webnovel

Kedatangan Bang Aang

Tiga hari aku menunggu, kata kak Wiwin bang Aang sedang dalam perjalanan. Mungkin dia akan sampai nanti malam.

Beberapa hari ini juga kedai kak Wiwin jadi sepi, dagangannya juga terlihat semakin sedikit. Uda sedang istirahat siang, jadi aku menggantikannya dulu karena kak Wiwin sedang tidak enak badan. Aku duduk ditempat biasa sambil melihat sekeliling. Ternyata ada kedai baru di jarak 20 meter dari kedai kak Wiwin.

"Eh... Sejak kapan kedai itu ada? " tanyaku pada kedai ketupat sayur yang ada disebelah.

"Sudah beberapa hari ini kok, emangnya kamu kemana aja kok baru tau?"

"Aku dirumah." jawabku singkat.

Kalau tidak salah, orang yang buka kedai baru itu adalah orang yang membuka bengkel kecil di sana. Entah tertarik atau bagaimana sekarang diapun membuka kedai yang dagangannya sama seperti kedai kak Wiwin.

Tidak lama setelah itu, ada bus berhenti di depan kedai kak Wiwin, aku tersenyum senang karena ada beberapa penumpang yang datang ke arahku. Pasti mau membeli sesuatu kan. Tapi aneh, para penumpang itu berhenti. Mengamati kedai kak Wiwin lalu menoleh ke kedai sebelah.

Langkah mereka langsung berbondong-bondong menuju ke kedai itu. "Hah, kenapa ini" gumamku. Tak lama setelah itu, pemilik kedai baru lewat dihadapanku. Aku menatapnya, mengangguk sambil tersenyum. Tapi balasannya ia tersenyum sangat sinis.

Entahlah, kenapa dia bersikap seperti itu. Padahal seingatku aku tidak pernah membuat kesalahan dengannya, bahkan bertemu saja jarang. Atau mungkin, dia ada masalah dengan kakak atau uda? Tapi biarlah, biar jadi urusan mereka.

"Bagaimana Nimas. Sudah ada pelanggan hari ini? " tanya kak Wiwin yang datang ke kedai sore itu.

Alhamdulillah Kak, ada. Ya... Cuma satu dua orang sih" jawabku apa adanya.

Kak Wiwin melihat ke arah kedai baru. "Sejak kedai itu ada, dagangan ku mulai tidak beres. Bahkan kemarin ojek yang biasanya berlangganan disini jadi beli disana. Katanya kedai Kakak tutup, padahal kan hampir 24 jam kedai ini buka! " ucap kak Wiwin agak kesal.

Aku terdiam. Pantas saja para penumpang tadi berpaling. Apa mereka melihat kalau kedai ini tutup juga? Tapi bagaimana bisa terjadi? Tapi bisa juga kan kedai sebelah lebih banyak dan komplit dagangannya. Makannya orang-orang lebih memilih belanja di sana.

"Bagaimana menurutmu Nimas?" tanya kak Wiwin.

"Aku ga paham Kak, coba kalau bang Aang datang tanyakan saja padanya" ucapku.

"Ya, kau benar"

Setelah perbincangan itu aku pamit pulang. Ingin memeriksa kembali barang bawaan ku, takutnya besok saat aku pulang ada yang ketinggalan. Setelah itu aku termenung dikamar sampai ketiduran.

*****

Keesokan harinya, seperti biasa aku yang membuka jendela depan dipagi hari. Hari itu di ruang depan aku melihat seorang pria yang masih tidur dengan alas seadanya.

"Apa ini yang namanya Aang?" Bisikku dalam hati. Baru kali ini aku melihat dan bertemu dengannya. Wajahnya sangat berbeda dengan ayah, mungkin mirip dengan almarhumah ibunya. Kecuali tinggi badannya, mungkin sekitar 175 cm, ya, perawakannya mirip ayah.

Baguslah, abang sudah datang. Aku bisa cepat-cepat pergi dari sini. Tinggal nunggu dia bangun, baru akan aku tanyakan kapan kita akan pulang. Sambil menunggu dia bangun, aku bersiap lalu pergi ke kedai.

Siang hari kak Wiwin menyusul, ia menyuruhku pulang untuk makan siang dulu. Tumben. Biasanya sampe sorepun aku dibiarkan di kedai.

"Assalamu'alaikum" ketika masuk ke rumah.

"Waalaikum salam" jawab bang Aang.

"Bang sudah bangun? " ucapku lalu bersalaman dengannya.

"Sudah. Nanti malam kita langsung pulang ya" ucapnya.

"Okey, tapi mampir dulu ke tempat ayah kan? Aku ingin bicara padanya"

Bang Aang terdiam sejenak, "Baiklah. Bapak juga ingin bertemu denganmu"

Singkat cerita, ba'da magrib kami bersiap. Aku berpamitan pada uda, kak Wiwin dan kedua anaknya yang masih kecil. Usai berpamitan aku dan Aang pun naik bus jurusan kampung halaman ayah.

Lama kami saling terdiam. Akhirnya ada satu pertanyaan yang keluar dari perasaanku.

