webnovel

20

Tiba-tiba ponselnya berdering. Ia mengerutkan alis. Tergesa-gesa ia mengeluarkan ponsel itu dari dalam ransel. Tumben? Di sini kan tidak ada signal, kenapa ponselnya berbunyi? Pikirnya.

Saat ia menelitinya ternyata memang ada signal!

Dan itu sambungan dari Om Doni! Rupanya pimpinan perusahaan itu menghubunginya!

"Halo, Pak...!"

"Sialan, kau! Kemana saja kamu pergi? Orang-orang perusahaan mencari kalian! Oh, kau masih hidup rupanya! Bagus, jangan lama-lama membawa anak gadis orang!" Om Doni terdengar gembira saat berhasil menghubunginya.

"Baru saja ada signal, Pak! Jangan khawatir, anak gadis nya masih perawan! Banyak kejadian yang kami alami..."

"Tetaplah ponselmu dalam kondisi on, orang-orang perusahaan sedang menjemputmu. Posisi kalian sudah terlacak oleh GPS!" Potong Om Doni. "Dengar. Aku tak ingin mengganggu gugat lahan terlarang itu lagi. Buntut persoalannya manjadi panjang. Aku cuma inginkan kalian pulang dengan selamat!"

"Kutukan itu memang ada, Pak! Kami menemukan hal-hal aneh di hutan terlarang," tukas Hendra.

Sejenak Om Doni di seberang telepon terdiam.

"...Itu sudah kuduga. Akupun mendapat kabar kalau desa-desa di sekitarnya dalam kondisi gawat... Ah, sudahlah! Pokoknya tunggu saja, orang-orang perusahaan akan menjemput kalian! Diam saja di tempat yang aman..."

Lusia juga tiba-tiba mendengar ponselnya berdering. Ia bergegas mengambil ponselnya dengan penuh harap.

Dan matanya langsung berbinar saat melihat kalau itu panggilan dari Rina. Bahkan sudah ada 20 panggilan tak terjawab!

"Rin...!" Lusia menyahut dengan nada gembira.

"Lusia...! Kamu di mana? Aku mencemaskanmu!" Rina berteriak gembira dari seberang sana mendengar suara Lusia.

"Ini juga baru saja ada signal. Aku gak tahu berada di mana. Tapi aku baik-baik saja!" jawab Lusia. Tapi suaranya bergetar menunjukkan kalau ia juga ketakutan.

"Baik, baik! Syukurlah! Orang-orang sedang mencari keberadaan kalian! Kamu tenang aja ya...! Aku masih di mess perusahaan. Situasinya gawat, Lus! Orang-orang pada ketakutan..."

Sejenak hening. Rina tidak melanjutkan kalimatnya lagi.

Tiba-tiba terdengar suara menggeram aneh disertai suara mengeruk di seberang telepon.

Rina terdengar berteriak ketakutan, disertai suara kaca yang pecah.

"Rin...? Kamu kenapa...?" Lusia mengerutkan alis.

Suara Rina terus terdengar berteriak-teriak ketakutan, lalu suara hempasan, sepertinya ponselnya terjatuh, suara teriakan Rina juga terus terdengar tapi semakin menjauh.

Sambungan telepon terputus. Tut-tut-tut...

"Rin...?" Lusia mengerutkan alis. Ia mencoba menghubungi sahabatnya itu, tapi tak ada nada sambung. Perasaannya semakin curiga. Ada yang tidak beres! Pikirnya.

Hendra pun tampak kebingungan, karena sambungan telponnya dengan Om Doni juga terputus.

Ia mencoba menghubungi salah satu sekuriti perusahaan yang ia kenal.

Ada nada sambung, tapi juga tidak diangkat.

"Hen... Apa yang terjadi dengan mereka?" Lusia terlihat sangat khawatir ketika dilihatnya Hendra juga kebingungan, sambil pemuda itu memegang ponselnya dengan kening berkerut.

"Aku juga tidak tahu, tapi kurasa mereka menghadapi situasi yang gawat. Mungkin ini ada kaitannya dengan kutukan itu." jawab Hendra. "Aku sendiri saat dihubungi Pak Doni, tiba-tiba sambungan teleponnya diputus..."

Lusia menarik nafas panjang. Dadanya terasa sesak. "Semoga semua baik-baik saja ya, Hen..." Ia berkata dengan hati diliputi rasa was-was.

