webnovel

Senandung Anak Perempuan

Ruang guru yang sebenarnya sepi itu berubah seratus delapan puluh derajat. Suasananya bagaikan kapal yang mau karam diterjang badai dan ombak besar. Ratri merasa terombang-ambing di dalamnya. Semilir angin berembus pelan membuat sekeliling Ratri berubah menjadi kilatan cahaya yang menyilaukan matanya. Cahaya itu memaksa Ratri untuk memejamkan matanya rapat-rapat. Dan senandung itu terdengar lagi. Senandung seorang anak perempuan.

Senandung itu seperti mau menyeret janin yang ada di dalam kandungan Ratri untuk keluar dari perutnya. Ratri merasakan kontraksi yang semakin kuat dan kulit perutnya bagaikan diiris-iris sembilu. Dia juga merasakan gerakan-gerakan aneh dalam perutnya yang serasa akan merobek-robek kulit perutnya.

"Bayiku mau keluar! Jangan ...! Jangan kau ajak bayiku keluar ...! Siapa kau ...? Arghh ...!!! Jangan ganggu aku! Jangan ganggu bayiku!" Ratri berteriak sekuat tenaga. Tetapi suaranya seperti tertahan di tenggorokan saja. Dia hanya bisa mendesah sambil memegangi perutnya yang terasa mau pecah.

Duh Gusti Alloh ...! Apa yang sedang terjadi pada anakku? jerit Ratri dalam hati.

Dia berusaha mencari pegangan keyakinan agar tidak terseret terlalu jauh menuruti halusinasi pikirannya. Tetapi Ratri benar-benar tidak dapat mengendalikan dirinya. Tubuhnya terguncang hebat. Dan perutnya semakin terasa mau pecah oleh gerakan-gerakan janin di dalamnya.

Sementara suara senandung itu bagaikan magnet yang menarik-narik janin dalam kandungan Ratri.

Tiba-tiba muncul sepasang tangan berwarna gelap dengan kuku-kuku runcingnya. Sepasang tangan itu terlihat mengayun-ayun bagaikan membuat guratan untuk merobek perut Ratri. Semakin dekat dan semakin mendekat.

Kress ... kress ...!!!

Dua ujung jari dengan kuku-kuku runcing itu mengenai baju yang dipakai Ratri hingga tembus ke kulit perutnya. Ratri berteriak histeris melihat darah keluar dari dua luka robek di perutnya. Darah itu muncrat ke mana-mana dan sebagian mengenai sepasang tangan gelap itu dan mengubah warnanya menjadi merah darah.

Ratri semakin histeris dan berusaha untuk menutupi lukanya. Tetapi dia benar-benar tidak berdaya untuk menggerakkan tangannya. Tubuhnya seperti terhipnotis dalam keadaan duduk lemah di kursi. Dia hanya bisa melihat sepasang tangan merah darah itu membuka jari-jemarinya di depan perutnya yang terluka. Tangan itu seperti sedang menyambut sesuatu yang akan datang padanya.

Kembali Ratri merasakan perutnya bergejolak hebat dan dua luka robek itu menganga semakin lebar. Darah semakin deras membasahi baju dan mengalir di sekitar lantai ruang guru tempat Ratri duduk di sana.

Tak lama kemudian perlahan-lahan sesuatu keluar dari kedua luka robek di perut Ratri. Sesuatu yang terbungkus selaput putih tipis tapi berlumuran darah itu semakin memanjang dan bergerak-gerak di ujungnya. Terlihat bayangan seperti sepasang tangan bayi dibalik selaput putih tipis itu.

Kress ... kress ...!!!

Tangan merah darah menjentikkan ujung jarinya merobek selaput putih tipis itu. Kini terlihat dengan jelas sepasang tangan bayi keluar dari luka robek di perut Ratri. Tangan bayi itu bergerak-gerak ingin menggapai sesuatu. Secepat kilat sepasang tangan merah darah itu meraih dan menariknya kuat-kuat. Kembali darah keluar dari luka itu dan tumpah berceceran di lantai ruang guru. Perut Ratri serasa mau pecah karena tarikan itu. Kemudian terdengar suara menggema disela-sela suara senandung anak perempuan.

"Aku ingin bayimu ...! Aku ingin bayimu ...!" Berkali-berkali suara itu terdengar membuat bulu kuduk Ratri berdiri dan tubuhnya menggigil ketakutan.

"Pergi kau ...! Jangan ganggu anakku! Kau ... kau sebenarnya tidak ada! Pergi kau ...! Kau tidak ada! Kau tidak ada ...!!!" Ratri berteriak sekuat tenaga mencoba mengusir lelembut yang sedang mengganggunya.

Dia berusaha menyugesti dirinya agar keberadaan lelembut dalam pikirannya bisa hancur berkeping-keping dan meluruhkan halusinasinya. Kali ini suara Ratri terdengar menggema di seluruh ruang guru. Dia berhasil mengembalikan perasaan dan pikirannya.

Tiba-tiba dia merasakan dua tangan memegang pundaknya dan berusaha menahan guncangan badannya. Kemudian sayup-sayup Ratri mendengar suara memanggil-manggil namanya. "Ibu Ratri ... Ibu Ratri ...! Sadar, Bu! Apa yang sedang terjadi?" tanya Mbok Pon, istri penjaga sekolah.

Dia kebetulan masuk ruang guru membawa baki berisi beberapa gelas teh hangat untuk para guru. Mbok Pon terkejut melihat Ratri seperti sedang dalam keadaan kesurupan di sana. Dia berusaha menyadarkan Ratri. Mendengar namanya dipanggil, Ratri seperti tersadar kembali. Dia membuka matanya. Perlahan-lahan pandangan matanya kembali normal dan peluh membasahi seluruh wajah dan tubuhnya.