"Bang, gimana keadaan kakek dan nenek? Mereka sehat kan?" tanyaku.

"Kakek dan nenek sudah meninggal beberapa bulan yang lalu"

Deg... Jantungku seperti berhenti saat itu. Aku beralih menatap bang Aang. "Apa? " tanyaku bergetar. Syok, sedih, bercampur jadi satu.

"Kakek gagal menyembuhkan apak Arman. Dia merasa sangat bersalah, kejadian itu membuat kesehatan kakek menurun. Mendengar kakek sakit aku langsung datang." Ucap bang Aang. Aku menyimak ceritanya dengan perasaan yang tidak karuan. Air mataku mengalir tanpa suara.

"Dalam keadaan sakit, aku melihat kakek menghancurkan gasiang tengkurak menggunakan batu. Selang beberapa hari kakekpun meninggal. Meninggalnya kakek membuat kesehatan nenek terganggu, ia sakit sakitan, jarang makan dan tepat di hari ke empat puluh, nenek juga meninggal." bang Aang tertunduk.

Aku kembali tersandar di tempat duduk bus, menarik nafas sedalam-dalamnya untuk memulihkan nafasku yang sesak. Kakek, Nenek... Aku tidak tau kalau saat itu adalah perpisahan yang terakhir. Di ujung umur kalian pun tidak ada satupun orang yang mengabariku. Apa aku tidak penting bagi kalian? keluarga ayah. Tapi kalian adalah orang yang sangat aku sayang...

Bang Aang menatapku sejenak. Kemudian ia mengalihkan pandangannya lagi ke depan. Aku tidak peduli apa yang ada dipikirannya. Yang aku rasakan saat itu, aku benar-benar ingin teriak sekencang-kencangnya menyebut kakek dan nenek.

Keadaan bus sudah sunyi, Orang-orang sudah terlelap di masing-masing bangkunya. Bahkan bang Aang juga sudah tertidur. Aku masih termenung ditengah remangnya lampu bus, menatap keluar jendela yang gelap. Terngiang pesan-pesan kakek yang ternyata itu menjadi pesan terakhirnya.

Pada saat itu ada kejadian yang tidak aku mengerti sampai sekarang, pada saat kepalaku bersandar di bangku, aku merasakan ada sesuatu yang menyentuh kepalaku. Aku masih diam, mencoba berfikir positif karena siapa tau yang menyentuh kepalaku adalah tangan orang yang sedang berpegangan untuk membetulkan posisi duduknya.

Tapi sekian menit tangan yang ada di atas kepalaku semakin bergerak maju, yang tadinya hanya menyentuh bagian atas kepala, lama kelamaan jadi seperti mencengkeram. "Apa-apa ini! " gumamku. Aku berusaha melepaskan tangannya dari kepalaku tapi orang itu semakin kencang mencengkeram.

Aku mencoba membangunkan bang Aang tapi tidak berhasil. Beruntung, bus berhenti di pemberhentian. Lampu bus menyala terang. Tangan yang mencengkeram kepalaku buru-buru lepas, aku langsung berdiri dan melihat kebelakang.

"Hey kau! " ucapku pada orang itu.

Seorang laki-laki memakai jaket coklat dan menutup kepalanya, wajahnya tidak terlalu jelas karena tertutup masker kain. Laki-laki itu buru-buru bangun dari tempat duduknya lalu berlari pergi keluar bus.

"Ada apa? " tanya bang Aang yang sudah bangun dan terkejut.

"Itu bang, orang itu mencengkeram kepalaku! " ucapku.

Bang Aang langsung bangun dan melihat ke arah yang aku tunjuk. Tapi orang itu sudah tidak ada.

"Ayo! " ajaknya menyusul ke arah orang misterius itu berlari.

Tapi sesampainya di luar bus, kami tidak menemukan orang misterius itu. "Apa ada yang kau lihat ciri-cirinya? " ucap bang Aang sambil mengamati orang-orang sekitar sana.

"Dia memakai jaket kulit berwarna coklat, dengan tutup kepala dan memakai masker kain" jelas ku. Namun, meskipun kami sudah mencarinya, orang itu tidak ada.

"Apa saja yang ia lakukan padamu? " tanya Aang.

"Awalnya dia meraba kepalaku, lalu mencengkeram kuat. Apa maksudnya coba? " jelasku.

Aang terdiam menatapku. "Kenapa kamu ga bangunin aku? " protesnya.

"Aku bahkan sudah menendang kakimu, tapi kau masih saja tidur seperti bayi!"

"Sopan sekali kau nendang kakiku! " protesnya lagi.

"Apa? Aku sudah mencoba membangunkanmu dengan sopan tapi tidak berfungsi" ucapku.

"Naik ke bus! Aku ga peduli kalau kau sampe ketinggalan." ucapnya sambil berlalu.

"Dasar menyebalkan! " gerutuku. Akupun kembali naik bus.

Tidak lama kemudian bus kembali melaju. Aku menoleh ke bangku belakang tempat pria misterius tadi duduk tapi ternyata disana kosong. Pria itu tidak terlihat lagi.

Siguiente capítulo