap agar tidak ada yang bisa mendengarkan apa yang kau bicarakan."

"Iya."

Setelah itu tanpa basa-basi lagi kami langsung berjalan ke kamarku. Aku sempat menanyakan nama gadis ini. Di berkata kalau namanya adalah Liz. Gadis berambut merah muda sebatas punggung ini bernama Liz. Class utama: Sniper. Class kedua: Thief. Umurnya baru tujuh belas tahun. Dia satu tahun di bawahku.

Saat sampai di kamarku, aku mempersilahkannya untuk duduk di kasurku, sedangkan aku duduk di kursi yang ada di kamarku.

"Kau melihat siapa yang membunuh Kakakmu?" Tanyaku.

Liz menggeleng lemah, "Aku tidak terlalu melihat wajahnya, tapi ada kilatan merah saat tiba-tiba dia datang hendak membunuhku."

"Membunuhmu?"

"Iya, player itu tidak bermaksud untuk membunuh Kakakku, dia bermaksud membunuhku."

"Eh?"

"Karena Kakakku memilih Pisau dan Assasin sebagai Classnya, dia memiliki kecepatan untuk menangkis serangannya, tapi karena kedua Class tersebut tidak terlalu kuat, Kakakku tidak bisa menahan serangannya dan... Hiks... Terbunuh." Liz berhenti sejenak, menghapus air matanya, lalu berbicara sekali lagi, "Jika saat itu kau tidak melihat keluar, aku yakin aku sudah mati."

"Yah, untuk sekarang kau tidur saja dulu." Kataku, kemudian bangkit dari tempat dudukku.

"Bagaimana denganmu? Kau tidur di mana?"

"Umm, di lantai juga tidak masalah."

"Yah, ini kamarmu, aku jadi tidak enak."

Aku tertawa kecil, "Kalau begitu kau tinggal membayar tagihannya padaku kan?"

Liz tersenyum, "Kalau itu yang kau mau." Kemudian dia berbaring dan memunggungiku. Tidak mungkin dia akan tertidur, aku yakin dia hanya akan terus menatap tembok sambil memikirkan nasibnya esok hari dan seterusnya. Itu adalah perasaan yang wajar saat kau tahu kau sedang diincar.

Walau sebelumnya aku belum pernan diincar, tapi aku yakin itulah yang akan kau rasakan, yaitu rasa takut. Satu-satunya cara agar Liz tidak takut, adalah dengan cara menghadapinya, dan jika Liz harus menghadapinya, maka dia harus bertambah kuat, dan jika Liz harus bertambah kuat, dia harus terus bertarung. Besok adalah waktunya.

---

Aku membuka mataku, saat aku sadar ada selimut yang menyelimuti tubuhku yang tertidur di atas kursi dan meja sebagai bantalnya. Saat aku menoleh ke arah kiri di mana kasur berada, Liz duduk di pinggir kasur itu dan tersenyum ke arahku. Aku rasa inilah rasanya bagaimana mempunyai isteri yang selalu ada di sampingmu saat kau bangun tidur. Aku bangun dan mengambil selimutnya, lalu memberikannya pada Liz.

Liz menerimanya dan menaruhnya kembali di atas kasur.

"Hari ini aku di sini saja." Kata Liz.

"Tidak! Kau akan ikut denganku."

"Eh? Tapi-"

"Kau harus bertambah kuat. Kau tidak boleh selamanya diam di sini atau bergantung pada seseorang."

Liz hanya terdiam dan menunduk.

Aku melanjutkan dengan nada yang lebih rendah, "Ikut denganku dan kita akan menaikan level bersama."

"Eh?"

"Jangan malah 'eh', aku serius, jadi... Bagaimana?" Aku berhenti sejenak sebelum melanjutkan. "Memangnya kau tidak mau membalas kematian Kakakmu?"

Liz tersenyum lembut penuh kesedihan, "Pada akhirnya semua Manusia juga akan mati."

Aku menghembuskan napasku, "Kalau begitu alasan yang pertama saja harusnya sudah cukup untuk membuatmu jadi lebih kuat." Aku berhenti sejenak, "Bagaimana?"

Liz mengalihkan pandangannya, "Entahlah."

"Kau tidak perlu ikut pun tidak masalah. Aku sedang melakukan quest di lantai dua, jadi kau juga akan dapat Exp-nya saat aku membunuh Monster dan menyelesaikan quest. Hanya saja aku ingin kau berjanji padaku satu hal."

"Apa?"

"Jangan keluar dari kamar ini dan tetap waspada."

"Dua..."

"Bagaimana?"

Liz menggeleng lemah, "Tidak ada. Aku akan diam disini dan tetap waspada."

Aku tersenyum, "Dan besok kau akan ikut denganku untuk berlatih."

"I-Iya."

"Oh ayolah, aku tidak ingin kau mati dan menyia-nyiakan pengorbanan Kakakmu." Aku langsung berdiri, menambahkan Liz sebagai teman partyku, dan segera keluar dari kamar itu.

Satu-satunya petunjuk yang bisa di dapatkan hanyalah kilatan merah. Lagian, kilatan merah apa sih?

Saat sampai di luar penginapan, aku langsung berlari menuju lapangan salju di depan gerbang utama desa bersalju ini.

Lapangan yang sangat luas, dan saat kau fokus melihat ke lapangan, maka ujung dari lapangan ini adalah sebuah hutan yang aku yakini ukurannya bahkan lebih besar dari pada di Area satu.

