Axel memasukan tangan kirinya ke dalam saku celananya. Perlahan menghembuskan asap rokok yang baru saja dihisap lewat hidung dan mulutnya. Rambutnya yang acak-acakan bergerak-gerak tertiup angin. Axel memandang gedung-gedung tinggi di hadapannya kosong. Sekosong hidupnya selama ini yang serba minim.
Minim dari perhatian serta kasih sayang dari mereka yang disebut sebagai orang tua. Ibu yang lebih senang berada di lingkungan sosialitanya, bepergian tanpa jeda waktu. Ayah yang lebih mencintai pekerjaannya, memiliki ritme kerja yang di atas rata-rata. Minim ketulusan dari mereka-mereka yang dengan sengaja datang mendekat padanya sambil membawa misi pribadi masing-masing. Datang dengan mengatasnamakan sebagai teman dan pacar. Bullshit!
Yang disebut rumah tidak menjadi tempat ternyaman untuk pulang. Tidak membekaskan kenangan-kenangan indah dan hangat bersama mereka yang bernama keluarga. Rumahnya yang megah bak istana itu hambar hanya berisi sepi dan sunyi.
Axel membutuhkan warna untuk hidupnya yang abu-abu. Kenyataan dia memiliki segalanya yang tidak dimiliki kebanyakan orang tak serta merta membuat hidupnya menjadi sempurna. Axel tidak pernah menuntut kesempurnaan, jika standar sempurna yang dimaksud oleh mereka di sini adalah tentang ... seberapa besar perusahan yang kamu miliki? Atau seberapa banyak uang dan aset berharga yang kamu miliki? Di dalam hidup semua harus seimbang. Harus berjalan secara selaras. Saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Tidak berporos hanya pada satu hal atau titik saja. Seperti Tuhan yang menciptakan kaki berpasangan kanan dan kiri agar jalan tidak timpang.
Axel hanya ingin memiliki satu, satu saja orang yang mau dengan setulus hati mendengarkan keluh kesahnya. Menjadi tempatnya bersandar ketika lelah menghadapi dunia. Menjadi arah tujuan ketika dia salah memilih jalan hingga membuatnya tersesat. Memeluknya ketika dia sedang berada dalam kondisi terbawah dalam hidupnya dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Axel juga ingin merasakan bagaimana rasanya diomeli hingga membuat telinga panas oleh malaikat berwujud wanita yang disebut ibu itu ketika ketahuan membolos sekolah seperti Malik dan Abdul lalu mendapatkan hukuman berupa uang saku yang dipotong, dilarang pergi main ke luar rumah, atau larangan bermain game seperti yang selalu kedua laki-laki itu keluhkan. Sederhana. Namun, dia belum pernah merasakan hal-hal sederhana itu.
Axel ingin mendapatkan tatapan dengan sorot penuh bangga dari pria yang disebut ayah ketika dia berhasil menjadi pemenang di setiap pertandingan-pertandingan basket yang dia ikuti. Dia ingin kedua orang tuanya hadir mendukungnya ketika bertanding dan meneriakan namanya seperti yang dilakukan oleh kedua orang tua Malik juga Abdul. Sementara dia harus melipir ketika suasana hangat dan penuh kasih sayang itu tercipta. Tidak ada tempat untuknya di sana. Axel tersenyum getir. Rasa iri sepertinya sudah mendarah daging.
Drrrt ... drrrt ...
Tangan kiri Axel sedikit kesulitan ketika hendak mengeluarkan ponsel yang ada di dalam saku celana sebelah kanan karena tangan kanannya sedang memegang rokok. Aish! Axel menundukan kepala sedikit dan menghisap rokoknya yang masih tersisa sedikit kuat-kuat. Langsung menghembuskan asapnya lalu melempar puntung di atas lantai semen rooftop. Axel menginjak puntung dengan ujung sepatu.
Drrrt ... drrrt ...
Axel bisa mengeluarkan ponselnya dengan mudah. Kedua tangannya sudah bebas. Alex berdecak keras ketika melihat nama yang terpampang di layar ponselnya.
Abdul Bahlul is calling ...
Axel menghelas nafas kasar sambil menggeser tombol hijau di layar ponselnya.
"Hmm?" jawab Axel bergumam sambil berbalik badan dan berjalan keluar dari rooftop.
["Njir, lah Bos! Kemane aje lu gue teleponin dari tadi, elah!"]
"Apaan?" balas Axel ogah-ogahan sambil berjalan ringan menuruni setiap anak tangga dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celananya.
Terdengar suara krasak-krusuk di seberang sana. Axel langsung menjauhkan ponsel dari telinga kirinya dan menatap layarnya sejenak mencoba memastikan. Masih tersambung. Axel menempelkan kembali ponselnya, kini berpindah di telinga sebelah kanan.
["Oi! Jam berapa ini, Xel?! Sampai kita telat. Mereka pikir kita sengaja ulur-ulur waktu karena takut kalah!"]
Kenapa jadi suara Maliki yaumiddin? Axel melirik jam di pergelangan tangan kirinya. "Gue jalan ke situ. Lo gak usah pikirin itu. Siapin aja anak-anak di lokasi. Kita yang bakal menang. Babat habis mereka semua yang udah berani curang dan bikin anak Cetta celaka."
Tut!
Axel memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana sebelah kanan.
-firstlove-
Axel berhasil menjejakan kakinya di anak tangga terakhir lantai satu gedung berlantai tiga yang letaknya berada sedikit di bagian belakang Senior High Global Cetta School, samar-samar telinganya bisa menangkap dentingan suara piano. Nada yang dimainkan mengalun indah mengisi koridor yang keadaannya sudah sangat sepi. Axel terdiam dan mendengarkan secara seksama. Siapa yang bermain piano jam segini?
