webnovel

Sesak

"Mbak, Mbak, bangun. Filmnya udah habis."

Mataku langsung terbuka dan terperanjat. Celingukan ke kiri dan ke kanan. Sepi tidak ada siapa-siapa. Astaga, aku ketiduran saat menonton film tadi. Ku tengok pergelangan tanganku, sudah pukul lima sore. Tapi by the way, yang membangunkan aku tadi orang bukan ya? Mataku melotot dan buru-buru ke luar dari studio.

Seraya berjalan cepat meninggalkan bioskop, aku merogoh tas mencari ponsel. Aku harus menghubungi Satria. Sudah lama aku keluar, mereka pasti sudah selesai pertemuan. Satria bisa cemas kalau aku tidak ada. Sial! Baterenya habis, gimana aku bisa lupa mengisi daya?

Aku bergegas keluar gedung mall, menyeberangi jalan dan kembali ke hotel. Ketika aku sampai di ruang pertemuan, tempat itu kosong. Meeting sudah kelar. Lalu Satria dan Ruben kemana? Apa mereka sudah kembali ke bandara dan naik pesawat? Aku ditinggal? Ya Tuhan, tega sekali.

"Rea!"

Teriakan itu menghentikan sejenak kegalauanku. Aku menoleh dan mendapati Satria berdiri tidak jauh dariku. Dia berjalan mendekat dengan wajah yang sama sekali tidak bersahabat. Apa dia marah?

"Kamu dari mana aja? Bukannya aku sudah bilang jangan pergi jauh-jauh!"

Aku menelan ludah gugup, Satria beneran marah lagi. "A-aku--"

"Kalau tau begini, kamu mendingan tidak usah ikut tadi. Menyusahkan. Gara-gara kamu kita ketinggalan pesawat."

"Bang, maaf aku tadi ketiduran saat sedang menonton film, aku-"

"Kamu itu kenapa? Kenapa akhir-akhir ini membuatku kesal terus? Hah?!"

"Bang, aku--"

"Sudahlah, Satria. Jangan marahi dia terus, kasihan."

Aku kontan menoleh mendengar suara mendayu-dayu yang tiba-tiba saja muncul. Mataku membulat, wanita itu...wanita yang aku lihat di Makassar. Dia ada di sini juga!

Wanita cantik itu mendekati kami. Lalu jari-jarinya yang panjang menyentuh bahu Satria. "Kalau kalian ketinggalan pesawatnya, kalian bisa tinggal di sini malam ini. Jangan mempersulit keadaan."

Satria masih menatapku tajam. "Dengar, Rea. Ini pertama dan terakhir kalinya kamu mengikuti perjalanan bisnisku."

Aku mengabaikan apa yang Satria katakan, fokusku sekarang adalah pada jari-jari yang menempel di bahu Satria. Aku bisa melihat gerakannya yang perlahan meremas. Darahku rasanya mendidih.

"Ruben! Antarkan Rea ke kamarnya. Malam ini terpaksa kita menginap di sini," perintah Satria pada Ruben yang berada tak jauh di belakangnya.

"Nah, gitu dong. Lagi pula ada aku di sini. Aku bisa menemanimu malam ini."

Sumpah, aku jijik mendengar omongan wanita itu. Apa dia tidak tahu siapa yang berdiri di hadapannya sekarang? Tanganku mengepal erat di kedua sisi tubuhku. Rasanya ingin kutarik saja rambut panjangnya itu.

"Mari, Bu Rea, saya antar," Ruben bersiap mengantarku.

"Apa tidak ada penerbangan petang, Ruben?" tanyaku.

"Itu... Saya belum mengeceknya, Bu."

"Coba kamu cek sekarang."

"Baik,Bu." Ruben lalu membuka tabletnya.

"Rea, buat apa? Aku sudah check-in untuk malam ini." Lagi aku mengabaikan ucapan Satria.

"Ada, Bu. Penerbangan pukul tujuh, tapi kelas ekonomi," ujar Ruben.

"Pesan, kita akan pulang petang ini."

"Tapi, Bu, kita--"

"Saya bilang pesan," tekanku tidak ingin dibantah.

"Rea, kamu ini apa-apaan sih? Aku sudah memutuskan kita akan pulang besok." Satria maju mendekat.

"Masih ada penerbangan malam, tidak ada alasan untuk tetap tinggal."

"Kamu dengar tidak sih, aku sudah pesan kamar. Dan kamu bilang mau pesan tiket, kelas ekonomi lagi."

"Yang penting ada pesawat dan malam ini kita bisa kembali ke Jakarta."

"Kamu--, astaga.... Keras kepala sekali."

