webnovel

First and Last

Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.

Yuda terus saja memenceti klakson mobilnya. Namun, penjaga rumahnya itu tak kunjung membukakan pintu pagar, padahal kepalanya sedang pusing, matanya berkunang-kunang, mulutnya kering, dan badannya begitu letih. Ia ingin segera berbaring. Pesta minum-minum di diskotik tadi malam membuat tubuhnya tak karuan.

Dengan kesal yang makin menggunung, pemuda berkulit sawo matang itu pun keluar untuk menghampiri gerbang. Mendapati gerbang itu tak digerendel, dengan sempoyongan ia membukanya lebar-lebar. Sambil terus menggerutu, ia kembali menaiki mobil dan menyetirnya masuk ke halaman. Setelah itu, ia turun dan mendatangi pintu rumah, tanpa mau repot-repot menutup gerbang kembali.

“Bukaaa!” racau Yuda sambil memutar-mutar kenop pintu yang terkunci.

Setelah beberapa menit, suara kunci yang diputar memang terdengar jelas, tapi pintu itu tak kunjung terbuka. Yuda menggaruk-garuk rambut agak gondrongnya yang dicat pirang sebagian, sangat sebal dengan pengurus rumahnya yang tak becus. Segera saja ia membuka pintu rumah itu dan masuk.

Baru saja menjejakkan kaki ke dalam, Yuda merasakan sesuatu yang dingin di lehernya. Ia pun sedikit melirik ke samping dan melihat seseorang yang berpenampilan aneh, memakai jubah beserta topeng polos dengan dua lubang mata. Semuanya berwarna abu-abu.

Saat tahu yang menempel di lehernya adalah mata pisau, Yuda mengangkat kedua tangannya gemetaran. Interval degup jantungnya mulai merangkak naik.

“Ikuti saya,” ucap orang bertopeng itu, sementara temannya yang berbusana sama mengunci pintu.

Yuda digiring ke lantai dua, menuju ke ruangan kedap suara yang biasa digunakan bandnya. Begitu penjaga yang juga berjubah abu-abu membuka pintu ruangan itu, bau anyir langsung menyerang hidung Yuda.

“Uwaaaa!!!” Yuda mundur saat melihat seorang gadis yang membelakanginya di dalam ruangan itu. Bagaimana tidak, gadis itu berdiri tanpa alas kaki di atas genangan darah yang begitu lebar. Yang lebih mengerikannya lagi, kaus ketat putih berlengan sesiku yang dikenakan gadis itu tampak dihiasi bercak-bercak merah.

Dengan kasar, Yuda didorong masuk. Hampir bersamaan dengan pintu yang ditutup, gadis itu berbalik untuk menghadap Yuda, menunjukkan muka yang penuh dengan bekas cipratan darah.

“Yuda, ya?” tanya gadis itu, tersenyum lebar dengan mata membelalak.

Seolah kehilangan energi, Yuda jatuh terduduk. Matanya mulai mengamati keadaan ruangan itu. Cipratan darah ada di mana-mana, menempel di dinding dan alat-alat musik.

“Yuda… Yud?”

Yuda langsung menoleh ke arah suara itu. Suara yang sangat familier, hampir didengarnya setiap hari. Namun, saat melihat wujud orang yang mengeluarkan suara itu, Yuda malah berdiri ketakutan dan buru-buru menghampiri pintu.

Ayah Yuda, pria yang barusan berbicara itu merayap dengan tubuh berlumur darah. “Cepat Yud… Lari Yud…”

Mendengar rintihan tersebut, Yuda menoleh ke belakang. Ia berjengit saat melihat tumpukan tubuh-tubuh manusia di dekat sang ayah, semuanya tak bergerak dan diselimuti warna merah.

“Bukaaaa!!!” Yuda berusaha membuka pintu ruangan, sementara si gadis mendekatinya sambil menelengkan kepala.

“Perkenalkan, namaku Sekar,” ucap gadis itu pelan lalu memeluk tubuh Yuda dari belakang.

“Uwaaaaa!!!” Yuda berteriak kesakitan saat ujung sabit di tangan Sekar menusuk pinggangnya.

Crassss!!!

Begitu sabit itu digeser oleh Sekar, Yuda rubuh dengan memegangi perutnya. Tapi anehnya, setelah itu ia sama sekali tak bergerak, padahal jelas-jelas darah terus mengucur dari luka memanjang di perutnya.

Sekar yang sudah akan tertawa, langsung mengernyitkan dahi, memandang heran tubuh Yuda yang menelungkup di lantai.

Tak lama kemudian, Sekar mundur sambil melotot, tak percaya dengan apa yang mulai muncul di kulit Yuda: pola-pola hijau mirip tumpahan cairan, sangat banyak menghiasi sekujur tubuh dan muka pemuda itu.

Tiba-tiba, Yuda bangkit dan menerjang ke arah Sekar. Kaget, Sekar tak sempat berbuat apa-apa saat benda seperti gada hijau yang dipegang Yuda melayang ke arahnya.

Bug!!! Prakkk!!!

Begitu perutnya dihantam keras gada itu, Sekar langsung melayang dan mendarat di rangkaian drum.

Dengan mata bengis dan napas yang begitu memburu, Yuda menghampiri Sekar. Luka menganga di perutnya seperti tak memberi pengaruh apa-apa padanya.

