webnovel

Chapter 11: The Calling pt. 2

"Demi Mentari, bang! Kalian ini suku paling pintar di Daratan... mengapa hal spele macam ini bisa terlewatkan?"

"Auk lah, tanya aja sama Yang Mulia Viper sendiri."

"Yasudah tak apa, setidaknya kita masih bisa memanggil para gadis Iska untuk berperang tanpa terganggu, kau dengar aku kan, adinda?" Ucapnya pada Naema yang dari tadi terbengong memandangi Dara Komodo di hadapannya.

"Ah, iya, apa? Ehm, tentu saja, kakanda." Ia tersentak.

"Terus senjatanya, bang?" Lanjut Amartya, seakan berusaha menghiraukan tingkah gadis (wanita) itu.

"Ini tombak mereka." Grimm mengambil senjata itu dari gadis kadal di sebelahnya, layaknya mengambil mainan dari seekor hewan, dan menunjukkannya pada Amartya.

"Matanya memang sedikit kecil, tapi jika diaktifkan mereka akan membentuk mata yang besar terbuat dari gas klorin." Pria itu lekas mengaktifkan tombak di tangannya, memunculkan mata tombak berbentukkan berlian dengan warna hijau tua yang bersinar kian terangnya.

"Dan sesuai kemampuan suku kami, toksisitas dari klorin ini sudah ditingkatkan berkali-kali lipat, mereka yang terkena akan sulit bernafas, kulitnya terbakar, dan ketahanan tubuh mereka akan serangan akan semakin melemah."

"Ah, cukup bagus, aku tahu di mana harus menaruh mereka sekarang." Amartya terdiam sejenak, seakan menyimpan sesuatu di benaknya.

"Terus ada pasukan lain bang?"

"Tentu, aku dengar kamu menciptakan pemanah dari suku kami kan? Jadi ini jenis yang terakhir."

"Pasukan tombak lagi?"

"Benar, tapi kali ini mata tombak mereka lebih besar dan dilapisi sedikit tembaga dengan toksisitas yang jauh diperkuat, berbagai organ tubuh musuh akan teracuni, sulit bernafas dan daya pikir mereka akan melesat ke bawah, tombak ini juga di tempa tajam, jadi daya kerusakan mereka besar."

"Terdengar cukup mematikan." Amartya terlihat sedikit jijik mendengarnya.

"Oh iya mereka juga membawa gelang yang dapat membentuk busur silang, terima kasih kepada Ambawak karena telah membuatnya, anak panahnya memiliki racun yang akan memperlambat lawan." Grimm mempertontonkan gelang tembaga berwarna hijau-perak di pergelangan tangannya.

"Kurasa kita tak perlu menghawatirkan kavaleri kalau begitu." Sekali lagi Amartya termenung.

"Oh iya, bang. Sebelum hari-H aku harap abang bisa mengurusi racun para pemanah baru kita, aku... tak paham mereka harus diapakan."

"Oke, tong. Kebetulan gue juge kagak ade kerjaan (males sih sebenarnye)." Grimm berusaha tak memalingkan pandangannya.

"Bagus, akan aku kabari jika mereka sudah datang."

"Kalau begitu gue cabut ke Chrysos dulu ye tong."

Sang Vhisawi dan gadis reptil itu pun pergi menuju daerah pesisir. Sementara itu Naema masih membeku dengan wajah merah pekat, sembari memandangi si gadis reptil pergi meninggalkan Sfyra.

"Adinda kamu tak apa? Dari semenjak mereka datang wajahmu seperti terbakar." Amartya tampak khawatir beberapa zat toksik Vhisawi telah mempengaruhinya.

"Apa!? Aku tak apa, kakanda." Gadis itu melompat ketika mendengar suara Amartya. "Ngomong-ngomong tadi kakanda ingin memintaku melakukan apa?"

"Aku ingin Iska hanya mengirim perempuan untuk bertempur, apa terlalu lama menunggu membuatmu letih dan panas, adinda? Kamu bisa istirahat jika menunggu terasa berat untukmu."

"Aku tak apa, kakanda. Sekarang, ayo, mari kita tunggu perwakilan selanjutnya!" Keringat mengalir deras dari wajahnya.

"Kuharap kamu tidak memaksakan diri, aku tak sedang menginginkanmu jatuh sakit."

Bagaimanapun ucapan yang keluar dari mulut Amartya, Naema tetap bersikeras tinggal di gerbang Sfyra. Kini mereka hendak menunggu 3 perwakilan lagi, yaitu Genka, para musisi dan Tanduk Putih. Genka datang tak lama setelah itu, tak banyak hal untuk diceritakan, intinya mereka akan mengirim 999 Waraney ke Sfyra.

