webnovel

Part 4

Seperti petir yang menyambar di langit, cahayanya berkilat-kilat mengelilingi tongkat yang digenggam gagah. Poni menghalau pandangannya dan membuat sebagian wajah gadis itu tertutupi. Kayu tandu telah diambil salah satu sebagai senjata di tangan kanannya. Saat itu Walikota mencoba mengintip ke atas untuk melihat apa yang sedang terjadi. Namun, yang dapat dia lihat dari posisinya bersujud, hanya sepasang kaki telanjang dan helai perak yang menjuntai panjang di gaun lusuhnya. Lebih baik diam, dia kembali menyembunyikan wajah di antara lipatan lengan berlemaknya.

Sementara mata kedua pria itu terbuka kaget. Kursi batu di sana telah kosong. Aiden tercengang berusaha memahami peristiwa di depan mata. Sedangkan Vincent telah kembali dengan raut normalnya. Melihat tindakan Axelia yang diluar dugaan, Aiden nyaris tidak percaya. Niat awal ingin menyelamatkan gadis itu, kini dia hanya bisa menonton aksi Axelia bertarung.

Sejenak pertarungan Hantu dan Axelia tidak dapat dihentikan. Ketika terhempas, gadis itu dapat mendarat sempurna dengan kedua kakinya di tanah. Lalu dia melesat lagi bersamaan dengan Hantu yang akan membuat mereka bertabrakan. Axelia mengeratkan genggaman jemarinya di tongkat kayu, bersiap sebelum diarahkannya ujung kayu hingga menembus leher Hantu. Tertahan sesaat di sana, satu cengkraman kuat menggigit lengan kiri Axelia. Axelia mencabut lagi kayunya, dan melompat turun ke tanah dengan cucuran darah di lengan.

Perlawanan Hantu berhenti, mematung ditempat saat Axelia berlari ke barat kemudian menghentak dinding tebing menggunakan senjata kayunya. Garis retakan merambat seketika dari titik pusat. Sekali lagi, Axelia mendobrak dengan sekuat tenaga, dan bebatuan meluruh jatuh menciptakan lubang besar. Sebuah lorong bawah tanah terjulur panjang ke dalam. Lalu Axelia bergegas masuk.

Setelah melewati lorong tanah tanpa penerangan, sebuah ruangan seluas aula bercahaya obor membuat lari Axelia berhenti. Tepat di hadapannya seorang pria berdiri menunggu. Senyum miring tersungging di bibir pria itu. "Kau menemukanku, nona," katanya.

***

Hannah terbangun ketika mendengar kegaduhan di luar kamarnya. Insting sebagai tentara membuat wanita itu cepat waspada. Dia memegang belati sembari berjalan menuju pintu. Merapatkan tubuh ke sisi pintu saat satu tangannya terulur membuka perlahan pegangan pintunya. Sedetik suara benda berat terjatuh, pintu terdorong terbuka dan menampakkan separuh tubuh seorang penjaga tergeletak tak sadar. Hannah menarik napas. Memastikan nadi orang itu, dan merasakan denyut lemahnya, Hannah memutuskan meninggalkannya di koridor.

Keanehan tidak berhenti di depan kamarnya saja ketika Hannah menemukan beberapa penjaga kota bergelimpangan di lorong kamar. Mendengar suara langkah kaki mendekat, wanita itu langsung terkesiap. Suaranya berasal dari balik tikungan lorong. Hannah melangkah maju dengan pelan-pelan. Belati sudah siap untuk menggores kulit manusia ketika dia berbelok dan terhenti seketika sebelum menusuk Cellios.

Hannah mendesau lega. Menurunkan belatinya ke sisi tubuh. "Apa yang terjadi di sini?" tanya Hannah. Sudah sewajarnya mengajukan kalimat tanya yang Cellios duga. "Mereka menculik Axelia diam-diam. Aiden dan komandan sedang ke lokasi," tandas Cellios tanpa memperpanjang jawaban. Membuat Hannah tergagap tidak mengerti. "Kenapa mereka menculik gadis itu?" heran nada bicara Hannah.

"Untuk dijadikan tumbal agar mereka selamat dari serangan antek-antek vampir. Begitulah mereka menjawab pertanyaanku," kata Cellios usai sempat mengancam salah seorang penjaga yang telah dilumpuhkannya.

"Di mana yang lain?"

"Mungkin sebentar lagi akan terbangun."

"Ternyata kalian berkumpul di sini?" Perhatian mereka berpaling ke sumber suara besar dan menemukan si badan bongsor Bernandes berjalan santai. Juga dari lorong berlawanan Julian melangkah mendekat dengan dahi berkedut-kedut. Mukanya ditekuk masam. "Apa kalian tak bisa melakukannya dengan sedikit lebih lembut?" jengkel Julian setelah mimpi indahnya harus berakhir seketika oleh suara-suara berisik dari luar.

***

Tanpa meladeni sapaan pria itu, Axelia menyerang maju dalam sekejap. Membuat pria itu sigap melompat dan bersalto melewati kepala Axelia sebelum mendarat mulus di belakangnya. "Wah, wah, kau wanita yang agresif. Hahah! Aku suka," tawa pria itu. Sepasang tering mencuat dari bibirnya saat mulutnya terbuka. Sudah pasti pria itu adalah vampir.

