Aiiish! Ini kah yang namanya kelab? Asli berisik banget. Aroma rokok dan minyak wangi menguar begitu aku masuk di dalamnya. Hingar bingarnya terasa sekali.
Gila nyaris semua wanita di sini tidak memakai pakaian yang sempurna. Rata-rata terbuka. Suara dentuman musik sedikit membuat jantungku ikut berdebar.
"Jangan jauh-jauh dariku," ujar Satria tepat di depan wajahku. Agak sedikit terkejut mendapati Satria bicara terlalu dekat seperti ini. Aku menelan ludah sebelum mengangguk.
Entah dia sadar atau tidak dari sejak pintu masuk tadi, tangannya terus menggandeng tanganku. Dia mengajakku naik ke lantai dua dan melambai pada sekumpulan laki-laki yang sudah ada di sana. Ada sekitar lima orang. Apa itu teman yang Satria maksud?
Mereka ber-high-five begitu kami datang. Tentu saja hanya dengan Satria.
"Wah, cewek baru lagi nih?"
Baru lagi? Apa maksud cowok berponi itu?
Satria tidak menjawab dia hanya tersenyum, lantas menyuruhku duduk. "Kalian minggir, kasih tempat duduk."
"Boleh kenalan gak nih?" cowok berambut coklat maju mendekatiku. Namun tangan besar Satria menghalangi.
"Duduk yang betul saja. Nggak usah banyak tingkah."
Bukannya menuruti perintah Satria, cowok itu malah tertawa diikuti teman-temannya yang lain.
"Astaga, kali ini siapa sih yang lo bawa. Protektif banget. Siapa nama kamu, Cantik?"
Satria memutar bola matanya. "Namanya Rea."
"Gue nggak Nanya lo,Sat."
"Ck, sama saja."
"Dia punya mulut sendiri buat ngejawab."
Satria mengabaikan mereka. Dan menatapku. "Rea, ini teman-temanku. Yang paling banyak bicara ini..." Satria menunjuk si rambut cokelat. "Dia Randi, di sebelahnya Deryl. Yang kemeja biru itu Tony, sebelahnya Riko, dan yang berponi itu Devan."
Mereka melambai kecil saat Satria memperkenalkan satu per satu. Aki hanya tersenyum melihatnya.
"Halo semuanya, aku Rea."
"Halo Rea, kamu mau pesen minum apa?" tanya Randi.
"Jus. Hanya Jus yang boleh Rea minum." Itu jawaban dari Satria.
"Ck, gue nanya Rea."
"Memangnya lo mau nawarin minuman apa?"
"Ya paling nggak vodka lah."
"Awas saja kalau berani."
"Bang, biarin aku nyobain apa yang mereka minum," pintaku.
"Nggak ada. Kamu mau pulang-pulang mabuk? Terus aku digantung raja?"
Aku nyengir. Dan akhirnya Satria beneran hanya memberiku jus. Aku menyaksikan bagaimana teman-teman Satria menikmati minuman itu. Meneguk sedikit saja tidak boleh.
Bahkan saat satu per satu mereka turun, aku tidak diperbolehkan ikut turun ke dance floor. Terus aku di sini hanya jadi patung untuk menyaksikam mereka menari, begitu? Nggak asik sekali, Satria. Belum lagi dia yang sudah seperti satpam mengawasiku.
"Aku mau ke belakang dulu, kamu jangan kemana-mana. Tetep duduk di sini. Awas," peringatnya sebelum beranjak. Sekarang aku bener-bener mengenaskan duduk sendiri di sini. Hingga seorang laki-laki yang nggak aku kenal menghampiriku.
"Hay, Nona. Sendiri aja. Boleh aku temani?"
Kuperhatikan laki-laki itu dari ujung kaki hingga kepala. Sepertinya laki-laki ini sedang mabuk. Duh gimana ini.
Dia menjatuhkan diri di sebelahku, sontak aku mundur.
"Jangan takut, Nona. Namaku James pria paling ganteng di sini. Tidak ada satu pun wanita yang berani menolakku."
Omongan dia ngawur. Sampai teman Satria yang bernama Riko datang dan di susul Randi di belakangnya.
"Pergi lo!" hardik Randi.
"Hey, lo siapa?" laki-laki mabuk itu tak terima.
"Gue cowoknya, mau apa lo?"
"Shit! Pecundang."
"Eh bangsat lo. Pergi sono."
Akhirnya laki-laki itu pergi juga.
"Kamu nggak pa-pa, Rea?" tanya Randi menuntunku duduk kembali. "Riko ambilin dia minum."
"Aku nggak pa-pa."
"Satria mana?"
"Dia tadi pamit ke belakang."
"Oh."
