webnovel

Episode 4

Hari ini adalah hari pertama aktivitas sesungguhnya dimulai, setelah satu minggu siswa baru beradaptasi dan dibebaskan untuk mempersiapkan diri, termasuk pembagian kelas, asrama dan kamar juga mempersiapkan atribut sekolah. Waktu tujuh hari sudah dianggap cukup untuk merapihkan lemari, membeli buku-buku pelajaran, buku tulis dan saling berkenalan sama siswa lainnya. Aku sendiri sudah akrab dengan ketiga teman sekamarku, Dion, Reno dan Idris. Selain itu aku juga punya teman baru, Kevin anak kelas 3 SMP, setelah perkenalanku saat sarapan beberapa hari lalu, kami cukup sering bertemu saat jam makan, dan tentunya dia ikut gabung di meja kami.

Aku tidak tau alasannya mengapa Kevin selalu gabung sama kami saat makan, apakah dia tidak punya teman atau cuma sekedar ingin berteman, yang jelas aku, Dion, Reno dan Idris tidak keberatan punya teman kelas 3 SMP. Selain itu, ternyata Kevin adalah anggota marching band, seorang pemain mellophone, meski aku juga nggak tau alat seperti apa itu.

Aku dan Dion sudah memutuskan akan memilih eskul marching band, Reno akan ikut klub sepak bola dan Idris sudah memantapkan pilihannya untuk ikut eskul teater dan drama. Kami belum resmi mendaftar, karena pendaftaran dibuka setelah masa orientasi sekolah usai.

"Akan ada pentas seni dan pameran setelah penutupan masa orientasi, pasti asyik banget," Cerita Dion tadi malam, kami bertiga bersemangat mendengarnya.

"Pameran akan diikuti oleh semua bagian OSIS, jadi semua klub-klub olahraga, seni dan bahasa akan membagikan formulir pendaftaran saat pameran itu" papar Dion.

"Emang apa saja yang akan ditampilkan?" tanya Reno

"Semuanya, mulai dari band sekolah, teater, drama, semua akan tampil di panggung utama. Marching Band akan melakukan pertunjukan dan atraksi di lapangan, dan klub olahraga, seni, dan bahasa akan mengadakan pameran serta membuka bazar di halaman timur." ucap Dion dengan wajah ceria. Aku membayangkan acara penutupan itu, hemmm pasti seru banget.

Hari ini masa orientasi siswa akan dimulai selama tiga hari. Siswa di sini juga menyebutnya MOS. Ada yang unik di sekolah ini, orientasi tidak hanya untuk anak baru, tapi untuk semua siswa dari kelas 1 SMP sampe 3 SMA, artinya siswa kelas 3 SMA sudah lima kali ikut MOS.

MOS akan dibuka di halaman utama, yang merupakan lapangan paling luas di kampus ini. Ketua Yayasan yang akan membuka pembukaan MOS, sekaligus menandakan dimulainya tahun ajaran baru di Sekolah ini. Dalam orientasi tidak ada senior atau yunior, apalagi senior ngebully yunior, karena semua siswa dari kelas 1 SMP sampe 3 SMA semua sederajat, tidak ada atribut pengurus asrama bahkan pengurus OSIS sekalipun, semuanya dianggap sama.

Orientasi akan dilakukan di dalam gedung pertemuan, yang mampu memuat 2000 siswa. Dalam orientasi itu hanya akan diisi dengan pengarahan sebanyak delapan sesi, tiga sesi per hari, dan akan diisi oleh pimpinan penting di sekolah ini, selain itu juga ada motivator kelas nasional juga akan mengisi kegiatan ini. Tujuannya adalah agar semua siswa dapat meluruskan niatnya, bahwa tujuan utama ke kampus ini adalah untuk sekolah. Begitu kira-kira penjelasan kakak pengurus asrama ketika pengarahan tadi pagi, walaupun sebenarnya aku, Reno dan Idris sudah tau. Tentu saja informasi dari Dion, apa sih yang dia tidak tau.

