webnovel

Teman Tak Kasat Mata

Saat aku kecil, aku di anugerahi rambut yang tumbuh gimbal. Tau rambut gimbal? Itu loh, yang rambut kusut menggumpal tapi tumbuh secara alami meskipun sudah tlaten dirawat dan juga di sisir. Keturunan rambut gimbal adalah anak yang di istimewakan di dataran tinggi dieng, keturunan dari kyai Kolodete dan titipan dari Nyi Ratu Kidul. Lengkapnya kalian bisa cari infonya tentang rambut gimbal yang ada di dataran dieng Wonosobo. Aku memang sering sakit-sakitan saat rambut gimbal itu mau tumbuh. Badan akan demam, panas tinggi, obatpun tidak akan mengatasi kalau rambut itu belum muncul di kepalaku. Tersiksa sebenarnya, tapi itulah jalan kami anak-anak yang terpilih. Meskipun di istimewakan tapi tetap ada kerepotan tersendiri, bagi si anak ataupun orang tua. Resiko memang.

Badanku masih lemah karena sudah demam sejak tiga hari. Tapi yang ada di anganku rasanya terus ingin keluar dan bermain, padahal mama susah payah melarangku. Sore itu rasa ingin bermain dan keluar rumah semakin kuat, aku nekat membuka kamar jendela yang sudah terkunci rapat karena sudah waktunya orang-orang berada di dalam rumah.

"Nimas! Ngapain kamu buka jendelanya?!" ucap bibi yang saat itu sedang ada di rumah mbah putri juga.

"Aku mau main!"

"Ga boleh! Kamu masih sakit. Kamu jangan keluar ruamah"

"Bi, aku udah di tungguin sama temen-temen, mereka mau main sama aku" jawabku sambil menunjuk ke halaman rumah.

Bibi melongok keluar jendela, tidak ada siapa-siapa disana. Seteleah itu melirikku dengan pandangan penuh tanda tanya. "Nimas, sekarang tutup jendelanya ya. Udah sore" bujuknya padaku.

"Nggak mau. Aku mau main!" daun jendela tertahan oleh tangan kecilku.

"Ada apa ini?" Tanya mama yang datang menghampiri.

"Mbak, Nimas bertingkah aneh. Dia mau keluar jendela dan pergi main. Katanya dia udah ditungguin sama temen-temennya, tapi ngga ada siapa-siapa di luar mbak!" jelas bibi, ekspresi wajah mama berubah seketika mendengar kejelasan itu.

Sedangkan disisi lain aku sedang asik melihat gerombolan anak kecil yang sedang asik bermain. Ada yang kejar-kejaran, ada yang sedang bergandengan tangan sambil bernyanyi riang dengan gerakan memutar. Rasanya pengen banget main sama mereka.

"Nimas, tutup yah jendelanya.Udah mau maghrib loh" Bujuk mama dengan nada lembut.

"Mama lihat, mereka lagi main. Aku juga mau main"

"Mereka siapa?" mama mengarahkan pandangannya ke tempat yang aku tunjuk.

"Itu, temen-temen aku"

Bibi dan mama saling pandang tidak mengerti. Mereka tidak melihat apapun di tempat yang aku tunjuk itu. "Mama boleh ya aku main?"

"Nimas, ga ada anak kecil di sana, ga ada orang! Udah sore sekarang tutup jendelanya!" Mama langsung menggendongku menjauh dari jendela, tidak peduli dengan rengekan dan tangisku. Bibi langsung mengunci jendela rapat-rapat.

**********

Mama memutuskan untuk tinggal bersama ayah di daerah Bekasi, supaya lebih mudah untuk pulang tentunya. Saat itu kami tinggal di suatu kontrakan satu kamar dengan kamar mandi yang letaknya di luar, lumayan sih tempatnya kaya di perkampungan dan ga terlalu jauh dari jalan raya. Biasanya Ayah pulang setiap akhir pekan, sehari-hari aku bermain dengan anak sepelantaran yang saat itu belum masuk sekolah memang, tapi tak jarang juga aku bermain dengan teman yang mungkin bisa dibilang cuma aku yang liat.

