Salah satu hotel milik Kakek itu berada di pusat kota. Gedung tinggi menjulang berlantai 52 dan memiliki 25 elevator. Wow banget nggak sih? Aku baru tahu ternyata gedung tinggi yang kalau malam hari lampu-lampunya terlihat indah itu milik Kakek.
Aku diperkenalkan Andra ke manajemen hotel. Seluruh manajer dari semua departemen dikumpulkan, lengkap dengan general manajernya serta direktur.
"Nona cantik ini adalah menantu di keluarga Wijaya. Namanya Nona Rea, tepatnya istri dari Pak Satria. Semua saya rasa sudah mengenalnya kecuali yang tidak hadir pada pernikahan mereka." Andra mengenalkanku di depan jajaran manajemen hotel. Aku segera berdiri dan mengenalkan diri sendiri.
"Saya Rea, maaf jika suatu waktu kita ketemu tapi aku tidak mengenali Bapak dan Ibu di sini. Colek saya saja ya, jangan malu-malu, santai saja. Saya ini anak muda yang ingatannya payah."
Semua saling berpandangan ketika aku memperkenalkan diri. Apa ada yang salah? Padahal aku mengenalkan diri dengan gaya sesantai mungkin. Gimana enggak? Muka orang-orang di hadapanku itu terlihat tegang macam sedang bertatap muka dengan hantu. Aku sedikit tersinggung dong. Padahal dandananku sudah maksimal.
Setelah itu, mereka satu-satu memperkenalkan diri beserta jabatan mereka. Sepertinya aku nggak akan hapal semua deh. Kalau bertemu dilingkup hotel mungkin aku akan tahu siapa mereka. Karena masing-masing mengenakan name tag plus jabatan yang ditampu.
Setelah perkenalan, General Manajer membawa aku dan Andra ber-tour keliling hotel. Aku paling suka saat berada di departemen food and beverages. Tentu saja, makanan di sana terlihat sangat lezat-lezat. Tampilannya sangat menggugah selera.
Akhirnya, aku memutuskan makan siang di restoran hotel.
"Wah, Pak Alif kalau saya bekerja di sini, bakalan laper terus disuguhi pemandangan makanan yang lezat-lezat ini."
Pak Alif itu GM yang menemani kami tour hotel. Lelaki setengah baya itu terkekeh.
"Bu Rea, bisa saja. Di Mansion Pak Wijaya juga menunya tak kalah enak dengan restoran hotel kan?"
"Iya sih, Pak. Cuma beda tempat doang."
"Apa perlu koki sini kita bawa ke mansion?" tanya Andra.
"Terus yang masak di sini siapa?"
"Kamu mungkin."
"Boleh saja sih kalau restoran ini nggak takut bangkrut karena dipegang koki seperti aku."
Tour dan makan siang kali ini beneran menyenangkan. Rata-rata pegawai hotel juga ramah-ramah. Aku harap bukan hanya padaku dan Andra mereka bersikap begitu, pada tamu yang lain juga harus seramah ini.
Ketika berada pada suapan terakhir, tiba-tiba pikiranku mengingat Satria. Ini sudah jam makan siang, mungkinkah dia sudah kembali dari Bali?
"Andra, apa Bang Satria sudah pulang lagi ke Jakarta?"
Andra menengok arloji di tangannya. "Harusnya sih udah. Coba kamu telepon saja."
Aku mengangguk, terlebih mendadak perasaanku tidak enak. "Aku permisi dulu."
Aku segera menyingkir, mencari tempat yang tidak terlalu ramai. Mengeluarkan ponsel dan mencari kontak Satria. Panggilannya sih nyambung. Tapi tidak diangkat. Aku mencoba menghubungi lagi. Tetep tidak diangkat. Sebenarnya Satria kemana? Perasaanku semakin merasa tidak nyaman. Aku berharap dia baik-baik saja. Sekali lagi aku mencoba hubungi. Pada deringan ketiga baru diangkat.
"Halo, Bang! Kamu udah balik ke Jakarta belum?" tanyaku langsung. Tidak ada jawaban. Hening untuk beberapa saat.
"Halo, Bang. Kamu baik-baik aja kan?" Apa dia tidak tahu aku mengkhawatirkannya?
"Satria masih di Bali. Maaf, ini siapa?"
Suara yang terdengar dari sebrang sana membuat jantungku berhenti berdetak. Itu bukan suara milik Satria. Tapi suara seorang perempuan. Siapa? Kenapa ponsel Satria bisa berada padanya? Dan perempuan itu bilang, Satria masih berada di Bali. Tampaknya aku salah mencemaskan keadaan Satria. Mungkin saja mereka memang sedang jalan bersama. Satria dengan perempuan di telepon itu.
"Halo... Ini siapa?"
