Edward menatap kebersamaan Luna dengan Ethan dari atas balkon kamarnya. "Apà kamu sudah mencintainya? semudah itu, kamu pikir aku senang hidup dengan sandiwara cinta ini, aku akan mendapatkanmu kembali Luna. apapun caranya." Edward mengepalkan tangannya dengan amarah yang menguasai hatinya.
Dia bersikap egois dengan menyalahkan Luna. padahal dia yang jelas-jelas terlebih dahulu menyakiti Luna.
"Edward ... Edward!" panggil Viona dari dalam kamar.
Edward tidak menjawabnya karena masih fokus mengamati. Viona pun menghampiri Edward yang masih berdiri di balkon menatap sepasang suami istri di halamam rumah.
"Mereka tidak jadi pulang bersama kita?" tanya Viona yang ikut menatapi Ethan dan Luna.
"Mungkin tidak, nyatanya mereka santai. Ethan juga tidak bilang padaku jika tidak pulang hari ini, menyebalkan sekali dia," jawab Edward dengan ketus lalu kembali masuk ke kamar.
'Apa masalahnya jika Ethan tidak jadi pulang? Kenapa Edward sangat marah, aku jadi makin penasaran.' batin Viona sembari masuk ke kamar menyusul Edward.
Mereka berdua segera bersiap untuk berangkat ke airport, karena jadwal penerbangan mereka pagi ini juga.
***
Ethan bersama Luna berjalan keliling rumah tanpa memakai alas kaki, itu sesuai anjuran Dina, katanya itu baik untuk wanita hamil.
"Geli, Aku tidak biasa nyeker begini," ucap Luna saat berjalan tanpa alas kaki. Dia meringis saat menginjak kerikil-kerikil di taman dekat rumah.
"Tapi itu baik untuk kesehatan, harus bisa. Nanti lama-lama akan terbiasa," balas Ethan sembari terus berjalan pelan mendampingi Luna.
"Memangnya kamu tidak geli?" tanya Luna, sesekali dia menoleh menatap suaminya yang dia sadari ketampanannya semakin bertambah saat brewoknya dicukur.
"Tidak, aku sudah biasa. Aku bahkan bisa lari tanpa pakai alas kaki di aspal atau tanah berkerikil," jawab Ethan sembari melempar senyumnya pada Luna.
Luna membalas senyum Ethan dan tiba-tiba ingin melihatnya berlari tanpa memakai alas kaki. "Berlarilah, aku ingin lihat!"
"Oke, siapa takut?" sahut Ethan dengan percaya diri.
Luna segera mendudukkan dirinya di kursi yang ada di taman itu sedangkan Ethan mengambil posisi untuk lari.
Ethan berlari dengan kencang menuju ujung taman pekarangan rumah, lalu kembali lagi berlari ke posisi awal di dekat Luna.
Luna tersenyum melihat suaminya yang mau saja menuruti kemauannya. "Kamu bahkan tidak pernah marah meski aku selalu memancing amarahmu, membuatmu kesal. Memang kamu pria yang baik, harusnya aku bersyukur memilikimu sebagai suami, dan berhenti memikirkan Edward," gumam Luna.
Ethan menghampiri Luna dengan tampak tersengal-sengal karena sudah berlari dengan cepat.
"Minum dulu," seru Luna sembari menyodorkan sebotol air putih yang sengaja dia bawa.
"Makasih," balas Ethan kemudian meraih botol itu dan segera meminumnya.
Luna mengamati wajah Ethan yang mulai berkeringat, secara refleks dia menyeka keringat Ethan dengan blazer-nya yang sudah ia lepas karena gerah.
Ethan tersenyum melihat Luna memberinya perhatian. Ini adalah kemajuan yang membuatnya semakin merasa memiliki harapan.
"Langsung keringetan," gumam Luna sembari mengusap wajah suaminya itu.
"Pria umumnya seperti itu." Ethan melirik Luna yang juga berkeringat pada bagian kening dan pelipis.
"Kamu juga tampak gerah, sebaiknya kita masuk. Disini mulai panas," ajak Ethan, karena merasa gerah, lapar dan sinar matahari mulai menyengat.
"Sinar matahari saat pagi begini kan sehat," ucap Luna.
"hmm iya. tapi aku lapar, waktunya sarapan," balas Ethan sembari beranjak dari duduknya.
"Eh iya. Bayi kita juga perlu makanan yang bergizi kan?" Luna meraih tangan Ethan dan beranjak dari duduknya. Ethan segera mengajak Luna masuk kerumah.
