webnovel

Mbah Buyut

Tahun berikutnya, mama pulang bersama adik-adik dengan wajah kecewa, sedih, tubuhnya juga semakin kurus dari yang terakhir aku lihat. Aku ingin bertanya pada mama, ada masalah apa, kenapa kau sedih dan menangis, tapi aku belum memiliki keberanian itu. Aku masih terlalu kecil untuk mngetahui masalah orang dewasa.

Aku mengetahui masalah mama ketika ia bercerita kepada mbah putri sambil menangis, banyak sekali yang mama ceritakan tapi aku mengerti sumber permasalahannya. Mama dan ayah dalam kondisi hubungan yang tidak baik, akhir-akhir ini ayah berubah dan tidak terlalu memperdulikan keluarga bahkan jarang memberi nafkah, maka dari itu mama pulang ke desa bersama ketiga adikku, berharap akan hidup lebih baik disini.

Beberapa hari aku melirik mama dari balik selimut, terkadang ia menangis di tengah malam sambil membelai kepala anak-anaknya. Aku juga sedih melihat mama seperti itu, perasaan marah bergelora dalam hati, tapi apa yang bisa aku lakukan? Mungkin jika aku sudah dewasa aku akan langsung menghampiri ayah dan protes padanya untuk membela mama.

Malam itu aku pura-pura menggeliat dengan mata terpejam lalu berbalik, membelakangi mama. Melihatku bergerak mama menghentikan isakkan tangisnya, tak lama setelah itu aku merasakan mama mulai menempati posisi tidurnya. Malam smakin larut, aku melirik jam dinding di pagar kamar menunjukkan pukul 2 dini hari. Tapi kantuk juga tidak mengunjungi mataku.

Tik tok tik tok...

Hanya suara detak jam yang terdengar dimalam yang sunyi senyap. Perlahan mataku mulai berkedip siap untuk terpejam. Tapi antara setengah ngantuk dan sadar, sayup-sayup aku mendengar suara langkah kaki terseok berjalan jelas menuju pawon.

"Ah, mbah nglilir juga ya" gumamku. Karena semenjak ada mama, mbah tidur di kamar buyut. Aku pikir mbah pergi ke pawon untuk buang air kecil atau ambil minum.

Klenting, klenting, klenting,

Kembali lagi aku mendengar seseorang yang sedang mengaduk teh seperti dulu. Aku jadi ingat, awal aku datang kesini yang suka membuat suara seperti itu adalah mbah buyut. Tapi, semua perasaan itu aku tepis dan mengira kalau mbah putri yang sedang membuat minum di pawon.

Rasa kantukku kembali hilang, padahal perlu setengah jam untuk aku konsen tidur lagi. Berusaha untuk terpejam, tapi suara di pawon semakin menggangguku. Suara langkah kaki terseok kembali terdengar melewati ruang tengah, disusul dengan suara lemari perabotan yang terbuka, lalu langkah itu kembali ke pawon. Begitu seterusnya seperti orang yang berkegiatan disiang hari.

Karena terganggu dengan suara itu aku kembali membuka mata, melirik ke arah mama yang sudah lelap, sepertinya ia tidak terganggu dengan suara gaduh itu. Aku duduk bersandar di pagar tempat tidur, sekarang bukan hanya suara langkah kaki yang ku dengar, tetapi suara piring dan sendok yang beradu.

Kenapa sih, malam-malam begini mbah harus menata piring dan sendok ke rak, kalau aku ga bisa tidur, aku bisa kesiangan ke sekolah besok. Gerutuku dalam hati. Ya sdikit kesal karena suara gaduh itu semakin terdengar kencang. "Duh, pengen pipis lagi" guamku. Kebetulanlah, ada mbah dipawon jadi aku tidak perlu membangunkan mama untuk mengantarku.

Sebenarnya ada keraguan saat melangkahkan kakiku keluar kamar, tapi air di bawah tubuhku semakin berontak ingin keluar. Aku terdiam sejenak, mengamati kalau suara sendok masih terdengar berati mbah ada di pawon. "Mbah?" sapaku, tapi tidak ada jawaban. setelah sendok masih bersuara, aku langsung keluar kamar.

"Mbah aku mau pip... " aku terdiam, menyisir seluruh ruangan powon dan rak piring yang ternyata tidak ada siapapun disana.

Blaakkkk.... krengkiiittt. Lemari perabotan yang ada di ruang tengah tertutup lalu terbuka pelan. "Mbah?" ucapku kaget menoleh ke sumber suara, aku mulai gemetar saat mengetahui ga ada orang di sekitar lemari itu.

"Nimas." Seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku terperanjak, hampir saja berteriak karena kaget.

"Mama" aku bernafas lega. Mama mengerutkan alisnya menatapku yang mungkin terlihat pucat juga gemetar.

"Nimas, ngapain malam-malam kamu disini?" tanya mama.

Aku terdiam sesaat, menoleh keseluruh penjuru, lalu terakhir aku memperhatikan pintu kamar mbah buyut yang tertutup rapat. "Nimas!" mama tidak sabar menunggu jawabanku. Mama sadar dengan gelagatku yang terlihat seperti orang linglung pasti ada sesuatu yang terjadi.

"Mama, apa... Apa mbah sudah bangun?" tanyaku memastikan kalau mbah barusan bangun dan menata perabotan di pawon. Mama bergegas membuka kamar mbah, dan menunjukkan padaku kalau mbah masih tidur pulas.