"Aku takutnya ada sesuatu yang gawat terjadi di lokasi perusahaan. Jadi kalau kita kembali ke sana, mungkin kita pun akan mengalami hal yang sama..."

Lusia membelalak ketakutan. "Kalau begitu kita jangan pulang ke sana kalau dijemput?"

Hendra lama terdiam.

"...Kau yakin kalau yang menjemput kita nanti asli orang-orang perusahaan?"

Lusia ternganga. "Aku tak paham maksudmu..."

"Kita harus waspada sekarang, Lus. Kutukan ini sudah mulai berjalan. Tak ada lagi orang yang bisa kita percaya," kata Hendra sambil memasukkan lagi ponselnya ke dalam ransel.

Ia memandang ke arah gubuk. "Informasi yang paling bisa kupercaya hanya dari mereka yang ada di dalam rumah itu, tapi mereka bukan manusia seperti kita."

"Mereka siapa?"

"Makhluk gaib penunggu hutan ini."

"Oh? Nenek itu? Dia memang kuyang..."

"Cucunya juga. Dia bukan manusia," tukas Hendra.

Lusia ternganga sejenak Lau tersenyum masam. "Pacarmu itu?" kali ini gadis itu terlihat sinis. Ia memandang ke arah gubuk.

"Jangan mengambil kesimpulan tanpa bukti," kata Hendra.

"Lho, buktinya kau sudah melumat bibirnya, aku lihat."

"Setahuku aku cuma melumat bibirmu, tadi. Itu juga karena kamu yang mulai duluan..." Hendra tertawa.

"Terus, kalian melakukan apa tadi? Jilat-jilatan kuping?"

"Dia mengambil darahku sedikit melalui leherku, untuk makanan neneknya."

"Oh?!" Lusia terbelalak. Tapi ia mengambil sikap biasa-biasa lagi. Dalam situasi seperti ini segala hal yang aneh mungkin saja terjadi, pikirnya. Tapi yang membuatnya kesal adalah perempuan siluman itu lagi-lagi telah menyentuh Hendra!

Malam semakin merangkak. Keduanya mencari-cari keberadaan penghuni gubuk. Tapi tidak ada ditemukan siapa-siapa di sana.

Lusia menjadi agak khawatir juga dengan menghilangnya si nenek kuyang dengan sang cucu yang cantik.

Bukannya mengkhawatirkan keselamatan mereka, tapi mengkhawatirkan hal yang lain.

Ia takutnya kalau kedua eyang dan cucu itu muncul kembali dalam bentuk rupa yang lain yang lebih menyeramkan.

"Sejak aku tahu kalau mereka bukan manusia, aku merasa tidak aman kalau berada di sini," keluh Lusia. "Aku merasa lebih aman kalau kita pergi saja daripada menunggu di sini, Hen!"

"Menjalankan motor boat di tengah kegelapan sungai?" Hendra menggeleng. "Bagiku saat ini sama saja. Bertahan di sini atau kelayapan sama-sama mengandung resiko. Kita tidak tahu apa yang bakal kita hadapi nanti, tapi setidaknya ada tempat berteduh di sini, sampai menunggu pagi," kata Hendra. "Siapa tahu orang-orang perusahaan menjemput kita..."

"Kau sepertinya meragukan kalau mereka menjemput kita..."

"Ada perasaan aneh yang menyelimuti pikiranku sejak kita temukan bangunan batu itu," kata Hendra perlahan.

"Maksudmu?"

"Pikiran burukku akan sesuatu yang bakal terjadi selalu menjadi kenyataan. Ingat peristiwa kematian Martinus? Itu sudah terbayangkan di pikiranku sebelumnya, tapi aku tidak mempedulikannya. Ada hal lain lagi yang tergambar dalam pikiranku, terjadi kekacauan di mana-mana yang menuntut korban jiwa..."

"Jangan teruskan, Hen... Aku menjadi takut!"

"Kutukan itu tidak menginginkan kita, ia justru memelihara kita karena kitalah yang membangkitkannya, tapi orang-orang di luar kita yang menjadi korban..." sampai di situ Hendra terlihat murung. "Akulah yang tampaknya harus bertanggung jawab atas semua kekacauan ini..."

Dari kejauhan terdengar dengung mesin motor boat datang mendekat. Hendra terdiam. Ia cepat-cepat meraih lengan Lusial, membawanya bersembunyi di dalam gubuk. Dan mengintip keluar.

Siguiente capítulo