"I-Itu… naga?!" ucap Teo yang tidak percaya melihat mahkluk mitologi itu terbang melewatinya.
Nafasnya terengah-engah karena panik melihat mahkluk itu, ia menunduk dan menatap pistol yang di pegangnya, ia pun teringat kembali perintah dari Letnan Arya untuk mencari tahu tentang hilangnya penduduk kota. Teo mengeratkan giginya dan berkata "Sial… Jika sudah begini, apa aku masih harus mencari mereka?!"
Teo menarik nafas dalam dalam lalu berkata kepada dirinya untuk tenang dan memahami kondisinya sekarang. Ia pun terus berjalan sambil berbicara kepada dirinya sendiri tentang kondisinya sekarang "Saat masuk ke portal, aku pingsan dan terbangun di tempat yang asing. Sepertinya portal itu memang terhubung ke tempat ini. Lalu, tempat ini sepertinya… Bukanlah dunia ku. Yap, mana mungkin di dunia ku ada naga sungguhan, ya maksudku di zaman ku. Ya masa bodo tentang itu. Tapi sekarang, aku harus kemana? Aku juga tidak tahu cara kembali... Hmm…"
Sepanjang ia berjalan, ia pun menemukan sebuah jalan tanah yang menunjukan dua arah. Saat Teo menoleh ke kiri, ia hanya melihat padang rumput yang luas, sedangkan di arah kanan, ia melihat hutan yang lebat lagi.
"Aku tidak mau berurusan dengan hutan, bisa saja ada hewan buas seperti naga itu." ucapnya lalu berjalan ke arah kiri jalan tanah itu, dengan tujuan mengambil jalan yang sedikit bahayanya dan berharap bertemu seseorang.
Saat berjalan cukup jauh, ia akhirnya melihat sekelompok orang, ia cukup senang karena harapannya untuk bertemu seseorang terwujud. Mereka sedang mengelilingi kereta kuda dengan senjata tajam di tangan mereka dan mengarahkan ke orang yang mengenakan pelindung logam di setiap tubuhnya.
"Aku senang bisa bertemu orang lain, tapi… kenapa di situasi seperti ini."
Harapannya yang membuatnya senang pun berubah menjadi waspada. Saat ia berjalan mendekat, salah satu dari mereka menusuk orang yang menggunakan pelindung logam itu, sementara satunya langsung membalas perbuatan mereka dengan menusuk orang mereka juga, namun tusukannya berhasil dihindari dan membuatnya menerima serangan balasan, dadanya pun terkena tebasan dari pedang mereka. Teo luar biasa terkejut ketika melihat orang itu di bunuh "Tidak ada pilihan lain." ucapnya sambil berjalan mendekati mereka lalu melepas peredam suara pada pistolnya itu.
"Sialan!"
"Hahaha. Sekarang menjauh dari kereta kuda itu, atau kau akan bernasib sama seperti teman mu!"
"Tidak akan! Aku tidak akan menjauh dari kereta kuda ini, akan ku lindungi dengan nyawaku!"
"Cih, berlagak seperti pahlawan. Bunuh dia."
Mereka pun tersenyum ngeri sambil memutar-mutar pedang mereka untuk menakuti orang itu. Salah seorang melompat dan mencoba menebasnya. Dengan cepat Teo langsung mengarahkan pistolnya dan…
*Dor!*
Satu tembakan tepat mengenai kepaka orang itu, suara dari pistol itu membuat Teo mendapat perhatian dari mereka semua "Wah tadi itu hampir saja." ucap Teo sambil mengarahkan Pistol ke arah pimpinan mereka.
"Beraninya kau!"
Pimpinan mereka langsung menyerang Teo. Namun, Teo dapat membaca gerakannya, ia menghindar lalu mengarahkan pistolnya ke arah kepala orang itu.
*Dor!*
Mereka yang melihat pimpinannya tewas langsung lari menjauh dengan kuda-kuda mereka. Teo hanya menatapi mereka, ia pun mengambil pedang kecil yang di pegang pemimpinnya itu "(Aku rasa ini akan berguna.)" fikirnya
Saat mendekati orang dengan zirah besi itu, tubuhnya sudah berlumuran darah, nafasnya mulai melemah. Tiba-tiba seorang gadis keluar dari kereta kuda, dia mendekati pria itu dan memegang tangannya "Masih sempat!"
Ia mengarahkan kedua telapak tangannya ke arah luka pria itu, cahaya berwarna hijau muncul di telapak tangannya. Tentu itu membuat Teo terkejut, karena tidak ada lampu di tangan gadis itu, ia mengusap matanya pun cahaya itu tetap ada. Darah yang keluar dari tubuh orang itu pun mulai berhenti keluar, nafasnya kembali normal meskipun saat ini pria itu tidak sadarkan diri. Gadis itu juga menghela nafas lega "Kau akan baik-baik saja, terima kasih." ucapnya kepada orang itu.
