webnovel

BAB XI Kastil Batavia  

Drep! Drep! ... Drep! Drep!

"uh ..., di mana ini?"

"Putri!"

Anna yang mulai terbangun mulai menyadari suatu suara samar. Suara itu adalah suara yang ia kenal.

Lalu sambil mengusap kelopak matanya ia melihat di hadapannya. Wajah yang ia kenal. Namun entah mengapa wajah itu terlihat sangat khawatir.

"Tn. Akno, ... apakah itu kau?"

"Putri! Iya ini aku, Akno! Syukurlah Putri sudah siuman. Herman, Putri sudah siuman!"

Prok! Prok! Prok!

Menyadari suara kaki yang mendekat Anna menolehkan pandangannya pada sumber suara kaki itu. Tidak salah lagi pria yang sedang berlari kearahnya itu adalah Herman.

"Tn. Herman ..."

"Putri! Apakah Putri baik-baik saja? Apakkah ada yang masih terasa sakit"

Melihat kekhawatiran kedua orang itu pada dirinya, Anna merasakan kelegaan di hatinya. Lalu selagi di turunkan dari pangkuan tangan Akno, Anna kembali berdiri selagi berpegang pada kedua orang di sampingnya.

"emm ..., aku tak papa. Tapi kenapa kalian ada di sini? Tempat apa ini?"

"kami ..., maafkan kami yang tak mampu mengejar Putri saat makhluk hitam itu menculik Putri."

"tidak, tak papa. Lagi pula sekarang semuanya sudah baik-baik saja!"

Anna segera berjalan kedepan kedua pria yang masih tertunduk kecewa akan diri mereka.

"yang lebih penting lagi, kita harus keluar dari tempat ini bukan!"

Anna pun tersenyum.

Kedua pria yang melihat senyum Anna itu segera merubah air muka mereka dan kembali berdiri.

"Benar, ini masih belum berakhir!"

"Bagaimana Herman, apa kau sudah tahu tempat kita sekarang?"

Dengan membentangkan tangannya kemudian Herman menyebarkan darahnya seperti sebuah jaring tipis. Darah itu menyebar dari tangannya dan menembus dinding-dinding ruang gelap kemudian kembali pada tangannya.

"Baiklah, di sini! Hancurkan dinding ini Akno"

Seraya menunjuk salah satu dinding di samping jalan lurus panjang itu. Arahan Herman segera diikuti Akno yang menggempalkan tinjunya dan mengerahkan pukulan kencang ke dinding itu.

Tinjuan itu berujung suatu lubang besar seukuran orang dewasa. Dibalik lubang itu terlihat barisan obor mengarah ke suatu lorong sempit.

Mereka pun berjalan melalui lorong itu, hingga pada ujung lorong langkah mereka terhenti. Bukan karena dihadang oleh puluhan tentara atau barisan monster pemakan daging yang siap menyerang. Namun, mereka terhenti melihat puluhan lampu yang bersinar malam itu di tiap-tiap lapak yang terbuka ramai.

Keramaian yang seharusnya tak bisa terjadi di Batavia, entah mengapa di hadapan mereka kehidupan malam itu menampilkan dirinya dengan megahnya tanpa memperdulikan belasan tentara VOC yang berjalan santai di sekitarnya.

"bagaimana ini bisa ..."

"Kastil Batavia, tak salah lagi tepat seperti dugaanku. Kita sekarang ada di dalam kastil terbesar di Batavia!!"

Anna seketika berdecak kagum melihat megahnya perdagangan dan keramain di dalam kastil itu. Namun Akno tiba-tiba menajamkan wajahnya selagi terhadang tangan Herman.

Di hadapan mereka seorang pedagang wanita sedang terancam oleh seorang bangsawan yang sedang mabuk dan tak ada seorang pun yang berani mendekati mereka.

"tunggu Akno, bangsawan VOC itu bukan orang biasa!"

"hah!! Jadi kita harus membiarkannya seperti itu!?

"dengarkanlah! Kalau dia sampai lepas kendali, bukan hanya pribumi di lapak itu yang terkena!"

Namun Akno yang tak tahan melihat kekerasan itu dan segera berlari melewati Herman. Dengan wajah yang marah ia segera menggenggam kerah bangsawan itu. Namun begitu ia mengangkat wajahnya, hanyalah wajah merah dengan mata sayu yang ia lihat. Entah mengapa wajah yang sangat sedih dan mabuk itu membuat Akno tak mampu memukulnya.

"apa-apaan kau ini ..."

Akno melihat kebelakang di mana sang pedagang wanita itu terjatuh. Namun wanita itu memperlihat wajah seakan ia berharap agar Akno memaafkan perbuatan bangsawan itu.

Akno pun melepaskannya dan berbalik pergi.

"Tunggu dulu anak muda! Bukankah terlalu cepat untuk pergi?"

Sebuah tangan menghentikan langkah Akno menariknya dari belakang dan memaksa Akno untuk berbalik. Namun, tepat saat Akno berbalik ujung pisau sebuah senapan api menerjang perut Akno.

Klak!

"Heeh? Ada apa ini!"

Ujung pisau itu patah.

"Maaf, tapi bisakah kau melepasku? Saat ini aku sedang ada urusan lain."

Pandangan Akno menajam kearah sang serdadu berpakaian ungu di depannya.

"Tunggu dulu, kau ... !"

"Ku bilang lepaskan!"

Serentak dengan itu Akno mengerahkan segenap tenaga untuk melepaskan tangan sang serdadu dari pundaknya, namun hal itu tak berhasil. Tangan sang serdadu yang ada di pundaknya seketika sudah berubah menjadi sebuah tangan hitam berukuran tiga kali lipat lebih besar.

"Akno!! serdadu itu adalah salah satu dari empat pengawal pribadi Pieterzcoon, sang anjing kematian Morteas!!"

"oh tidak!"

"Kau ... si pria yang bertubuh keras itu ya, dan yang disana pasti mayat hidup itu. Kenapa tak ada yang memberi tahu kalau ada tahanan yang kabur??"

Perlahan setelah tangannya menghitam tubuh serdadu itu berubah semakin besar dan menyerupai serigala hitam tak berbulu dengan matakuning tajam.

Teriakan mulai ramai terdengar bersamaan dengan para pedagang yang berlarian. Dan tentara-tentara VOC yang ada disekitar mulai merubah tubuh mereka selagi berjalan mendekat.

Namun menghiraukan kekacauan itu, dengan kaki kirinya sang serigala hitam menghempaskan Akno dengan tendangan dan membuatnya menabrak lapak-lapak di jalurnya.

"Akno!! Pintunya ada di arah timur, cepatlah berlari kesana!!"

"Hah ...?"

Herman pun segera berlari bersama Anna selagi memberi tahu Akno yang masih terkapar akibat hempasan kaki sang serigala hitam.

Siguiente capítulo