Kulihat Riko kembali membawa dua buah gelas berukuran kecil. Dan menyodorkannya padaku.
"Nih minum."
"Rik, kenapa lo kasih dia itu? Satria bis--"
"Nggak pa-pa. Aku pengin nyoba." Aku buru-buru mengambil gelas di tangan Riko. Dan mencoba meminumnya. Baru satu teguk kuminum rasanya bikin tenggorokanku tercekik. Ini minuman apa? Kenapa orang-orang di sini banyak yang suka?
"Gimana rasanya?" tanya Riko menyeringai.
"Lumayan." Lalu aku menandaskan sisanya membuat dua lelaki di hadapanku berwow-ria. Kepalaku mendadak pusing. Tunggu kenapa jadi seperti ini. Aku menggeleng-gelengkan kepala sebelum bisa melihat wajah Riko kembali jelas. Aku ambil kembali gelas yang ada di tangannya.
"Eh, jangan!"
Terlambat. Isinya sudah habis aku minum. Rasanya aku sangat pusing dan tak berdaya. Tapi ini beneran nikmat. Aku merentangkan tangan.
"Ayo, malam ini kita menari!" teriakku. Manusia di depanku saling pandang tak bereaksi. Karena gemas, aku tarik keduanya menuju dance floor.
Suara musik berdentam-dentam membuatku bersemangat mengikuti iramanya. Aku berjingkrak-jingkrak bersama teman-teman Satria. Tidak pernah aku merasakan sebebas ini sebelumnya. Ini sangat menyenangkan. Tubuhku meliuk-liuk, mengundang decak kagum pada mereka, aku bergerak seperti cacing kepanasan mengikuti musik. Seakan itu belum cukup, aku membuka jaket kulit yang aku pakai, memutar-mutarnya lalu melemparnya entah kemana. Aku bersorak saat melakukan itu. Kini tubuhku hanya berbalut strap dress selutut yang menampilkan bahuku. Suara musik semakin menghentak, aku menarik Randi untuk menjadi pasangan menariku. Dia juga terlihat sangat antusias. Ini keseruan luar biasa yang aku buat.
Aku sedang asik berjoget, saat seseorang menarikku dari belakang dan menyeretku keluar lantai dansa. Satria. Ah dia udah kembali rupanya. Aku memberontak saat dia menyuruhku berhenti menari.
"Ayo pulang."
"Aku nggak mau, Bang. Aku masih ingin menari. Ayo Bang, kita menari."
Tidak seperti kebiasaanku, aku merangkul leher Satria.
"Kamu mabuk, siapa yang memberimu minuman?"
Aku hanya mengerjap-ngerjap lalu terkekeh. Teman-teman Satria yang lain menyusul kami.
"Satria, biarkan Rea menikmati malam ini." Randi terlihat bsrbicara.
"Lo yang bikin dia mabuk?"
"Gue tadi--"
"Gue ngerti apa yang ada di pikiran lo semua. Tapi gue nggak suka bikin Rea kayak gini."
"Ayolah, Sat. Tadi dia hanya meminum sedikit."
"Lalu kalian memanfaatkannya agar bisa menari bersamanya dan menggrayangi tubuhnya?! Berengsek kalian semua."
"Ayolah, Man. Kita hanya have fun." Kali ini Devan bersuara.
"Bang, ayo menari lagi." Aku hampir saja beranjak namun dicekal cepat oleh lengan Satria.
"Kita pulang."
"Aku nggak mau, aku masih mau menari. Randi, Riko! Aku nggak mau pulang." Aku merengek.
"Sat, biarkan dia di sini dulu."
Brukkkh!
Mataku berkedip saat menyaksikan Randi ambruk di hantam pukulan Satria.
"Kalian tau siapa yang kalian bikin mabuk ini. Dia istri gue! Berengseek!"
Aku sempat melihat wajah mereka yang terkaget-kaget sebelum Satria menyeretku paksa keluar dari tempat ini.
Ini menyebalkan, padahal aku baru merasakan kesenangan di sebuah kelab sesungguhnya. Tapi tidak menyangka Satria akan semarah ini sampai memukul Randi. Dia membawaku ke parkir dan segera memasukkanku ke dalam mobilnya.
"Sudah aku duga, kamu akan merepotkan. Baru saja aku tinggal sebentar. Tapi, sudah bikin ulah."
Aku tidak terlalu peduli Satria ngomong apa. Rasanya aku sedang melayang. Aku tersenyum senang saat melihat Satria duduk di kursi kemudi. Dia menunduk ke arahku dan sibuk memasangkan seat belt di tubuhku. Entahlah, wangi yang menguar dari laki-laki itu aku suka. Hingga tanpa sadar aku mengangkat kepala Satria dan menciumnya.