Kalau dipikir-pikir aku merasa beruntung punya teman yang serba tahu. Kalau Dion ini tidak punya kakak maka aku akan berasumsi dia ini sama seperti Hermione Granger, anak yang serba tahu dan kadang juga nyebelin. Buktinya beberapa kali aku dikerjai sama anak itu, terakhir kali kemarin ketika berkeliling ke gedung kesenian dan keterampilan. Tapi aku tidak terlalu peduli, yang penting aku sudah mulai bisa membiasakan dan menyesuaikan diri di sini. Bahkan kemarin setelah melihat-lihat gedung kesenian dan keterampilan, ternyata di bagian itu juga ada seksi Karate. Hebat.

Kami juga sempat mampir di bagian olahraga, gedungnya juga gede, tidak banyak seksi di bagian olahraga, tetapi banyak klub bola maupun basket. Bahkan Dion sempat bilang ada pertandingan antar klub sepanjang tahun, seperti liga gitu. Kami sempat melihat ruangan-ruangan yang dijadikan markas bagi tiap-tiap klub bola maupun basket. Selain itu juga ada klub bulu tangkis, tenis, tenis meja, athletik, fitnes dan masih ada juga yang lain. Hanya saja klub-klub itu tidak sebanyak klub basket dan sepak bola.

Kalau basket ada sembilan klub, sepak bola ada empat belas klub maka cabang olahraga lain hanya memiliki satu klub saja. Setiap siswa diperbolehkan mengikuti cabang-cabang olahraga tersebut dan klub akan mengadakan ujian untuk memilih yang terbaik dari setiap anggota, untuk jadi anggota khusus yang pada akhirnya akan menjadi pengurus klub masing-masing.

Selain itu ada juga klub-klub bahasa asing, ada banyak klub, mulai bahasa Inggris, Mandarin, Arab dan Jepang. Semuanya dibina oleh bagian bahasa. Proses seleksinya sama, setiap siswa dapat mengikuti klub bahasa mana pun, bila sudah saatnya nanti klub-klub tersebut akan merekrut anggota khusus melalui tes, yang pada akhirnya juga untuk regenerasi klub-klub itu juga. Aku tambah kagum dengan sistem yang dijalankan di sekolah ini, hampir semuanya dikoordinir oleh siswa, terutama OSIS. Pantas saja pengurus OSIS di sekolah ini seperti pejabat tinggi. Hah, Pejabat? Jadi ingat papa, banyak juga pejabat yang sering mau datang ke rumah, sayangnya papa selalu menolak, hemmmm, sejenak aku lupa tentang kehidupan di rumah.

Dion memberitahuku banyak hal tentang sekolah ini, hanya saja penjelasan nya kemarin membuatku jadi sedikit kecewa.

"Kita hanya bisa mengikuti satu atau dua eskul saja" jelas Dion saat kami pulang ke asrama.

"Kenapa begitu? Bukankah eskul ini dibuat agar siswa bisa mengikuti semuanya?"

"Karena waktu. Kegiatan eskul dilaksanakan jam 3 sore sampe jam 5 sore, 3 kali seminggu, dan semua dilakukan bersamaan. Jadi tidak mungkin pada waktu yang sama kita bisa berada di tempat berbeda, jadi tinggal pilih saja satu atau dua eskul" Jelasnya.

Tapi sekarang aku tidak terlalu memikirkannya, lagian juga ibarat makanan kalau sudah terlalu banyak, malah ngggak jelas lagi rasanya.

"Mau ikut ke kantin? Ngelamun aja." tiba-tiba Dion sudah muncul di pintu kamar. Huh, baru aja mengingat dia, sudah nongol aja.

"Bukannya kita ada MOS di gedung pertemuan?" tanyaku

"Masih ada waktu 30 menit, kita bisa beli camilan di kantin, aku males ke ruang makan" wajah Dion sedikit lesu.