___
Edward dan Viona berjalan menuju halaman, mereka hendak ke bandara di antar oleh supir.
"Mau berangkat sekarang?" tanya Ethan saat berpapasan dengan Edward.
"Iya, aku banyak urusan pekerjaan," jawab Edward dengan tatapan tidak senang, sedangkan Viona sesekali tersenyum menatap Luna, dia sedang mencoba untuk ramah pada wanita yang dicurigainya memiliki hubungan masalalu dengan suaminya itu.
"Yasudah, hati-hati!" seru Ethan lalu mengajak Luna lanjut berjalan masuk rumah.
Edward memasuki mobil bersama Viona. Dia terus diam dengan raut wajah yang masam.
"Kamu kenapa, kenapa seperti orang marah?" Tanya Viona sembari memperhatikan wajah Edward.
"Tidak, aku hanya sedang bad mood saja," jawab Edward tanpa menatap istrinya.
"Bad mood kenapa?" tanya Viona lagi.
"Tidak apa-apa, tidak penting." Jawab Edward.
Viona menghela napasnya. Merasa Edward menyembunyikan sesuatu darinya.Viona memilih untuk diam dan akan mencari sendiri fakta yang belum dia dapatkan. Perubahan Edward setelah Ethan menikah sangatlah menonjol.
---
"Dari mana kalian?" tanya Alexa saat melihat Ethan dan Luna memasuki ruang makan.
"Jalan pagi," jawab Luna sembari mengambil roti di meja.
"Nah ... enakan tiduran di kamar," gumam Alexa sembari menatap Ethan yang tampak berkeringat. "Kamu bau, mandi dulu sana, baru sarapan!" seru Alexa.
"Aku lapar, tidak baik menunda sarapan. Jika nanti sakit, akan merepotkan," balas Ethan sembari melirik sinis sepupunya yang cerewet itu.
"Makan roti dulu, setelah mandi kita sarapan di luar saja," ucap Luna sembari menyodorkan roti tawar yang sudah dia olesi dengan selai coklat dan kacang, rasa favoritnya dia berikan pada suaminya.
Ethan mengangguk setuju lalu mengambil roti itu. Luna bergegas ke kamar sembari memakan rotinya.
Alexa mengerucutkan bibirnya melihat Ethan dan Luna. Dia merasa ingin punya pasangan juga. Selalu begitu saat melihat kebersamaan suami istri yang akur dengan paras yang serasi.
"Makanya cepatlah menikah, biar tidak iri melihatku di perhatikan istri," sindir Ethan. Padahal baru kali ini Luna nampak memberinya perhatian.
"Carikan jodoh yang baik dong. Aku selalu salah memilih selama ini," balas Alexa, ia merutuki dirinya yang selalu mendapat kekasih berandalan yang suka selingkuh.
"Iya, aku akan carikan." Ethan beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur. Dia membuatkan susu untuk Luna. Itulah rutinitasnya selama istrinya itu hamil.
Di dapur itu ads Dina bersama Maura dan satu asisten rumah tangga sedang memasak untuk sarapan. Maura tersenyum melihat Ethan sedang membuat susu untuk Luna.
"Wah, Calon sugar daddy," ledek Maura, membuat Ethan merona malu padanya.
"haha ...sugar daddy ...ada-ada saja kamu Ra," timpal Dina sedikit terkekeh.
"Jarang-jarang ada pria yang mau buatin susu rutin setiap hari untuk istrinya. Doni saja tidak pernah begitu." Maura mengingat saat dirinya mengandung Alexa, suaminya malas membuatkannya susu.
"Kalau aku tidak buatkan, dia tidak akan minum susu. Luna tidak terlalu suka," ucap Ethan sembari mengaduk-aduk susu dalam gelasnya yang tidak terlalu besar.
"Iya, awalnya tidak terima kehamilannya. Apa sekarang sudah ada kemajuan?" tanya Maura.
"Sepertinya dia sudah menerima kehamilannya, bahkan aku memiliki peluang juga," jawab Ethan deñgan tersenyum penuh keyakinan.
"Memang mestinya seperti itu. Mama ingin kalian menjadi suami isteri seumur hidup, jangan berpisah, kasian anak-anak kalian nanti," timpal Dina yang menaruh harapan besar juga untuk rumah tangga Ethan.
"Doakan saja, Ma, semoga dia perlahan menerimaku. Yasudah aku ke kamar dulu," pamit Ethan. Dia segera berjalan ke kamar sembari membawa segelas susu rasa caramel. Itu Varian rasa yang dibelikan Dina. Semoga saja Luna tidak banyak protes dan malah menyukai rasa itu.