webnovel

Anak Panah Perak

=Ami POV=

Aku berjalan bersama Kristo menuju pohon besar tempat kami beristirahat, benar saja disana telah ada Sing dan Bang Athan yang sedang menyalakan api dan membakar daging kelinci.

Pria bermata indah yang wujudnya sangat sama dengan yang kulihat saat memetik buah berry itu tampak lebih aktif, dan auranya pun tidak asing bagiku. Dia sedang menyiapkan beberapa lembar daun yang akan kami gunakan untuk alas makan. Bekas arang terpoles rapi di wajahnya yang sama sekali tidak mengubah ketampananannya.

Aku masih mengamatinya, seketika aku menggidik. Ku rasa aku baru saja bertemu dengan sosok makhluk penjaga hutan yang menyerupai ketua timku.

Kelinci gemuk sangat menggoda saat aromanya tercium oleh inderaku. Perut kami menjadi sangat lapar dan segera melahapnya hingga tak bersisa saat dagingnya telah benar-benar masak.

Tekstur kenyal dan manis daging kelinci yang menjadi sarapan terbaik yang pernah ku makan selama berada di tempat ini. Walau dimasak dengan seadanya, tetapi ini benar-benar sangat nikmat terlebih ku dampingi dengan buah berry hutan merah kesukaanku. Ah, hari ini benar-benar menyenangkan.

Sesekali Sing berceletuk memberikan candaan garing untuk kami, aku hanya tertawa sekenanya karena sedikit sulit jika harus mengunyah sambil tertawa. Kristo hampir tidak memakan potongan daging terakhirnya karena dia lelah tertawa karena Sing yang tak kami duga sangat lucu. Sementara bang Athan, dia tidak begitu bersuara tetapi tawanya terdengar renyah dan dia bahkan menarik kedua ujung bibirnya hingga lebar menampakkaan deret giginya yang rapi.

Manik matanya tertangkap pandanganku, benar-benar indah. Ah aku sekarang harus kembali fokus dengan makanan lezat di hadapanku.

"Wah aku tidak menyangka Athan bisa tertawa, ku kira kamu hanya bisa diam dan memasang tampang menyebalkan," ujar Sing terkekeh.

"Hey, aku juga sama dengan kalian yang memiliki banyak ekspresi hanya saja aku terlalu pemilih untuk kapan menampakkannya," sahut ketua tim dengan kembali memasang wajah wibawanya.

"Ah benar juga, dia berasal dari golongan elit memang sangat berbeda dengan kita," sambung Kristo.

Kami seperti sedang dalam penginapan untuk liburan kini, benar-benar tidak ada perasaan khawatir atas kemenangan atau kekalahan apapun.

Masih dengan keadaan hati yang senang dan perut yang kenyang, kami berempat kembali melanjutkan misi untuk menemukan pedang emas.

Kami terus berjalan dengan senjata di tangan masing-masing, siap untuk menyerang apapun yang menghalangi langkah kami untuk menang. Yah kurang lebihnya begitu tadi yang dikatakan ketua tim sebelum kami mulai berjalan.

Bang Athan menghentikan langkahnya diikuti oleh Sing yang langsung mengerucutkan bibirnya tanda tak suka akan sesuatu. Kristo melihat sekitar dengan seksama, dia mulai mendekati semak-semak yang sepertinya juga menjadi sumber dari aroma yang membuat Sing tak suka.

Bruk!

Kami dikagetkan dengan jatuhnya sosok mayat seorang Anak Anggota yang berada di balik semak yang tadi disibakkan oleh Kristo.

Wajah mayat itu membiru dengan beberapa luka bekas sabetan pedang di wajah dan lengan juga sebuah anak panah yang tertancap tepat di jantungnya. Kami memperkirakan pertarungannya adalah sekitar tiga hari yang lalu.

Kristo mengamati anak panahnya, perak, berbeda dari milik kami.

Seketika aku ingat kalau anak panah itu sama persis dengan yang sebelumnya kami lihat saat pertarungan di hari pertama kami masuk hutan.

"Siapa mereka?" begitu pertanyaan yang tidak sengaja kami ucapkan bersamaan.