"Kenapa? kamu nggak sedang bermasalah kan sama pengurus dapur" selidikku. Dion hanya tersenyum masam, dan terdiam.

"Hari ini aku tidak suka menunya, aku tidak suka makan sayuran" uajar Dion dengan suara setengah berbisik. Ada saja anak ini, ternyata dia tidak suka sayuran.

"Kalau ke kantin nanti kita telat, udah ke ruang makan aja, minta rendang sana sama Reno buat ganti lauk mu!"

"Udah gak usah, ke kantin aja. Rick, please dong, temenin aku," Dion mulai memelas, hahaha, lucu juga lihat Dion begitu, jarang-jarang aku melihatnya bertingkah seperti anak kecil. Kalau diingat-ingat dari awal ketemu Dion seperti orang dewasa, serba tau, ngomongnya cepat, tapi kalau lihat dia begini, nggak ada bedanya sama aku, yes we are twelve.

Jam 8.00 kami sudah berkumpul di gedung pertemuan, seluruh siswa SMP dan SMA semuanya dalam satu gedung. Sedikit aneh dan rada asing saja, ribuan siswa ini berasal dari berbagai daerah, berbagai suku dan agama. Sejenak ku perhatikan wajah siswa-siswa yang duduk di sekitarku. Siswa SMP duduk di barisan paling kanan, dilanjutkan siswa kelas 2 dan 3, dan dikuti barisan siswa SMA. Perbedaan mencolok terlihat jelas, dari kanan siswa yang culun-culun, lugu dan malu-malu bahkan ada juga yang malu-maluin, semakin ke kiri semakin rapi, berwibawa dan modis.

Kelihatannya ada proses waktu yang sangat mempengaruhi penampilan siswa-siswa ini, siswa baru tentu saja baru pertama berpisah dari orang tua, jadi wajar saja berpakaian tidak rapi dan culun, semakin lama semakin mandiri dan semakin dewasa dan mungkin juga mengikuti tren yang ada di kampus ini, hahaha kayaknya di sini ada juga tren fashion deh, meskipun ada juga yang rada norak, ternyata anak alay bisa juga nyasar kesini.

Aku dan Dion mengambil tempat duduk untuk anak kelas 1 SMP di deret agak belakang karena kami hampir terlambat. Reno dan Idris sudah datang duluan, jadi mereka dapat duduk di depan. Di barisan anak kelas 3 SMP ada Kevin yang sedang asyik ngobrol sama temannya cowok berkacamata dengan kawat gigi, kelihatannya dia juga hampir terlambat, dia duduk di deret paling belakang. Aku tidak kenal siapa teman ngobrolnya, tapi kelihatannya mereka akrab.

Kegiatan MOS ini sebenarnya memiliki arti dan makna yang mendalam tentang pengenalan kampus yang lebih luas, tapi buat kami yang masih belasan tahun, rasanya sangat membosankan. Siswa-siswa senior tentunya tidak terlalu antusias dengan kegiatan MOS ini, karena mereka sudah mengikutinya berkali-kali, bahkan salah seorang siswa kelas 1 SMA yang duduknya juga di belakang kelihatannya meniru kata-kata yang disampaikan Kepala Sekolah, lama aku perhatikan gerakan bibirnya, persis seperti kata-kata yang diucapkan Kepala Sekolah di podium. Hemmm kelihatannya anak itu sudah hafal isi pidato kepala sekolah, sementara teman-temannya tertawa cekikikan nonton gaya anak itu.

Tidak jauh dari tempat dudukku berdiri siswa berbadan tegap, rambut cepak, wajahnya juga galak. Mungkin itu bagian kemanan. Ternyata tidak cuma satu orang, ada beberapa orang lagi di setiap sudut dan lorong antar barisan, mereka berdiri, sekali-kali berkeliling membangunkan siswa yang tertidur dan menegur siswa yang tidak memperhatikan dan ngobrol.