Baru saja aku menginjakan kaki ku di pinggiran lapangan bersalju ini, tatapan mata para White Wolf membuatku harus segera memegang pedang dan perisaiku. Mereka bukan Monster pasif, tapi aktif. Walaupun aku tidak menarik perhatian mereka, mereka tetap akan menunjukan taringnya padaku.

Saat sekumpulan White Wolf itu berlari ke arahku dari depan, aku mengaktifkan skill: Perisai tubuh. Tubuhku diselimuti oleh aura redup berwarna hijau. Lalu mengaktifkan skill: penajam pedang. Pedangku langsung di selimuti aura berwarna merah.

Aku langsung berlari maju menghadapi puluhan White Wolf itu sendirian. Entah apa yang aku pikirkan, tapi aku merasa bisa walau sendirian.

Satu White Wolf menyerangku. Aku menahan taringnya dengan tameng segi limaku, lalu langsung memotong tubuhnya, dilanjutkan dengan White Wolf yang datang dari kananku, aku langsung menebas dari mulut ke tubuhnya.

Level mereka kemungkinan level sepuluh. Level playerku adalah level dua belas, level tameng, armor, dan pedangku adalah level sepuluh, di tambah skill-skill penguatan yang aku aktifkan, wajar saja jika satu kali tebasan bisa langsung membunuh mereka.

Ada tiga White Wolf yang melompat ke arahku. Aku langsung menebas mereka. Dilanjutkan dengan dua serangan di kanan dan kiriku secara bersamaan. Aku menggunakan perisaiku untuk menahan yang kiri, dan menusuk White Wolf di kananku dari mulut sampai punggungnya, setelah itu aku memutar tubuhku untuk sekalian membunuh White Wolf di belakangku dan White Wolf yang aku tahan dengan perisaiku.

Aku terus-menerus membunuh White Wolf yang mendekat dengan tahan dan serang. Ada beberapa serangan yang mengenai tubuhku, tapi damage satu White Wolf di berikan padaku bahkan tidak lebih dari satu persen, sedangkan regenerasi naturalku adalah dua persen, jadi serangan mereka benar-benar tidak berguna di hadapanku. Aku hanya terus tersenyum di sepanjang pertarungan. Di tambah kelincahan yang diberikan oleh Jubah Kegelapan ini, aku jadi memiliki kecepatan yang lumayan jika hanya harus berhadapan dengan serigala.

Aku terus membunuh dan terus membunuh setiap White Wolf yang mendekatiku, tapi setelah sekian banyak White Wolf yang aku bunuh, tiba-tiba daerah sekitarku menjadi sangat sunyi, hanya terdengar suara angin di musim dingin, mungkin. Rasanya aneh jika Monster bisa habis, karena jika memang begitu, player lainnya yang tidak beruntung akan kesulitan naik level atau mendapatkan bahan-bahan lainnya.

Tiba-tiba terdengar bunyi peringatan di sistemku. Dan sesuatu berwarna putih dan besar berjalan ke arahku dengan kecepatan yang sangat lambat, tapi setiap langkahnya membuatku ketakutan. Maksudku, ini sudah pasti bukan Monster kroco biasa, dia adalah Boss dari Monster White Wolf Zone, yang akan muncul setelah banyak dari White Wolf yang terbantai.

Tiba-tiba Monster putih itu dengan cepat melaju ke arahku, dan aku bisa melihat wujud serta nama Monsternya. Yeti, adalah legenda Monster di pegunungan bersalju, mungkin versi salju dari BigFoot. Monster Yeti itu berlari dengan cepat ke arahku.

"Hmm? Skill baru? Perisai udara? Apa ini? Tunggu! Levelku bertambah satu."

Aku mengaktifkan skill: perisai udara. Ada tanda bidikan di sudut pandangku, dan saat aku memfokuskan pikiranku pada bidikan yang bisa aku pindah-pindahkan, sebuah perisai transparan berbentuk persegi panjang ke atas terbentuk beberapa meter di depanku. Mungkin hanya aku saja yang bisa melihat perisai itu, karena Monster Yeti itu malah menabrak perisai udara yang aku buat. Dia berteriak marah dan memukul-mukul perisai udaraku, dan dalam empat kali pukulan, sebuah retakan muncul di perisai udaraku sebelum akhirnya hancur dan Monster Yeti itu berlari cepat ke arahku.

Aku tidak mungkin bisa menahan serangan mengerikannya.

Dia melayangkan pukulan dari tangan kanannya. Aku berguling ke depan dan menusuk perut sixpacknya. Tapi aku salah, karena pedangku menyangkut di perut sixpacknya, dia memukul kepalaku dengan tangan kirinya dan membuatku terpental sekaligus mengurangi lima persen HPku.

Sial! Pedangku masih menyangkut di perutnya.

Dia menggunakan tangan kanannya dan menarik pedangku yang menancap di perutnya, lalu melemparkannya ke arahku dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Tapi aku langsung mengaktifkan skill: percepatan. Dan aku bisa memegang pegangan pedangku saat pedangnya melewatiku.

Aku tersenyum sombong ke arah Monster Yeti itu, "Ada apa? Ini saja?!"

Seperti mengerti kalimatku, dia meraung keras dan berlari ke arahku. Mulai sekarang aku akan berhenti menghina Monster, karena efek yang dihasilkan sama seperti hate reaction, yaitu memperkuat ATK mereka.

Siguiente capítulo