Suara perempuan itu mendayu-dayu. Aku tidak tahu ini perasaan apa. Tapi, satu hal dadaku nyeri. Meskipun nggak bisa aku raba, sakitnya begitu terasa. Aku menurunkan ponsel dari telinga, mencari sebuah pegangan agar bisa bersandar. Bukan hanya hatiku yang berdenyut, tapi kepalaku rasanya juga sama.
Apa perempuan itu, perempuan sama dengan yang aku lihat di Makassar? Ah! Gila, yang jelas moodku anjlog seketika hanya karena mendengar suara kenes itu dari ponsel Satria.
"Are you OK?" Aku mendongak. Andra sudah berdiri tidak jauh dari tempatku. Terpaksa aku melempar senyum tipis.
Dia mendekat. "Ada apa? Apa terjadi sesuatu pada Bang Satria?"
Aku menggeleng. "Satria baik-baik saja. Dia masih ada di Bali."
"Benarkah? Pesawatnya harusnya sudah sampai setengah jam lalu. Apa dia memending keberangkatannya?"
Iya, mungkin Satria memang memending penerbangannya demi perempuan itu. Meskipun nggak ingin, tapi nyatanya aku merasa sebal mengetahui kenyataan itu. Aku orang baru dalam hidup Satria dan belum terlalu mengenal sosok Satria sebenarnya, apa lagi masa lalunya. Mungkin saja kan wanita itu lebih dulu masuk di hidup Satria daripada aku.
"Andra, apa kamu tahu wanita yang dekat dengan Satria sebelum mengenalku?"
"Setahuku sih nggak ada. Selama ini dia hanya bersenang-senang dari wanita satu ke wanita lain. Tapi, kalau untuk hal serius sepertinya nggak ada. Terakhir Bang Satria menjalin hubungan serius itu dengan Amanda, dua tahun lalu. Tapi mereka pisah gitu aja, karena Amanda berkarir di Perancis."
Aku mengangguk, meski belum bisa menebak siapa wanita yang saat ini berada di dekat Satria.
"Ada apa? Kenapa bertanya seperti itu?"
"Ah, nggak apa-apa. Hanya tanya saja. Hehe. Ayuk Ndra, kita lanjutkan makan lagi."
Aku mengalihkan pembicaraanku, tidak ingin Andra tahu kegundahan yang aku alami. Aku kembali ke meja yang kini sudah terisi dengan menu dessert.
"Ini adalah dessert paling enak di restoran ini. Bu Rea mesti coba," ujar Pak Alif bangga.
Dari tampilannya memang terlihat enak. Tapi gairahku terhadap makanan saat ini mendadak lenyap. Jadi, untuk menghormati Pak Alif, aku mencoel dessert itu sedikit lalu memakannya.
***
"Aku tahu sudah terjadi sesuatu, Rea. Apa kamu mau bercerita?" tanya Andra ketika kami sudah berada di dalam mobil.
"Terjadi apa sih, Ndra?"
"Kamu mendadak jadi diam. Itu mencurigakan untuk orang yang biasa ceria. Katakan, sebenarnya apa yang sudah Bang Satria lakukan?"
"Dia nggak melakukan apa pun. Sueerr deh, aku nggak bohong."
Andra menghela napas panjang berusaha tetap fokus pada jalanan. "Aku hanya ingin memastikan kalau Bang Satria nggak menyakitimu."
Menyakiti secara fisik sih enggak. Tapi bathinku yang sakit. Aku juga bingung kenapa bisa seperti ini.
"Aku juga bingung, Ndra." Aku menoleh sekilas pada Andra yang masih tampak serius mengamati jalanan kota.
"Apa yang membuat kamu bingung?"
"Tadi saat aku menghubungi Bang Satria, yang ngangkat cewek."
"Apa? Siapa?"
"Aku juga nggak tahu.
Ada kemungkinan mantan Bang Satria bukan ya?"
Andra terlihat berpikir, dan tak lama kemudian, "Bisa jadi."
Dia menjawab pertanyaanku dengan kata-kata singkat yang membuatku ingin menjedotkan kepala ke dashboard mobil saat itu juga.
Ya Tuhan, jadi benar Satria di sana dengan masa lalunya yang mungkin saja belum ia lupakan sepenuhnya? Meskipun itu baru kemungkinan, tapi sungguh itu membuatku risau. Kepalaku jadi mikir yang tidak-tidak. Kira-kira mereka sedang apa di sana? Pantas saja tadi pagi dia tidak mengajakku pergi bersamanya. Pasti karena dia tidak mau aku ganggu.
PS. Aku belum bisa up lebih banyak lagi dari ini. Karena sedang memegang on going di beberapa platform. Semoga nggak kecewa ya teman-teman.
Jangan lupa tinggalkan sandalnya yaa...
Dukungan kalian semua sangat berarti buatku