Lalu, satu gadis lagi keluar dari kereta kuda, ia berkata "Kakak, bagaimana keadaanya?"
"Dia sudah baik-baik saja, tapi…"
Mereka berdua melihat ke arah pria yang sudah tewas, gadis yang baru keluar itu berkata "Kakak. Itu sudah tugas mereka, jangan bersedih seperti itu."
Ucapannya terdengar sombong dan membuat Teo sedikit jengkel, ia berkata di dalam dirinya "(Gadis itu, dia tidak menghargai nyawa orang lain atau apa?)"
Kakaknya hanya diam saja, ia terlihat menyesal saat melihat pria yang tewas itu. Lalu, mereka melihat ke arah Teo, sang Kakak mendekat ke arah Teo lalu sedikit menunduk dan berkata "Terima kasih sudah menyelamatkan kami."
"A-Ah tidak, tidak masalah." ucap Teo yang terlihat malu-malu karena melihat wajah sang Kakak itu, wajahnya terlihat sangat manis dan juga cantik, terlihat begitu tulus setiap ucapan yang di katakannya.
"Namamu? Siapa namamu?"
"Aku Teo."
"Teo, sekali lagi terima kasih sudah menyelamatkan kami."
Gadis itu melirik ke orang yang tewas di tembak oleh Teo. Dia berkata, kalau mereka adalah bandit yang biasanya merampok benda berharga pedagang yang melintasi jalan ini.
"Begitu."
"Kakak! Kita harus cepat pergi. Kalau tidak bandit-bandit itu bisa kembali lagi. Kau! Kau bisa mengendarai kereta kuda, kan? Kalau begitu cepat!" teriak Adiknya di dalam kereta kuda.
"(Dia itu… Dia terlihat sangat tidak peduli melihat orang yang melindunginya tewas)"
Karena mendengar Adiknya berteriak seperti itu, Gadis di hadapan Teo pun langsung meminta maaf karena Adiknya sudah tidak sopan kepadanya. Adiknya pun kembali berteriak untuk cepat pergi dari tempat ini, karena terpaksa, Teo pun menurutinya untuk menjadi kusir kuda mereka.
"Maafkan Adikku."
"T-Tidak apa-apa. (Yah tidak masalah, lagipula aku harus mencari informasi tentang dunia ini.)"
Sebelum itu, gadis itu meminta Teo untuk membawa ke dua pengawalnya masuk ke dalam kereta kuda, lalu pergi.
"(Untung saja aku pernah berlatih menaiki kuda)" ucap Teo lalu membuat kudanya berjalan. Teo dan kedua gadis dengan kereta kudanya pun pergi ke arah sebaliknya yang artinya mereka akan memasuki hutan yang Teo hindari.
Teo melihat hutan itu kembali, karena merasa khawatir dan tidak tahu apa yang ada di dalam hutan itu, ia pun bertanya kepada mereka "Apa kita akan melewati hutan itu?"
"Ya, karena itu jalan satu-satunya menuju kota." ucap sang Kakak.
"Kota?"
"Kamu tidak tahu?"
"Tidak. S-Sebenarnya saya bukan berasal dari tempat ini."
"Ohh, apa kamu petualang?"
Teo terdiam sebentar, pertanyaan yang membuatnya ragu untuk menjawab, karena ia tidak mungkin akan menjawab kalau dirinya berasal dari portal itu. Ia pun menjawab "I-Iya, begitulah. Aku sebenarnya tersesat."
"Tersesat? Kau itu ceroboh atau bodoh? Petualang macam apa yang bisa tersesat?"
"Tungg–. Celica, itu tidak sopan!"
"(Gadis bernama Celica itu, pasti Adiknya. Sifatnya berlawanan ya.)" ucap Teo dalam dirinya.
Saat memasuki hutan, Teo kembali bertanya "Apa tidak apa-apa? Masuk ke hutan ini?"
"Tenang saja, Teo. Di dalam hutan juga ada Desa, jadi hutan ini aman."
"Aman ya." ucap Teo pelan.
Mereka pun masuk kedalam hutan, suasana hening, hanya terdengar suara daun yang terhembus angin. Teo menoleh ke atas, ia menarik nafas, lalu teringat kembali kejadian 2 tahun lalu. Suaranya terdengar, teriakan itu teredengar kembali,
"-o!"
Amarahnya meluap.
"-eo!"
nafasnya memburu, kejadian kelam itu…
"Teo!"
terbayang kembali di kepalanya.