Satu teman misterius yang pertama kali aku kenal, dia bernama Adek. Entah itu memang namanya atau julukan dia sebelum meninggal aku kurang tau, kalau aku kenal sekarang mungkin bisa aku interogasi, tapi sayangnya dulu aku ga paham tentang hal yang kaya gitu. Aku juga ga tau dia datang darimana, tapi dia selalu hadir untuk bermain, meskipun selalu berakhir rusuh.

Badannya tidak jauh beda dengan badanku, hanya saja Adek lebih tinggi beberapa centi dari tinggi badanku mungkin jika di gambarkan usia Adek sekitar 6 tahunan, sesekali terlihat ingus yang keluar di hidungnya, Adek lebih suka menyedot ingus dengan hidungnya dan suka sekali memakai kaos dalam berwarna putih dan celana dalam. Sekalipun aku tidak pernah melihatnya memakai baju, atau celana. Ya. Hanya kaos dalam dan celana dalam berwarna putih, itu saja. Tapi jangan anggap dia itu tuyul ya, dia bukan tuyul.

Anehnya, meskipun dia selalu datang untuk bermain bersama. Adek selalu membuatku kesal, mainanku di rebut, hasil karyaku juga di acak-acak olehnya. Setelah membuatku nangis, dia selalu saja menghilang, tapi tetap saja datang lagi dan mengajakku bermain. Suatu hari, aku sedang asik menggambar dan mewarnai, krayon dibiarkan berserakan di dekatku supaya lebih mudah untuk mengambilnya saat aku membutuhkan warna. Saat itu juga Adek datang entah darimana, padahal pintu di kunci oleh mama karena aku tidak boleh bermain diluar rumah, cuaca sedang sangat panas saat itu.

Mama sibuk dengan pekerjaannya, sibuk melipat baju yang sudah selesai dijemur. Mama duduk tidak jauh dari tempatku menggambar. Awalnya adik duduk di depanku, ia melihat gambar yang aku buat lalu memperhatikan aku mewarnai.

"Aku lagi gambar. Ini pohon, ini rumah, terus ini jalan raya" ucapku sambil menunjuk gambar menerangkan padanya.

Mama yang sibuk melipat baju terhenti, ia diam memperhatikan aku yang berbicara sendiri. Tapi saat itu, mama tidak curiga karena memang biasanya anak kecil selalu bicara sendiri saat sedang asik bermain.

"Aku juga mau gambar. Aku mau gambar warna merah!" ucap Adek padaku.

"Enggak boleh! Nanti krayonnya patah ayah marah nanti" ucapku sambil memeluk buku gambar dan juga kerayon meskipun beberapa jatuh dari pelukanku. Mama menghentikan aktifitasnya, memperhatikan aku dengan pandangan pekat.

"Kamu pelit! Pokoknya aku juga mau gambar!" Adek mulai kesal.

"Enggak boleh! Kamu pergi sana pulang" usirku. Tapi Adek tetap di depanku tidak mau pergi, dia kembali memperhatikan aku menggambar dan mewarnai. Adek menyampar buku gambarku lalu ia lari dan hilang di dalam tembok.

"Kamu jahat. Kamu jahat, aku gak mau lagi main sama kamu!" teriakku kesal sambil menyesali gambar yang telah aku buat tercoret karena saat aku mewarnai tadi disambar olehnya.

"Nimas? Kamu kenapa, kok marah-marah"

"Adek nakal Ma, dia merusak gambarku!" jawabku kesal.

"Adek? Adek siapa?" ucap mama sambil menatapku heran.

"Adek itu tu, dia lari ke sana" ucapku menunjuk ke arah tembok tempat Adek menghilang tadi.

"Adek siapa yang kamu maksud?" tanya mama penasaran melihat ke tembok kosong yang aku tunjuk dengan jari. Ekspresi mama berubah, dia menatapku dengan bingung. karena dia tidak melihat apapun ditembok itu.

"Adek itu yang nakal itu ma! Dia nakal kalau main" mama terdiam, masih menatap dengan tatapan heran.

"Ya sudah, kalau dia datang lagi suruh aja pergi ya. Jangan mau kalau main sama dia" ucap mama, meskipun ia tidak mengerti dengan tingkahku tapi mama sedikit paham kalau mahkluk halus kadang memang suka mengganggu anak kecil.