Kuputar pandangan ke seluruh barisan siswa senior, kelihatannya mereka juga tidak terlalu menyimak, mungkin karena sudah biasa mendengar isi pidato Kepala Sekolah, jadi tidak ada hal baru yang menarik bagi mereka, berbeda dengan siswa-siswa baru, hanya sedikit dari kami yang tidak fokus meski ada juga yang tertidur, tentunya dengan alasan berbeda dari siswa senior, tebakanku bukan karena sudah tau isi pidatonya, mungkin siswa-siswa baru ini bosan atau tidak paham isinya, aku sendiri masuk pada yang pertama. Tapi ada juga yang antusias mendengar pidato itu sehingga dia tidak sadar jika ada siswa yang menempelkan kertas bertuliskan kata-kata konyol di belakang bajunya, dan tentu saja salah satu siswa yang tidak kalah antusiasnya adalah cowok bermata hitam gelap di samping ku ini, siapa lagi kalau bukan Dion.

Dion begitu serius menyimak pidato kepala sekolah, beberapa kali ku ajak ngobrol dia tidak menggubris. Aku semakin yakin kalau dia akan jadi ketua OSIS pada angkatan kami nanti.

"Perhatikan ke depan! Jangan celingak celinguk gak jelas!" tiba-tiba kepalaku dipukuli pake koran oleh kakak kelas 3 SMA. Aku menoleh, ternyata kakak berambut cepak tadi, cepat sekali dia sudah sampai di barisan kami.

Aku menunduk malu, kuperhatikan kaki kakak kelas 3 yang memukuli kepalaku, meskipun tidak terlalu sakit, tapi malunya. Ampunnn. Kelihatannya kakak kelas 3 tadi sudah kembali berkeliling ke sudut lain, untung hanya teguran sekilas saja. Ku angkat sedikit kepalaku melirik ke kiri dan ke kanan, huft! sebagian pandangan siswa baru masih memandangku sambil mengejek. Tambah malu. Dengan pelan aku menoleh ke kiri... ternyata beberapa siswa senior juga memperhatikanku, bikin tambah malu aja nih.

Kevin malah tertawa ketika melihatku, aduh benar-benar memalukan! Tapi, di barisan siswa kelas 2 SMP, ada anak yang tersenyum, dan senyumanya kelihatanya bukan ejekan. Aku membalas senyumnya dan kembali melihat ke depan, pura-pura memperhatikan pidato pak kepsek.

"Kamu lihat apa sih? untung nama kamu nggak dicatat, kalau sampe dicatat kamu bisa kena hukuman berat loh." Dion berbisik di telingaku.

"Iya, sorry, habisnya aku bosan dengar pidato pak kepsek itu." jawabku ketus.

"Gak perlu sorry ke aku, itu tadi kakak keamanan OSIS, bagian paling angker, katanya kamu mau cari aman." Tambah Dion, mukanya juga tampak sedikit cemas.

Kami kembali memandang ke depan, memaksakan diri untuk mendengar pidato gak penting ini, walaupun aku tidak terlalu menghayatinya, pikiranku sedang memikirkan siswa kelas 2 SMP tadi yang tersenyum padaku. Kenapa senyumnya terasa sangat ramah? Apa maksudnya? Kenapa aku justru memikirkan hal tidak penting ini, atau bukan itu yang membuatku kepikiran? ya, harus aku akui siswa kelas 2 SMP tadi lumayan tampan dan senyumnya bikin nyaman.

Sengaja ku melirik lagi ke barisan anak tadi, Shit!

Mata kami saling bertemu, aku langsung memalingkan wajahku. Jadi tambah malu aja, dia tau aku memandangnya. Damn!

"Kamu lihat siapa sih?" Dion berbisik pelan.