"Kamu lihat? Mbah masih tidur" mama menatapku penuh arti. "Kamu baik-baik saja kan?" tanya mama cemas melihat tingkahku.

"Ma, aku mau pipis" ucapku lirih.

Mama langsung menggandeng tanganku dan mengantarku buang air kecil, sesekali terlihat mama menyeka tengkuknya dan menggosok lengan seperti orang yang bergidik tidak nyaman. Pandangannya masih menatapku curiga, dengan gelagatku yang gemetar dan bleng, bingung, bengong kalau ditanya. Tapi disisi lain sebenarnya aku tidak linglung seperti apa yang difikirkan mama, aku hanya sedang meredam perasaanku yang terkejut dan juga ketakutan tadi sambil berfikir, apa mbah buyut datang lagi.

*****

Pagi harinya, mataku sulit sekali untuk terbuka. Apa aku masih ngantuk? Tapi, aku merasa badanku panas, dan tidak enak, lemas seperti tidak bertenaga. Disisi kiriku ada mama yang sedang menatapku, kemudian tangannya menempempelkan handuk basah yang terasa nyaman saat menempel dikening.

"Mama, apa aku terlambat sekolah?" tanyaku lirih.

"Sudah, jangan pikirkan sekolah dulu. Kamu demam, istirahat ya, mama sudah meminta ijin pada guru tadi pagi. Nimas, sebenarnya apa yang terjadi semalam?" mama mencoba mencari tau jawaban dari bibirku.

"Mbah buyut datang ma"

"Apa?!" piaslah wajah mama mendengar jawabaku. "Apa dia mengganggumu?" tanya mama lagi.

"Tidak." jawabku singkat. Mataku rasanya ingin terpejam. Bukan karena ngantuk, tapi entahlah, susah dijelaskan. Mataku terpejam, saat itu juga melihat wajah mbah buyut yang keriput dengan gigi utuh berwarna hitam dan mulut merah karena kinang. Ia berdiri dengan tubuh bungkuknya di ruang tamu, memandangku dengan wajah sedih lalu menangis.

"Mama, ada mbah buyut" gumamku lirih tapi jelas didengar oleh mama.

"Dimana ada mbah buyut?" mama mulai takut melihatku yang terpejam, tapi terus bicara tentang buyut yang sudah meninggal.

Aku masih melihat jelas di pejaman mata kalau mbah buyut masih menangis bahkan tersedu-sedu, tapi kemudian. Mbah buyut menunjukan dirinya dengan ekspresi yang semakin membuatku ketakutan. Mata keriputnya melotot padaku, mulutnya terbuka, wajahnya menyiratkan kemarahan yang mungkin tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Terakhir, mbah buyut berteriak dengan suara meraung yang mengerikan hinga telingaku berdengung.

"Aaaaaaa. Mbah buyut marah" Teriakku langsung bangun dan masuk kedalam pelukan mama.

"Ada apa Nimas?!" mama semakin tidak karuan.

Praaakkk... Terdengar suara asbak dimeja ruang tamu jatuh, dan pecah berserakan. bersamaan dengan suaraku berteriak.

"Mak? Mak apa itu kamu mak?" mama memanggil mbah putri, tapi tidak ada jawaban.

Semakin bingung dengan kejadian itu, setelah aku tenang dan tertidur mama mengecek ke ruang tamu, ia melihat asbak yang terbuat dari tanah liat berserakan di lantai. Tidak mungkin mbah yang menyenggolnya karena beliau baru saja pulang dari kali.

Merasa ada yang tidak beres, mama berniat menemui pakde untuk mencari jawabannya. Mama meminta tolong pada tetangga untuk memanggilnya kerumah, tidak mungkin juga meninggalkan aku dengan kondisi menakutkan seperti ini.

Selang dua jam kemudian pakde tiba di rumah. "Ada apa iyah?" tanya pakde setelah masuk kedalam rumah.

"Nimas sedang sakit, keponakanmu bertingkah aneh lagi kang!"

"Apa lagi yang terjadi?" tanya pakde, mama kemudian menceritakan dari kejadian semalam hingga pagi tadi.

"Apa kesensitifannya tidak bisa dihilangkan suapaya kami bisa hidup tenang, supaya dia nyaman. kasihan dia kalau begini terus kang!" ucap mama mulai geram karena selalu dibuat panik setengah mati oleh tingkahku. Pakde hanya mendengus panjang, menyentuh keningku mencoba menelusuri apa yang terjadi. Tak lama setelah pakde terpejam, ia terperanjak dengan wajah khawatir.

"Ada apa kang?"

"Gawat, aku harus pergi kerumah Ijo setelah ini" ucap pakde dengan mimik wajah khawatir. Ijo adalah kakak mamaku yang tinggal di kampung sebelah.

"Apa yang terjadi sebenarnya!" mama ingin tau, tapi pakde seperti ragu untuk menjelaskannya. "Jawab aku kang!" mama memaksa.

"Ya, Buyut memang datang. Tapi, dia marah dan dendam" jelas pakde singkat.

Mama terdiam. Mendengar kata marah dan dendam, Mama emutar kembali memori di Kepalanya ,memutar ingatannya kembali pada kejadian itu, kejadian dimana beberapa tahun lalu ketika buyut masih hidup, dan tragedi sebelum buyut sakit lalu meningal.

Siguiente capítulo