webnovel

Maria City

Daren memandang kepergian Vincent dari jendela lantai dua ruang kerjanya. Tatapannya mendingin. Dia kesal. Kesal karena merasa begitu mudah dibodohi anak muda itu. Seharusnya sejak awal dia tidak meminta kerja sama dengan anak muda. Mulai sekarang Daren menganggap Vincent adalah orang yang licik.

"Jenderal," kata seorang kopral dari belakang. "Mengapa Anda tidak mencari keturunan Rexiana?"

"Tidak ada informasi mengenai klan itu lebih lengkap. Seolah-olah hangus bagai dilahap api," kata Daren sambil menatap jendela. Sudut matanya berkedut ketika meragukan ucapannya sendiri.

***

Aiden memicingkan mata setelah mendengar Vincent yang mengatakan jika dirinya menjadi bagian dari Nightroad Zero, dan harus ikut dalam setiap ekspedisi militer mereka. "Apa? Hey, aku bahkan belum menyetujui apa pun. Mengapa kau berbuat semena-mena tanpa berdiskusi denganku?" Aiden geram. Tidak terima dengan keputusan sepihak Vincent. Namun, sepertinya Aiden melupakan hal penting yang pernah mereka bicarakan sebelumnya.

"Jangan permainkan aku, Hellius! Kau sudah setuju setelah Axelia memutuskannya," sewot Vincent. Entah Aiden lupa atau pura-pura lupa. Yang jelas Vincent tidak menerima ucapan yang sudah dikeluarkan ditarik kembali dan bersikap seakan tidak terjadi apa-apa.

Aiden bungkam. Sebenarnya dia ingat tentang pembicaraan mereka, tetapi dia butuh jaminan yang nyata. Bukan karena ragu-ragu apalagi takut bergabung dalam kelompok militer yang dia beri sebutan -kelompok-cari-mati- itu. Mengetahui tingkat kematian mereka dua kali lebih cepat bila dibandingkan dengan kepolisian militer yang hanya bertugas di tengah masyarakat. Jelas saja mereka terhindar dari pertempuran sengit yang sering dialami Nightroad Zero. Bukan pula khawatir tidak dibayar oleh pemerintah.

Tidak jadi masalah bagi Aiden pribadi dengan menjadi anggota Nightroad Zero. Akan tetapi, memikirkan gadis itu akan dia tinggal dalam kurun waktu tak ditentukan, bahkan tidak pasti dia akan kembali dengan nyawa setia pada raga, membuat Aiden merasa tidak bisa meninggalkannya sebelum memastikan gadis itu hidup dengan baik untuk masa sekarang hingga mendatang. Seketika raut muka tegang lelaki itu melunak. "Apa dia aman tinggal di sini?" Suaranya melirih. Tampak sedih.

"Tidak akan ada yang berani menyentuhnya selama dia berada dibawah pengawasanku," jawab Vincent tegas.

"Apa kau punya jaminan?" tuntut Aiden terheran. Sebelah alisnya terangkat. Sebagian besar benaknya belum dapat memercayai Vincent. Tergantung pada pria itu menjawab dirinya dan membuat dia yakin dalam setiap ucapannya.

"Aku tidak mengerti jaminan apa yang kau maksudkan. Jika kau mengkhawatirkan masa depannya di kota yang asing ini setelah kau gugur dalam bertugas, aku menjaminkan sebidang tanah dan rumah yang masing-masing terpisah di kota Olhen dan kota Berlin." Vincent menjawab mantap. Dia berani mempertaruhkan hartanya yang hampir tidak dimiliki warga sipil mana pun kecuali bangsawan. Status Vincent masih belum Aiden ketahui. Hingga akhirnya satu tanya terbit dari mulut Aiden. "Apa kau seorang bangsawan?" Aiden menyelidik.

"Bukan," jawab Vincent. Justru membingungkan otak kecil Aiden. Kalau bukan bangsawan, bagaimana cara pria itu mendapatkan tanah di negeri ini yang terbilang mencekik napas begitu mendengar nominalnya? Jika Kekaisaran memberikan dana luar biasa pada setiap anggota Nightroad Zero, maka tidak mengherankan bila tentara khusus itu hidup makmur dan sejahtera. Namun, kenyataan tidak seperti ekspektasi. Aiden dapat memperkirakan gaji mereka yang tidak setimpal dengan tugas berbahaya. Kejam. Begitulah cara orang berkuasa menyiksa para bawahannya yang tak lebih dari pion berstatus.

"Kau bukan bangsawan, lalu kau ini apa?" tanya Aiden.

"Apakah sekarang hal itu penting?" balas Vincent.