Axel sesungguhnya tak ingin peduli. Tapi rasa penasarannya yang menang kali ini. Axel mendongak sedikit dan menghela nafas kasar. Damn! Why you so curious, Axel? Merepotkan! Axel menurunkan kepalanya dan berbelok ke arah yang berlawanan dengan tujuan awalnya. Berjalan menuju ruang musik yang sangat lengkap dengan berbagai jenis alat musik. Ruangan besar yang lebih tepat jika disebut sebagai aula.
Kedua alis Axel terangkat ketika melihat satu sisi pintu ruang musik itu terbuka lebar. Benar saja jika suara piano di ruangan yang sewajarnya kedap suara itu bisa bocor hingga telinganya yang masih normal dapat mendengar suara yang berasal dari dalam. Axel berdiri bersandar di bingkai pintu dengan kedua tangan dilipat di depan dadanya.
Axel menatap sosok Lova yang terlihat kecil jika dilihat dari posisinya sekarang lekat-lekat. Ada apa dengan Lova, itu? Berani-beraninya membuat dia terus memikirkannya.
Axel menegakan posisi berdirinya sambil melepaskan tangan lalu memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Berjalan pelan menuruni tangga menghampiri Lova.
Axel berdiri menjulang di belakang Lova. Perlahan membungkuk mensejajarkan bibirnya di telinga gadis itu sebelah kanan. "Nice play, my Lov." bisik Axel lirih.
Bulu-bulu halus di area tengkuk Lova seketika meremang. Reflek beringsut ke samping menjauhkan tubuhnya dari Axel memberi jarak aman seraya mengangkat bahu kanannya. Gerakan kesepuluh jari tangannya juga terhenti. Kedua mata Lova seketika terbuka lebar. Lova melirik laki-laki itu lewat ekor matanya.
Axel terkekeh kecil seraya menegakkan punggungnya kembali. Menunduk sedikit memperhatikan Lova. "Hey ... see you again, hm?"
Lova membetulkan posisinya. Mengembalikan raut wajahnya yang terkejut kembali menjadi tenang. Lova berdehem kecil sambil perlahan memutar posisi duduknya menghadap pada Axel. Mendongak sedikit menatap laki-laki itu yang ternyata juga sedang menatapnya. Lova mengedipkan kedua matanya polos satu kali membuat Axel tersenyum kecil melihatnya.
"Emm ..." gumam Lova gugup sedikit sambil kedua tangannya memegang tepi piano stool. "Axe? Kam-- kamu itu-- kamu mau ngapain, kok ada di sini?" tanya Lova pelan dan terbata-bata.
Axel hanya terdiam. Tak ada niatan menjawab pertanyaan Lova yang menurutnya sangat-sangat jauh dari kata penting. Axel menatap tepat di manik mata hazel milik Lova yang dengan berani membalas tatapan mata elangnya. Sorot mata gadis itu tenang dan teduh. Semuanya tampak sangat pas. Tidak ada tatapan kagum, memuja, terpesona dan kawan-kawannya itu yang berlebihan. Axel bisa melihat pantulan dirinya di bola mata jernih Lova.
"Ini, kan bukan tempat biasa kam-- hemph!" Lova langsung menahan nafasnya ketika Axel perlahan membungkuk dan menumpukan tangan laki-laki itu pada tuts. Memerangkapnya di antara kedua lengan kekar Axel membuat wajahnya sangat dekat dengan wajah laki-laki itu. Lova bahkan bisa mencium aroma mint bercampur rokok dari deru nafas Axel.
"Bernafas, my Lov. Lo masih seneng hidup, kan? Jangan mati sekarang." kata Axel datar dengan suara pelan sambil memandangi setiap inci wajah cantik Lova. Dimulai dari alis, mata, hidung dan berakhir di bibir tipis warna merah muda alami gadis itu.
Lova langsung menghembuskan nafas panjang. Dia sampai tak sadar sudah menahan nafasnya. "Yang mau mati sekarang siapa, sih?!" sahut Lova dengan nada ketus membuat Axel menarik sudut bibir laki-laki itu sebelah.
Lova bergerak gelisah. Matanya melirik kedua lengan Axel bergantian. "Itu--" Lova berdehem pelan dan kembali menatap wajah Axel. "Kamu bisa mundur sedikit gak, Axe?"
Axel tersenyum tipis dan mengangkat telunjuknya di depan hidung Lova. Lalu bergerak memutari wajah gadis itu seolah sedang merapalkan mantra. "You're mine, my Lov. But-- I'm not yours." Axel meniup wajah Lova pelan dan membuat gadis itu reflek mengerjapkan mata dengan cepat.
Axel mengulum bibirnya kuat menahan tawa agar tidak meledak sambil menurunkan telunjuknya. Wajah Lova itu sungguh ... menggelikan!
"Eh? Gimana? Kok, kaya gitu? Ya, gak bisa gitu, dong! Aku, ya aku. Kamu, ya kamu." protes Lova keras sambil mendorong pelan kedua bahu Axel menjauh.
"Of course. I can, my Lov. Gue bisa ngelakuin apapun itu semau gue." bantah Axel sambil tersenyum miring. Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan pelan-pelan berjalan mundur. "Lo.milik.gue.my.Lov." kata Axel dengan penekanan di setiap kata yang diucapkannya. "Lo inget-inget omongan gue barusan." peringat Axel dengan suara pelan.
Axel berbalik badan dan melangkah terburu-buru keluar dari ruang musik sambil mengangkat ponselnya yang sudah sedari tadi tidak ada berhentinya bergetar. Nama Malik dan Abdul bergantian muncul di layar ponselnya.
Tbc.