"Bukan siapa-siapa." jawabku sekenanya. Dion kembali menyimak pidato kepala sekolah, ku buka buku agenda, huft, ternyata di jadwalnya pengarahan dari kepala sekolah ini sampe jam 10.00, bisa panas banget pantatku duduk lama begini.

Teeeeet teeet teeeet

Semua siswa berhamburan dari gedung pertemuan untuk istirahat. Idris dan Reno menghampiri kami berdua, lalu kami menuju ruang makan untuk menikmati snack. Tidak banyak waktu istirahat, hanya 25 menit saja, lumayan juga untuk meringankan kepala, suntuk lama-lama di dalam gedung pertemuan.

"Habis ini siapa lagi yang pidato ya?" celetuk Idris,

Aku dan Reno memandang ke arah Dion yang sedang meminum es teh nya, menunggu dia memberikan informasi, dia kan "mbah googlenya" sekolahan. Dia hanya diam dan tidak bicara, tumben anak ini diam saja.

"Ada apa? kenapa kalian melihatku begitu?" gumam Dion.

"Habis ini siapa lagi yang pidato?" Idris mengulang pertanyaanya.

"Oh, kalau di jadwal sih pak Armen, guru senior kayaknya, aku juga baru baca namanya, belum tau orangnya." jawab Dion datar.

"Kamu kok senyum-senyum gitu?" tanyaku penasaran, wajah Dion agak aneh soalnya.

"Hemmm, aku sedang merancang pola belajarku untuk semester ini, biar dapat beasiswa, lumayan kan buat tambah uang jajan," jawab Dion.

"Biasiswa apa?" tanya kami bertiga, hahaha kok bisa bareng ya nanya nya.

"Loh, kalian nggak dengar penjelasan kepala sekolah tadi?" Dion tampak kaget, kami bertiga hanya menggeleng.

"Ren, kamu kan duduk di depan tadi sama Idris, masa gak memperhatikan sih?" Dion mulai jutek.

"Aku tadi sedang membahas klub sepak bola sama Idris, aku nggak ngerti tadi isi pidatonya" jawab Reno rada malu.

"Kayaknya cuma kamu aja deh yang memperhatikan, aku, Reno, Idris dan ribuan siswa lainnya pada tidur" potongku dikuti tawa teman-temanku. Tampang Dion tambah jutek, hahaha. Lagian si Dion, belum mulai masuk kelas saja sudah bikin rencana belajar segala, benar-benar mirip Hermione Granger nih anak.

"Sudah bel lagi tuh, ayo masuk!" ucapkan Kevin sambil menghampiri kami, muncul dari mana anak ini, perasaan tadi aku nggak lihat dia.

Kami berempat beranjak dari ruang makan menuju gedung pertemuan, Reno dan Idris sepakat mau duduk di barisan belakang juga, sebenarnya Dion mau duduk di depan, tapi karena kami bertiga nggak mau ke depan, akhirnya Dion mengalah dan ikut duduk di belakang juga.

Gedung pertemuan sudah penuh dengan para siswa, ternyata banyak juga yang memilih barisan belakang, kami segera mengambil posisi deretan ke lima dari belakang, lumayanlah, Reno dan Idris duduk duluan diikuti Dion dan aku dapat posisi paling kiri, di sebelah barisan anak kelas 2 SMP yang hanya berjarak 2 meter.

Suasana gedung masih rame, para siswa masih bersliweran mengambil posisi, sementara suara musik pop masih menggema di dalam gedung. Kok musiknya teeneger banget, Aku berdiri untuk melihat lebih jelas pengiring musik itu. Ternyata dari organ tunggal yang dimainkan oleh siswa, aku nggak tau pasti kelas berapa, tapi tebakanku antara kelas 1 atau 2 SMA, yang jelas anak SMA karena dia pake seragam SMA.

"Kamu lihat apa sampe berdiri gitu?' tanya Idris, tumben Idris ini mau ngobrol, biasanya cuek.