“Sudah lama aku tak merasakan sakit.” Sambil tersenyum lebar, Sekar bangkit dan memegangi perutnya yang terasa seperti baru diremukkan. “Hei, apakah itu kamu? Apakah kamu bisa memasuki tubuh itu sendiri!?”

Bukannya menjawab, Yuda malah menerjang kembali. Kali ini ia mengangkat gadanya tinggi-tinggi.

“Sepertinya bukan,” lanjut Sekar sambil menghindar, tepat sebelum gada itu menukik ke kepalanya.

Krak!!!

Bass drum yang sudah bolong, kini hancur berkeping-keping begitu dihantam gada Yuda. Sekar yang berhasil menghindar langsung berguling dan berlari menjauh. Ia menghantam kenop pintu ruangan dengan sabit di tangannya, tapi Yuda keburu mengejarnya dan menghunuskan gada lurus ke depan. Melihat hal itu, Sekar segera bergeser.

Brakkk!!!

Pintu itu hancur lebur begitu dihantam gada. Tak membuang kesempatan, Sekar menyabetkan senjatanya ke punggung Yuda.

Yuda berjengit. Serangan itu cuma menyobek bajunya dan meninggalkan bekas merah memanjang. Bekas itu bukan luka, tetapi lebih seperti lebam, sama sekali tak meneteskan darah.

Sambil mengayunkan gadanya, Yuda berputar ke belakang. Sekar segera menunduk, mengeluarkan sabit dari tumitnya lantas menyapu kaki Yuda kuat-kuat.

Kaki Yuda terkait sabit di tumit Sekar. Tubuh pemuda itu pun tumbang dan Sekar langsung menghujani mukanya dengan sabetan. Satu sabetan tak melukai, tapi saat diulang-ulang di titik yang sama, akhirnya senjata Sekar mulai bisa menggores muka Yuda.

Yuda tak tinggal diam. Ia menghantam pipi Sekar dengan gadanya. Sekar langsung terlempar ke samping sampai berguling-guling. Baru saja mulai bangkit, Sekar melihat Yuda sudah menghunuskan gada ke arahnya sambil berlari. Tak sempat menghindar, Sekar merasakan tubrukan keras dari gada Yuda di tubuhnya. Gadis itu pun terdorong ke belakang.

Krakkk!!!

Pagar kayu di lantai dua itu hancur dihantam keduanya. Tubuh mereka terlempar, berputar-putar di udara dan menukik ke bawah.

Pranggg!!!

Akuarium besar yang dipajang di lantai bawah hancur lebur dijatuhi tubuh keduanya. Pecahan-pecahan kaca berserakan, campuran air dan darah kini menggenang, dan ikan-ikan pun menggelepar di lantai.

Sekar yang posisinya ada di atas tubuh Yuda, langsung berusaha bangkit sambil menahan sakit di sekujur tubuhnya. Yuda juga berniat bangkit, tapi dengan gerakan yang jauh lebih lambat dan kaku.

Dan saat itu, Sekar kembali menyadari luka menganga di perut Yuda.

Sekar memaksakan tangannya untuk masuk ke luka itu, mengaitkan sabitnya ke apa pun yang ada di dalam sana. Baru saja Yuda mengangkat gada, Sekar menarik sabitnya kuat-kuat, membawa serta usus yang memanjang dari perut sang musuh.

Gerakan Yuda terhenti seketika, mulutnya memuncratkan darah segar. Tubuhnya pun kembali tumbang, kali ini dengan mata melotot.

Dengan napas ngos-ngosan, Sekar melepaskan ujung usus Yuda yang tersangkut di senjatanya.

“Itu benar-benar bukan kamu, kan?” tanya gadis itu, entah kepada siapa.

“Bukan! Aku masih ada di sini!!!” Telinga Sekar bisa menangkap suara seseorang yang seperti berasal dari kejauhan.

“Hahahahaha…” Dengan mata membelalak, Sekar melancarkan tawa lirihnya. Lama-lama tawa itu mengeras. “Menarik! Ini menarik! Ahahahaha!!!

Salah orang pengikut datang dengan takut-takut. “Anu, Nona berbicara kepada siapa?”

Sekar menghentikan tawanya dan menghadap pengikutnya itu sambil nyengir lebar.

“Ke sesuatu yang harusnya merasuki tubuh itu,” jawabnya, menunjuk tubuh Yuda. Ya, hanya Sekar yang bisa mendengar suara barusan.

Seharusnya Sekar membunuh Yuda, kemudian mengisinya dengan makhluk yang tadi bicara itu. Namun, ada satu hal yang begitu tak terduga.

“Aneh, seharusnya kekuatan itu tidak akan bangkit sebelum kaum kita memasuki tubuh-tubuh itu. Atau barangkali struktur manusia itu unik, sehingga kekuatan yang kita tanam bisa bangkit dengan sendirinya?” gumamnya panjang lebar, ditujukan kepada makhluk yang tadi diajaknya bicara. “Hmmm… Barangkali harus ada pemicunya?”

“Sa… Saya tidak mengerti. Apa maksud Nona?” ujar si pengikut, menelan ludah.

Lagi-lagi Sekar memasang cengiran lebarnya. “Ahahahahaha!!!”

Siguiente capítulo