"Ibu tadi berteriak-teriak sambil memegangi perut Ibu. Ada apa sebenarnya, Bu?" tanya Mbok Pon.

Ratri yang belum sepenuhnya sadar itu memandang ke arah perutnya. Diraba-raba perutnya masih besar dan tidak terdapat luka sedikit pun. Pandangan matanya melihat ke sekeliling seperti orang linglung dan baru sadar sepenuhnya ketika pandangan matanya melihat wajah Mbok Pon.

"Mbok Pon ...?" tanya Ratri.

"Iya, Bu. Ini saya. Ibu kenapa?" tanya Mbok Pon sambil memberikan segelas teh hangat untuk Ratri.

"Aku ... aku tidak tahu, Mbok. Sepertinya lelembut itu benar-benar mengikuti anakku," jawabnya sambil menyeruput teh hangat itu.

"Lelembut? Lelembut apa, Bu?"

"Lelembut itu ... karena aku telah melanggar pantangan leluhur," kata Ratri masih dengan nada gelisah.

Mbok Pon tidak paham dengan apa yang sedang dikatakan oleh Ratri. Dan dia juga tidak tahu apa yang sedang dialami oleh Ratri. Ratri mengalami halusinasi karena sugesti perkataan Mbok Sum tentang lelembut yang selalu mengikuti janin dalam kandungannya. Dan lelembut itu baru saja menguasai pikiran dan perasaan Ratri.

Mbok Pon hanya bisa merasa cemas dan kasihan pada Ratri. Lambat laun Ratri pun dapat menguasai pikiran dan perasaannya. Dia merasakan udara dingin keluar dari perutnya. Perlahan-lahan perutnya terasa normal dan janin di dalam kandungannya kembali tenang.

"Sudah, Mbok Pon, terima kasih minumannya," kata Ratri setelah merasa sadar sepenuhnya. Ratri kemudian berpamitan pada Mbok Pon yang masih tidak tahu apa yang telah terjadi padanya.

"Ibu Ratri benar sudah sehat kembali?" tanya Mbok Pon.

Ratri hanya mengangguk dan tersenyum pada Mbok Pon. Dia segera kembali ke dalam kelas untuk menyelesaikan pekerjaan mengajarnya. Tetapi Ratri tidak bisa berkonsentrasi untuk mengajar. Bayangan tangan dengan kuku-kuku runcingnya dan suara senandung anak perempuan selalu membayangi pikirannya. Dengan alasan rasa sakit di perutnya dia pun meminta ijin pulang sebelum berakhir jam mengajarnya. Dan selepas waktu beduk Zuhur Ratri sudah sampai di rumah.

***

Dengan tergesa-gesa Ratri masuk ke dalam rumah menuju ruang makan. Dia tidak menyadari keberadaan Simboknya yang juga berada di sana. Dia langsung duduk menyandarkan punggungnya melepas ketegangan yang baru saja terjadi. Sejenak dia memejamkan mata untuk menenangkan pikiran sambil mengelus-elus perutnya.

"Kamu kenapa, Nduk?" Terdengar suara mengagetkan Ratri. Dia segera membuka matanya. Dilihatnya Mbok Sum sedang duduk sambil mengiris-iris tempe dan kacang panjang untuk dibuat sayur oseng-oseng kesukaan Wibi.

"Simbok? Aku ... aku ... eee ... tidak apa-apa, Mbok. Cuma kehausan, tadi di luar cuaca panas sekali." Ratri berusaha menyembunyikan perasaannya.

Dia sengaja tidak menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya pada Mbok Sum agar dia tidak disalahkan kembali karena tidak mau menuruti kemauan Mbok Sum.

Mbok Sum membantu mengambilkan sebotol minuman dingin dari kulkas dan menuangkannya ke dalam gelas. Ratri segera menghabiskan tiga gelas minuman dingin itu hingga hanya tersisa seperempat botol saja. Tetapi belum bisa meredakan kegelisahan yang terpancar dari wajah manisnya. Dia masih trauma dengan peristiwa di kelasnya. Dia memendam saja rasa itu sampai suaminya pulang dari kerja pada malam harinya. Ratri kemudian menceritakan semuanya pada Wibi.

"Anakmu akan diikuti oleh lelembut ...." Kalimat itu terngiang kembali begitu Wibi mendengar cerita kejadian yang dialami oleh Ratri di dalam kelasnya tadi pagi.

"Mas, aku tadi benar-benar takut. Bukan masalah senandungnya. Tapi aku takut terjadi sesuatu pada janin di kandunganku. Dan aku takut kejadian ini akan terulang lagi dilain waktu," kata Ratri.

"Pasrah dan berdoa pada Gusti Alloh, Rat. Semua itu pasti kehendaknya. Kita hanya bisa berdoa memohon keselamatan." Wibi berusaha memberikan semangat pada istrinya.

"Tapi, Mas ... benarkah apa yang pernah Simbok ucapkan tentang lelembut itu?"

"Lelembut itu di mana-mana pasti ada, Rat. Karena mereka memang diciptakan oleh Gusti Alloh. Tetapi aku tidak bisa memastikan apakah kejadian yang kamu alami itu karena pengaruh kata-kata Simbok," jawab Wibi. Ratri terdiam sesaat seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Bancakan! Apakah aku harus membuat bancakan atau kalau perlu sesajen untuk meredam kemarahan lelembut karena telah melanggar pantangan bepergian itu, Mas?" tanya Ratri dengan nada ketakutan.

"Tidak, Rat! Semua itu tidak ada hubungannya. Jangan biarkan sugesti Simbok semakin dalam masuk ke alam pikiranmu," jawab Wibi dengan tegas.

*****

Siguiente capítulo