"Oi bodoh! Kau tuli atau apa!? Kakak ku memanggilmu!" teriakan Celica membuatnya kembali tersadar, ia mengatur kembali nafasnya yang memburu, dan berusaha melupakannya lagi. Ia pun meminta maaf karena tidak mendengar panggilan dari sang Kakak itu "Maaf, aku melamun. Ada apa?"
"Di tengah hutan ada Desa. Berhenti sebentar sana, ya."
"B-Baiklah."
Sudah sangat jauh mereka masuk ke hutan, dan ternyata benar ucapan gadis itu kalau di tengah hutan ini ada sebuah Desa. Di depan gerbang Desa, ada 2 orang yang berjaga, mereka pun di minta untuk berhenti dan menunjukan surat izin. Tentu saja itu membuat Teo kebingungan karena ia sama sekali tidak memiliki surat izin, ia saja tidak tahu kalau itu membutuhka izin. Untungnya, Kakak dari Celica turun dan menunjukan surat izinnya.
Penjaga gerbang itu berkata "Oh nona Cattalina, rupanya itu anda. Silahkan, Anda boleh masuk."
Gadis itu rupanya bernama Cattalina, ia sepertinya di kenal baik oleh penduduk disini, terlihat dari beberapa penduduk juga yang menyapa Cattalina dan terlihat menghormatinya
"(Sepertinya, aku membawa orang penting ya.)" fikir Teo lalu menghela nafas berat "(Seandainya benar, mungkin ia tau tentang portal itu.)"
Lalu, Cattalina meminta berhenti di depan sebuah bangunan yang sepertinya itu sebuah toko, meskipun Teo tidak bisa membaca tulisan apa yabg ada di atas pintu bangunan itu. Hurufnya sangat berbeda dari dunianya, hanya terlihat seperti garis-garis yang menyatu dan membuat bentuk yang aneh.
"(Ternyata benar-benar di dunia lain diriku ini... Oh tunggu, tapi kenapa aku mengerti bahasa mereka?)" ucap Teo yang baru menyadari saat melihat tulisan itu.
"Kakak tunggu saja disini, biar aku saja yang mengurusnya, ya." ucap Celica sambil tersenyum kepada Kakaknya.
Teo melihat senyumnya itu membuat pandangannya sedikit berubah "Senyumnya manis, tapi sifatnya buruk sekali." ucapnya pelan.
"Hah!? Kau berbicara sesuatu?" bentaknya kepada Teo.
"T-Tidak, Saya tidak berbicara apa-apa."
Dia menyipitkan matanya, lalu memalingkan wajahnya dan pergi masuk kedalan bangunan itu. Cattalina tertawa kecil melihat Adiknya itu, lalu ia meminta maaf kepada Teo karena sifatnya itu, Cattalina berkata, meski dirinya seperti itu, sebenarnya dia sangat baik ke orang yang di kenalnya.
"Begitu ya."
Teo melirik Cattalina dan lirikannya itu di sadari oleh Cattalina, Cattalina pun bertanya kepadanya "Ada apa? Apa ada sesuatu di wajah atau rambutku?"
"Tidak, hanya saja Saya penasaran."
"Tentang apa?"
"Orang-orang disini, begitu menghormati mu, apa kamu punya kekuasaan disini?"
Cattalina sedikit terkejut dengan pertanyaan Teo, ia tertawa kecil lalu menjawab pertanyaan Teo "Yaa… Bisa dibilang seperti itu, namun sebenarnya, ini milik keluarga ku."
"Ke…luarga?"
Cattalina mengangguk, ia pun menghadap ke arah Teo lalu mengangkat sedikit gaunnya itu "Aku putri pertama dari keluarga Blouse, Cattalina de Blouse, hutan ini adalah sebenarnya milik keluarga ku, termasuk desa ini juga." ucapnya sambil tersenyum.
"Jadi anda benar-benar orang penting ya."
Dia pun sedikit mendekat lalu meminta maaf lagi kepada Teo, ia berkata "Sekali lagi, aku minta maaf ya. Karena Adikku, kamu menjadi kusir kuda kami."
"T-Tidak masalah."
Cattalina menunduk lalu menoleh ke arah kereta kuda, ia terlihat begitu sedih "Kedua orang itu, mereka adalah pengawalku, mereka berlatih sangat keras, mereka sangat berusaha untuk melindungi kami dari kejaran bandit-bandit itu. Melihat salah satu dari mereka tewas, membuatku tidak percaya."
"Mereka bukan pengawal biasa, ya."
Cattalina mengangguk "Ah, emm… Maaf, aku membicarakan ini dengan mu." ucapnya kepada Teo.
"Tidak apa-apa. Tapi, apa tidak masalah membawa mayat pengawalmu di dalam kereta kuda? Bukankah lebih baik cepat di kubur atau kremasi?"