"Yang keras kepala itu kamu. Kalau masih ada pesawat. kenapa mesti pulang besok? Atau kamu memang masih ingin berlama-lama di sini?" Aku merapat maju. "Sudah tidak tahan ya, untuk tidur dengan perempuan itu?" lanjutku kesal.

"Rea!"

Aku membalikkan badan, memunggunginya. "Terserah kamu sih, Bang, kalau masih mau di sini . Kalau aku akan tetap pulang. Ruben, antar aku ke bandara sekarang. Aku tidak mau ketinggalan pesawat lagi."

"Ba-baik,Bu."

Aku melangkah menuju pintu lift berniat turun dari hotel.

"Rea!" Suara Satria menggelegar. Dan tidak lama dari itu, sebuah cekalan menekan keras pergelangan tanganku.

"Kamu tidak mendengarkan aku? Kita akan pulang besok, aku sudah pesan tiket buat besok."

Aku mencoba melepas cekalannya. "Aku nggak mau! Aku mau pulang sekarang. Kalau kamu masih mau bersenang-senang dengan perempuan itu, silahkan. Aku nggak melarang."

"Kamu bicara apa?"

Aku bicara yang sebenarnya. Tujuan awalku untuk menempel pada Satria seperti lintah sudah tidak ingin aku lanjutkan lagi, setelah melihat secara langsung bagaimana wanita itu dengan mudah menyentuh tubuh Satria dengan kata-katanya yang menjijikan tepat di depan mataku.

"Aku bicara benar. Di Makassar, Bali, lalu sekarang di sini. Kenapa kamu nggak membawanya menghadap Kakek dan menikah dengannya saja? Kamu bisa memberi kakek cucu darinya. Kamu nggak perlu repot-repot membujukku sampai harus pura-pura bersikap manis padaku."

Aku mengucapkan itu dengan dada yang teramat nyeri. Bisa kulihat kilat marah di mata Satria. Perlahan tapi pasti, cekalan tangannya terlepas.

"Oh, jadi begitu pemikiranmu padaku? Ya sudah, silahkan kalau mau pulang. Terserah."

Setelah mengucapkan itu, Satria beranjak menjauhiku.

"Ruben, antar dia ke bandara," perintahnya sambil lalu kemudian terus melangkah, dan aku bisa melihat perempuan itu mengikutinya.

Aku masuk ke dalam lift dengan Ruben yang menyertaiku. Rasanya sangat sesak. Aku tidak tahan lagi untuk tidak menangis. Satria jahat sekali. Bahkan dia lebih memilih bersama wanita itu daripada pulang bersamaku. Kalau memang dia, sudah punya pacar kenapa mau saja saat dijodohkan?

***

Aku mencoba sekuat tenaga menghadapi rasa takutku saat naik pesawat seorang diri. Pramugari sedang memperagakan safety procedures. Telapak tangan dan kakiku kurasakan mulai dingin. Aku gugup dengan keringat yang mulai membanjiri dahi dan leher. Penerbangan malam hari menjadikan ketakutanku bertambah berkali-kali lipat. Mungkin sekarang wajahku juga sudah memucat.

"Mama, Papa, tolong, Rea. Rea nggak mau mati di dalam sini," gumamku dengan bibir gemetar. Aku menaikkan kedua kakiku keatas kursi dan memeluknya. Kepala aku tenggelamkan di atas kedua lutut. Air mataku sudah bercucuran. Aku benar-benar merasa ketakutan sekarang. Ya Tuhan, sekali ini saja tolong aku, biarkan aku melewati perjalanan ini dengan selamat.

Kepanikan dan rasa takut semakin membuat tubuhku bergetar. Air mataku terus bercucuran tanpa henti. Rasanya malaikat pencabut nyawa sudah semakin dekat saja. Di sela-sela rasa takut yang berlebihan ini, kurasakan sebuah tangan menyentuh kepalaku.

Perlahan aku mengangkat kepala. Aku bisa melihat Satria sudah berada di dekatku.

"Bang Satria...."

Tanpa mengucapkan apa pun, dia menarikku dalam pelukannya. Aku menangis dalam dekapannya. Kupikir dia sudah tidak peduli lagi. Aku kira dia akan membiarkanku sendiri di sini. Tangan Satria mengusap lengan dan kakiku, memberikan kehangatan. Kemudian dengan masih memelukku erat, buku-buku jarinya menyelinap di jemariku. Rasa tenang seketika menjalari tubuhku.

PS. Halaooo jumpa lagi....

Masih ada yang belum masukin novel ini ke Rak? Cuss masukin dan aku tunggu lima bintangmu sekaligus Reviewnya...

Jangan lupa ya tinggalkan sandalmu di sini. Biar Rea Satria on terus.

See you soon. Mmmuuuach!

Siguiente capítulo