Tidak hanya di dalam rumah, Adek juga selalu datang menghampiri saat aku bermain di luar rumah bersama teman-teman lainnya. Saat aku sedang sibuk bermain dengan teman sepermainan, Adek hanya berdiri mengamati kami bermain. Aku selalu kesal dengannya, oleh sebab itu aku tidak pernah mengajaknya bermain meskipun aku melihatnya sendirian.

Adek seperti anak yang tidak memiliki orang tua, bajunya juga tidak pernah ganti. Dia tidak pernah dicari meskipun keluyuran setiap hari bahkan malampun kadang aku melihatnya mainan sendiri di depan rumah. "Mama, Adek ga pulang ke rumah ya? Kok dia boleh main malam-malam" ucapku setelah mengintip dari jendela kaca kontrakan. Mama terdiam merenyitkan alisnya.

"Mama aku boleh ikut main ga?"

"Ga boleh Nimas, ini sudah malam ga ada anak kecil yang main diluar rumah!"

"Tapi Adek boleh main diluar rumah"

"Adek? Mana?"

"Itu" jawabku jinjit mengintip lagi dari kaca jendela. Mama mengikuti, ia melongok juga melihat keluar rumah dari jendela. Tapi lagi-lagi mama tidak melihat apapun disana. Mama bergidik merinding saat melihat halaman yang gelap dan sepi.

"Sudah ayo, kamu bobo aja ya. Udah malem" ucap mama menggandeng tanganku lalu menyuruhku untuk tidur. Aku menurut, meskipun sebenarnya Adek terus memanggilku dari luar, ia menyuruhku untuk keluar dan bermain dengannya tapi karena ngantuk aku lebih memilih tidur saja dari pada main dengannya pasti ujung-ujungnya berantem lagi.

Sejak Adek menggangguku saat menggambar itu, aku jadi semakin tidak ingin bermain dengannya. Meskipun dia tetap berdiri menungguku hingga selesai bermain, aku selalu mengusirnya supaya pergi. Sampai pada suatu hari, aku sedang main masak-masakan sendirian di halaman kontrakan. Seketika itu juga adik datang dan langsung jongkok didepanku.

"Kamu lagi ngapain?" tanyanya.

"Lagi main"

"Aku ikut"

"Ga boleh nanti kamu nakal!" ucapku sambil asik mengaduk tanah yang ada dimangkok kecil. Aku pikir Adek akan pergi setelah aku usir, tapi ternyata tidak, dia malah mencubit pahaku kencang-kencang kemudian dia lari lalu menghilang. Aku berteriak lalu menangis kencang. Mendengar aku nangis histeris mama langsung datang menggendongku.

"Kamu kenapa?!" tanya mama cemas.

"Adek nakal ma dia nyubit aku, sakit" nangis sambil mengelus paha. Mama langsung memeriksa pahaku, anehnya, cubitan Adek benar-benar membekas biru.

"Ya ampun" mama kaget melihat bekas cubitan di pahaku. "Ya sudah, sekarang pulang yuk. Nanti malam ayah pulang, biar ayah yang marahin Adek" ucap Mama kesal karena sering sekali melihat aku selalu nangis gara-gara di ganggu makhluk tak kasat mata.

Hari itu mama sama sekali tidak membiarkan aku main sendiri, meskipun sibuk mama terus mengawasiku supaya Adek tidak ada kesempatan untuk menggangguku, memang benar, sejak mama ada didekatku Adek tidak berani mendekat. Aku melihatnya mengintip dari balik pintu. "Itu mama, Adek ngintip-ngintip" ucapku menunjuk ke arah pintu.

"Hayo! Pergi kamu. Jangan ganggu Nimas lagi!" gertak mama sambil memukul seluruh permukaan dibalik pintu dengan sapu lidi membuat Adek lari seketika itu juga. Malam harinya ayah pulang, setelah makan malam mama menceritakan semua yang aku alami, tentang Adek, teman tak kasat mataku. Mama juga menunjukkan lebam bekas cubitan Adek dipahaku, ayah terdiam menatap lebam itu.

"Ya sudah, ga apa-apa. Biar ayah nanti yang menghukumnya ya" ucap ayah membelai kepalaku.

Setelah itu ayah menyuruhku untuk tidur. Entah apa yang ayah lakukan setelahnya, tapi sejak malam itu juga, Adek tidak pernah lagi terlihat dan tidak pernah datang lagi menemuiku.

Siguiente capítulo