Lalu para musisi akan mengirim ke-156 musisi Ratmuju untuk bertempur bersama di Sfyra. Namun Amartya berbicara soal ini bukan perang mereka, jadi para musisi tidak akan terjun langsung ke medan perang, melainkan mereka akan memperkuat pasukan Penempa Bumi dan melemahkan para Ilmuan Langit dengan musik mereka.

Dan yang terakhir adalah Tanduk Putih. Salah seorang perwakilan mereka datang menunggangi harimau putih.

Ia adalah Pandeka kelas tinggi dari keluarga Arimau. Rambut dan matanya dilukis putih platina dan menggemakan cahaya, pandangannya suci dan penuh kehormatan, serta pakaiannya merupakan drill yang begitu bersih dan rapih, yang seakan mengeluarkan semacam aura yang begitu agung.

Pria itu pun turun dari harimaunya dan menyapa Amartya.

"Semoga keselamatan terlimpah padamu, Tuan Amartya." Pria suci itu berlutut dan merundukkan pandangannya.

"Se-semoga keselamatan juga terlimpah padamu." Amartya mulai merasa minder karena ini kedua kalinya seseorang harus menurunkan badannya agar bisa bicara sejajar atau lebih rendah dari dirinya. (Tinggi Pandeka itu lebih dari 2,5 meter).

"Saya, atas nama Tanduk Putih, datang untuk memenuhi panggilan suci Anda, khalayak agung, Tuan Ardiansyah. Dan atas nama Sang Pencipta, kami akan bertarung berdampingan dengan Anda, demi Penguasa Daratan dan Pohon Kehidupan."

"Senang tahu kalian ada di sampingku, Pandeka." Amartya kembali meluruskan sikapnya.

"Sekarang mari bicara pasukan, apa kalian sudah memutuskan untuk mengirim siapa?"

"Tentu saja tuan, kami akan mengirim para Pandeka dari keluarga Kuciang dan Arimau, perlukah saya menjelaskan mengenai mereka."

"Silahkan."

"Dimengerti. Kita mulai dari keluarga Kuciang, mereka tak lain bernamakan kelincahan, terlahir untuk menari bersama angin, gesit dan mematikan, dengan kuku tajam sebagai senjata, mereka menghabisi lawan lebih cepat dari kedipan mata."

"Keluarga Arimau?"

"Keluarga Arimau, darah dagingku, kami terlahir liar dan ganas, menjaga perdamaian Mitralhassa bersama para harimau putih dengan Karambiak sebagai senjata, kami adalah kavaleri terkuat di Daratan."

*!?*

Tubuh Naema mengernyit mendengar kata kavaleri.

"Ada yang ingin kamu tanyakan, adinda?" Amartya menyadari ketertarikan gadis itu.

"Sejujurnya iya, aku membaca banyak hal tentang kekuatan kavaleri di Buana Yang Telah Sirna, dan hanya keluarga Arimau yang menjadi satu-satunya kavaleri kita, mengapa kita tidak memakai lebih banyak kavaleri, kakanda?" Jika aku boleh jujur, itu pertanyaan yang teramat bagus.

"Aku akan menjawabnya nanti. Baiklah, Pandeka. Terima kasih atas kedatanganmu, Raja Alam menunggumu di istananya, kuharap kamu cepat mendatanginya."

"Terima kasih, Tuan Amartya." Pandeka itu pun memberi penghormatan kepada keduanya, kemudian berdiri dan undur diri. Ia membawa harimaunya masuk ke dalam Sfyra.

"Sekarang untuk pertanyaanmu, adinda. Tentu saja kavaleri merupakan pasukan yang luar biasa bagus, justru malah terlalu bagus, aku yakin kita akan bertemu dengan mereka berada di barisan musuh. Tetapi untuk Penempa Bumi agak sedikit berbeda."

"Berbeda bagaimana?"

"Pertama, kuda di daratan tidak dilatih untuk berperang, melainkan hanya sebagai kurir tanpa awak."

"Aku akan tebak hewan lain juga tidak dilatih untuk perang, lalu strategi apa yang akan kita gunakan untuk menggantikan kavaleri?"

"Hhh... kamu lihat saja nanti…" Amartya menyeringai kian kasarnya.

"Sekarang kita temui Ester dan beritahu dia kalau Vhisawi sudah siap untuk membantu menetralisir putra putrinya, lalu kita pulang."

Naema mengangguk.

Mereka pun pergi menemui Ester di Istana Raja Alam. Kini hanya tinggal menunggu hari ketika para pasukan akan berdatangan memenuhi benteng Sfyra.

Siguiente capítulo