"Jika kutahu Axelia terluka berada di tempat ini, saat itu juga aku akan keluar dari kelompokmu," tegas Aiden dengan rahang mengetat. "Dan, aku takkan mati semudah itu." Kemudian badannya berbalik seraya melempar picingan tajam pada Vincent.

***

Hannah terpukau. Dia tidak menyangka vintage dress dengan rok di bawah lutut miliknya yang nyaris dibuang lantaran tidak terpakai, akan terlihat sangat pas di tubuh ramping Axelia. Rok berwarna putih, berbahan linen, dengan torso biru yang membentuk pinggang, serta bagian bahu terbuka memperlihatkan kulit mulus gadis itu.

"Nah, sekarang, tinggal merapikan rambutmu," kata Hannah. Mereka masih di dalam kamar asrama ketika pagi-pagi Hannah sibuk mencari gaun sebagai pakaian ganti Axelia yang sudah lusuh. Beruntungnya dia menyimpan satu gaun feminin setelah kembali dari rumah nenek -yang selalu mengomel melihat dia memakai celana dan tak pernah berdandan selayaknya wanita- sewaktu liburan, jadi tidak perlu jauh-jauh pulang dulu ke rumah.

Disisirnya perlahan rambut putih panjang Axelia dari belakang. Dari pantulan cermin di depan mereka, Hannah memperhatikan kain yang tak tanggal dari mata Axelia. Menurutnya, kain itu akan mengganggu penampilan baru gadis ini. Meski dia wanita tomboy yang terkadang bersikap kasar pada orang tertentu, Hannah memiliki penilaian selera fashion seseorang. "Axelia, boleh aku membuka kain yang ini?" tanya Hannah meminta izin. Sebetulnya dia ingin tahu apa yang ada dibalik kain yang menutupi matanya. Apakah dia benar-benar buta atau terdapat luka di matanya sehingga harus ditutupi?

"Ya," jawab Axelia. Kemudian Axelia membuka tali simpul di belakang kepalanya. Mata Hannah tidak berkedip saat kain penutup mata gadis ini dilepas hingga sepasang kelopaknya bergerak membuka lambat, dan tatapan kosong di pantulan cermin benar-benar tampak di iris abu-abunya. Bibir Hannah menganga sedikit. "Cantik...," bisik Hannah tanpa sadar. Dia terpukau dengan kecantikan alami Axelia meskipun iris kelabunya tidak dapat melihat dunia.

***

Axelia sudah duduk ditepian kolam air mancur setelah ditinggalkan Hannah yang tiba-tiba mendapat panggilan dari rekan lain. Senyum tulus terukir di bibir Axelia saat makhluk kecil bersayap memesona terbang melayang-layang mengelilinginya. Mungkin Axelia adalah manusia istimewa bagi para kupu-kupu itu sehingga mereka dapat terbang di dekatnya tanpa takut akan ditangkap seperti yang dilakukan manusia lain, hingga salah satu kupu-kupu memercayakan telunjuk Axelia untuk dihinggapi ketika terjulur ke udara. Kupu-kupu berbicara dan Axelia mendengar suara mereka yang hanya dapat dia dengar sendiri.

'Kami senang sekali dapat bertemu denganmu!' Ungkapan senang disampaikan dengan suka cita. Mereka tidak berhenti bicara dan membuat telinga Axelia jadi sedikit berisik saat para kupu-kupu saling sahut menyahut, potong memotong ucapan di antara temannya untuk mendapat perhatian Axelia. Sedangkan gadis itu tampak begitu menikmati suara mereka yang terdengar lucu.

Pemandangan yang kelihatan anggun dan cantik itu terpampang di depan mata sebiru lautan milik Vincent. Dia telah berdiam diri di tepi koridor yang terhubung langsung ke taman luar. Entah sejak kapan. Seharusnya dia terus berjalan melewati semua hal yang tidak penting. Bukan berhenti sejenak di sini ketika tak sengaja melihat individu di kolam air mancur. Vincent memandang terpaku seperti dimantrai oleh sihir. Akhirnya dia menarik langkah maju. Menghampiri Axelia yang tampak manis dengan senyumannya sambil bicara sendiri.

Saat yang sama, kupu-kupu itu memberitahu Axelia bahwa seseorang akan mendatanginya dari arah barat. Bibir Axelia mengatup pelan. Terdiam sambil menebak siapa yang tengah berjalan ke arahnya itu.

"Axelia," panggil Vincent. Barulah Axelia mengetahui siapa orang yang dimaksud para kupu-kupu.

"Vincent?" ucap Axelia dengan nada tanya tanpa menoleh ke arah lawan bicara yang terdengar dari samping kiri.

***

Siguiente capítulo