Anak panah itu sama sekali belum pernah ku lihat sebelumnya, bahkan di gudang senjata aku tidak menemukannya. Aku mulai berfikir kalau pemiliknya adalah tim yang bukan berasal dari Anak Anggota manapun. Semakin kami berjalan maju, kami menemukan mayat Anak Anggota yang lain dengan kasus sama yaitu anak panah tertancap pada jantungnya.

"Hanya tiga?" gumam Kristo yang langsung kumengerti karena dia sedang menghitung jumlah Anak Anggota yang tewas.

Aku tidak begitu fokus dengan itu, aku malah fokus dengan kejituan lawan mereka yang selalu memanah tepat pada jantung, bagian vital yang tidak akan memberi kesempatan bagi siapapun untuk hidup.

Pandanganku sedikit teralih pada bang Athan yang juga mengamati mayat para Anak Anggota.

"Apa kamu mengenal mereka?" tanyaku yang membuyarkan lamunannya.

"Tidak," jawabnya singkat.

"Bukan mayat-mayat itu, tetapi pemilik anak panah perak. Apa kamu mengetahui siapa mereka?" pertanyaanku kali ini serius. Pria itu menolehku dengan mantap, pandangannya dingin seperti biasa.

"Apa menurutmu aku mengetahui semua yang ada di tempat ini?"

Sedikit kumiringkan kepalaku saat mendengar pertanyaannya.

Dia mendengkus kasar, "Aku belum pernah melihat anak panah perak itu sebelumnya."

Aku masih memandanginya dengan penuh rasa penasaran, entah kenapa aku merasa dia mengetahui sesuatu mengenai anak panah itu.

"Aku pernah mempunya anak panah emas dari ayahku yang katanya adalah milik leluhur dan sudah langka, tetapi itu pun sudah hilang. Untuk yang berwarna perak, aku benar-benar belum pernah melihatnya, tolong percayalah," ujarnya masih membalas tatapanku.

"Hemm … aku hanya penasaran," sahutku singkat. Aku segera bergabung dengan Sing dan Kristo yang masih menganalisa pertarungan yang di alami para Anak Anggota yang tewas.

"Mereka berkuda, kurasa." Kristo mengamati jejak di tanah yang tidak tampak seperti kaki manusia.

Ku kernyitkan dahi sedikit, aku hanya ingat kalau Anak Anggota pasukan D lah yang pernah berlatih kuda. Ge bilang berkuda sangat menyenangkan. Tapi, apakah mungkin mereka yang melakukan penyerangan dengan berkuda?

"Ayo! Kita harus segera mendapatkan pedang kemenangan sebelum tiga tim menemukannya terlebihdulu." Athan kembali memimpin langkah kami menuju hutan bagian yang lain.

Suara kicau burung parkit yang bersahutan terdengar merdu dari kejauhan dengan sesekali terdengar pula suara burung Kukabura Biru yang langka. Angin ringan mulai berhembus menyapa lembut tubuh kami yang sudah mulai berpeluh.

"Argh!" teriak Kristo yang spontan membuat kami menoleh dengan siaga.

Pada betis kanan Kristo tertancap sebuah anak panah yang kami yakini itu adalah milik Anak Anggota karena bentuknya sama dengan milik kami.

Kami segera pasang badan dan waspada dengan sekitar. Athan telah mencabut pedangnya, arah pandangannya mengelilingi sekitar dengan mulus dan tajam. Aku telah menyiapkan anak panah pada busur, saat mendengar suara lirih segera ku lepaskan.

Benar saja, di balik semak, di atas pohon dengan dahan lindung, ada tim lain yang tampaknya dari kelompok D. Bidikanku meleset, tetapi setidaknya berhasil menggores bagian pipi salah satu anggota tim mereka.

Empat pria berbadan besar muncul dari balik semak dan menyerang kami bertubi-tubi. Aku kembali mengandalkan tendangan kaki kiri dan pukulan tangan kananku dengan sesekali melepas anak panah ke arah mereka.

Di luar dugaan, mereka jauh lebih gesit dari yang ku bayangkan. Dari sekian anak panah yang ku lepaskan, tidak ada satupun yang mengenai tubuh mereka. Sial, aku tidak beruntung.

Ku lirik sedikit Kristo yang bangun dan melawan salah satu lawan dengan sedikit tertatih, ku rasa dia baru saja mencabut anak panah di betisnya dengan paksa hingga dia bertarung sekaligus menahan nyeri yang luar biasa.

***

Siguiente capítulo