"Aku tau itu, tapi aku ingin memberitahu ke keluargaku. Agar, ia lebih di hormati karena kehilangan nyawa nya saat dalam tugas, ini juga tanggung jawabku. Lalu tenang saja, Aku sudah membersihkan lukanya dengan sihir dan menutupinya dengam kain, jadi tidak ada bau darah di dalam." jelasnya lalu tersenyum.
Teo tersenyum sambil mengerutkan keningnya "(Hee… Sepertinya aku benar-bemar dianggap kusir kuda mereka…)"
"Kau ternyata berani juga ya, mendekati Kakak ku!"
Suara yang keras itu membuat mereka terkejut, tatapan yang tajam itu berhasil menusuk Teo dan membuatnya memalingkan pandangannya lalu meminta maaf. Cattalina tersenyum lalu berkata "Kamu sudah kembali, apa sudah dapat barangnya?"
"Eh? Ah iya, semuanya sudah."
"Begitu, kalau begitu ayo pulang."
Saat Celica ingin masuk, ia menatap tajam ke arah Teo sekali lagi lalu mengancamnya dengan berkata "Awas saja! Lihat saja nanti!" lalu masuk kedalam kereta.
"Ayo cepat jalan!" teriaknya dari dalam.
"(Aku benar-benar jadi kusir kuda mereka. Malang sekali.)" ucapnya dalam hati.
Lalu, mereka pun pergi dari desa itu, Cattalina berkata untuk lurus saja untuk sampai ke Kota Elbraun "Elbraun?" nama kota yang aneh membuatnya bertanya seperti itu.
"Iya."
"Oh iya, saya lupa menanyakan sesuatu, Sebenarnya, kita berada dimana?" tanya Teo yang baru ingat kalau ia tidak mengetahui dimana ia berada sekarang.
"Hah!? Kau baru tanya? Telat sekali. Padahal dia yang bilang kalau dirinya tersesat." ucap Celica yang terdengar pedas.
Teo langsung terdiam mendengar ucapannya, Cattalina tertawa pelan mendengar ucapan Adiknya itu, lalu ia pun berkata "Saat ini, kamu berada di wilayah bangsawan Blouse, di bagian selatan ibukota Loriene, kerajaan Lumenia."
"Eh? Jadi Anda itu bangsawan?"
"Ya begitulah."
"(Bangsawan, kerajaan, sihir, sepertinya aku mengerti latar dunia ini. Ini benar-benar berbeda dengan duniaku, Luar biasa.)" ucap Teo dalam hati yang mulai mengerti dimana ia berada dan menerka seperti apa dunia ini.
"Kau ini sebenarnya berasal darimana sih!? Rakyat jelata saja tau keluarga Blouse! Ini kau yang mengaku sebagai petualang tidak mengetahuinya. Heh, dasar rakyat jelata, ah tidak, mungkin kau di bawahnya ya?" ucapan dari Celica yang terdengar menjengkelkan itu membuat Teo sedikit tidak tahan. Teo sama sekali tidak menyukai sifat dan gaya bicaranya yang membedakan orang lain, ia benar-benar tidak tahan, namun tentu saja ia tidak bisa berbicara terus terang seperti itu. Ia masih harus menahan diri untuk mencari informasi tentang hilangnya 50 orang dari dunianya yang kemungkinan juga ikut terdampar di dunia ini.
Di dalam kereta, Kakaknya memarahinya karena berkata tidak sopan seperti itu kepada Teo yang dimana sudah menyelamatkan mereka berdua. Teo pun memintanya untuk berhenti memarahi Celica, lalu ia berkata "Saya minta maaf, Nona Celica. Karena saya memang tidak tahu banyak tentang keluarga bangsawan. Karena… Selama saya bertualang, saya tidak pernah sekalipun memikirkan mereka."
Ucapan di akhir yang terdengar dingin membuat Celica geram. Ia menganggap Teo sudah tidak sopan kepada kaum bangsawan, ia pun meminta Teo untuk berlutut dan meminta maaf kepadanya sebagai perwakilan dari kaum bangsawan. Cattalina tidak tinggal diam, dia pun membentak Celica karena sudah keterlaluan kepada Teo, dia pun mengingatkan kembali jasa Teo yang sudah menyelamatkan mereka berdua. Akhirnya, Celica terdiam dan memalingkan wajahnya dari Kakaknya itu, Cattalina meminta maaf kepada Teo atas ucapan Adiknya itu. Teo berkata "Tidak apa-apa, saya juga salah karena tidak mengenal banyak tentang kaum bangsawan."
Meski ucapan Teo terdengar menyesal, namun sebenarnya ia merasa puas bisa membuat Celica jengkel, ia tersenyum lalu berkata pelan "Aku rasa aku akan menyukai dunia ini."
Bersambung