Dion ikut berdiri juga, " Itu anak band sekolah kita, kalau mau ambil eskul musik nanti bisa kayak mereka" tanpa menunggu aku bertanya Dion sudah menjelaskan duluan. Hemm, kayaknya asyik juga ngeband, gimana kalau aku ambil eskul musik aja? Lumayan bisa tampil dalam event sekolah begini.

"Tidak semua yang ikut eskul jadi anggota band, hanya yang dipilih saja, yang bagus mainnya, paling enam orang yang dipilih dari ratusan siswa yang ikut eskul. Sudah nggak usah galau gitu, ambil marching band aja, setidaknya sekali tampil melibatkan ratusan personel, jadi kesempatan ikut perform lebih besar, meski cuma tukang bawa bendera," ucap Dion.

Dasar anak nyebelin, pasti nyindir aku tuh, cuma bawa bendera, mentang-mentang aku nggak bisa alat lainnya, huft. Lihat saja nanti, kalau sudah ikut eskul marching band, aku akan buktikan aku bisa belajar sungguh-sungguh.

Musik akhirnya berhenti, para guru dan kepala sekolah juga sudah duduk di kursi depan. Aku dan Dion juga ikut duduk. Suasana gedung pertemuan mendadak sunyi, karena semua siswa diam. Seperti biasa aku memandang ke sekelilingku, memperhatikan muka-muka siswa, biar familiar aja. Baru aju menoleh ke kiri, tepat di sampingku, di barisan siswa kelas 2 SMP, yang hanya berjarak 2 meter dari tempat duduk ku, di deret yang sama, anak tadi yang tersenyum padaku, dia duduk di sana. Oh my god.

Kok aku jadi kikuk begini, bisa-bisanya aku duduk sederet sama dia, aku nggak boleh salah tingkah kayak gini. Ku beranikan memandang ke arahnya, sedetik, dua detik dan beberapa detik ku perhatikan wajahnya, dia sedang memandang ke depan, memperhatikan guru senior yang aku lupa siapa namanya tadi. Anak ini kulitnya putih, rambutnya dipotong rapi berwarna hitam gelap, hemmm aku tidak pandai menggambarkan wajah seseorang, yang jelas menurutku dia begitu cute, ya karena jarak kami begitu dekat, jadi aku bisa memandagnya dengan leluasa.

Aku menjadi aneh dengan diriku sendiri, seharusnya cowok umur 12 tahun menilai kecantikan seorang perempuan, tapi aku malah memandang seorang laki-laki, yang umurnya 14 tahunan, tentang ketampanan wajahnya, senyumannya yang menarik, benar-benar aneh. Tapi wajar saja menurutku, di sini kan nggak ada cewek, jadi apa salahnya kalau aku mengagumi seorang cowok, aku kan masih 12 tahun, dua bulan lagi aku baru akan berulang tahun yang ke 13, jadi ini bukan hal yang aneh.

Tiba-tiba, dia memalingkan pandangannya ke arahku. Dug dug dug, jantungku berdebar kencang, kali ini aku tak dapat memalingkan wajahku darinya, aku jadi malu, dia menatapku sejenak, dan dia tersenyum. Oh god, senyum yang sama sperti tadi pagi.

Aku membalas senyum anak yang aku tidak tau namanya itu, Dia melambaikan tangannya, dan berkata " Hai". Aku hanya tersenyum, aku tak membalas sapaannya, ku palingkan wajahku ke depan, berusaha bersikap biasa, melupakan hal yang baru saja aku alami, pura-pura memperhatikan guru senior yang sedang menjelaskan tentang disiplin, dan aku ingat nama guru itu, Pak Armen, ya itu tadi yang disebut oleh Dion, ternyata itu orangnya, mungkin nanti aku bisa tanya Dion, siapa nama anak yang ada di samping ku ini, karena sepertinya aku jatuh cinta.

BERSAMBUNG

Siguiente capítulo