Axelia berbalik seketika. Melesat maju lagi, dan pria itu berkelit mundur. Axelia menghunuskan tongkat bambunya. Namun, vampir itu pandai menghindari. Alhasil tembok tanah menjadi daratan tak sempurna Axelia: tongkat bambunya menusuk batu dinding. Saat tongkat bambu ditarik, debu-debu tanah beruntuhan, dan ujung bambu terbelah jadi dua. Axelia tertunduk termenung. Benda yang kurang kokoh dari kayu ini dipaksa menjadi senjata dalam pertarungan hidup dan mati. Lalu Axelia memutar badan dengan ketenangan luar biasa, sambil memegang bambu di tangan kanannya. Sementara vampir itu menyeringai. "Ada apa? Mainanmu rusak?" ejeknya.

"Di mana benda itu kau sembunyikan?" kata Axelia. Mengabaikan kalimat ejekan lawannya. setelah sekilas merasakan setruman di tubuhnya tadi, tujuannya bertambah sekarang . Tidak hanya menghabisi vampir dihadapannya, akan tetapi sesuatu yang menjadi miliknya telah menunggu untuk diambil.

Vampir berambut merah itu menaikkan sebelah alis. Terheran dengan pertanyaan Axelia. Dia tidak mengerti sebenarnya. "Kau sangat mengesankan meskipun kau seorang wanita," balasnya. Sedetik kemudian dia melesat ke depan sambil tersenyum lebar. "Tapi kau tidak lebih dari wanita di luar sana yang lemah," geramnya sembari mengarahkan tinju pada Axelia. Ketika itu Axelia diam saja saat pikirannya berusaha keras mencari dan merasakan keberadaan benda yang dimaksud. Hingga pada detik yang sama, Axelia langsung menahan tinjuan vampir itu dengan satu telapak tangannya. Tanpa membuat dia mengeser langkah. Axelia masih berdiri dengan tenang. Sedangkan vampir itu membeliak matanya. Kaget. Kemudian menarik tubuhnya mundur dengan ringan.

Ditatapnya Axelia yang bergeming. Pria ini memiliki harga diri tinggi, dikalahkan oleh wanita akan merusak harga dirinya. Peristiwa yang tak pernah dialaminya ini, lawan wanita pertama dalam dua ratus tahun hidupnya, baru kali ini dia merasa sangat jengkel menghadapi lawan. "Sang pengguna makhluk halus, dari Rwande. Seron Afelix adalah namaku!" teriaknya saat sebuah asap tipis keluar dari telapak tangannya, dan dia bersiap untuk bertarung sedikit lebih serius. Hantu tadi muncul lagi dihadapan Axelia. Hantu yang tak sempat Axelia hancurkan. Sampai kapan pun Hantu itu tidak akan lenyap kalau penggunanya tidak mati. Axelia memahami konsep tersebut.

"Katakan siapa namamu?" perintah Seron angkuh.

Axelia meneguhkan bambunya walau sudah separuh rusak. Satu sudut bibir gadis itu tertarik ke atas. "Maka buat aku mengatakan namaku," balas Axelia tegas. Kontan saja Hantu menyerang. Axelia melompat jauh ke belakang menghindari serangan. Lompatannya seringan angin. Axelia berlutut di tanah dengan telapak tangan kiri menyentuh permukaan. Hantu yang tidak memiliki wujud pasti itu terlihat seperti bayangan merah bagi penglihatan mata jiwa Axelia. Dia sedang berpikir untuk serangan balasan ketika bayangan merah itu melayang cepat ke arahnya. Hantu tidak bisa dilawan dengan benda. Hantu adalah makhluk transparan.

Menemukan sebuah ide, kemudian Axelia berdiri lagi dan menancapkan ujung runcing bambunya ke tanah bertepatan dengan terjangan Hantu, seketika cahaya menyala di depan wajah gadis itu. Erangan kesakitan menggema untuk beberapa detik lamanya. Lambat laun wujud transparan Hantu menghilang layaknya bayangan. Sampai benar-benar tersisa hanya mereka berdua lagi. "Hantu tidak suka cahaya. Sama seperti Exval. Namun tidak berlaku bagi vampir bangsawan seperti dirimu, bukan?" ujar Axelia. Mencabut bambu itu, lalu berjalan maju dengan berani.

"Kau tidak ada bandingannya dengan diriku, vampir muda," kata gadis itu. "Kau masih harus banyak berlatih lagi dari vampir dewasa lainnya agar bisa melukaiku." Axelia bisa membalas dengan keangkuhannya. Sehingga Seron kini dapat merasakan aura berbeda dari gadis yang sedang berjalan mendekat itu.

"Siapa sebenarnya dirimu?" kata Seron. Aneh saja melihat ada seorang manusia yang memiliki kekuatan seperti itu. Hal ini mengingatkan Seron pada cerita kakeknya dulu. Sayangnya, Seron saat itu tidak mendengarkan dengan seksama cerita yang baginya dongeng sebelum tidur itu. Seron berusaha mengingat lagi perkataan kakeknya. Ayolah! Ini tentang Kekaisaran, Ratu, dan Manusia. Ketiga kata itu Seron berupaya menyatukan puzzlenya.

Seron menggertakan rahang. Berpikirlah sambil bertarung! Cahaya biru langit menyelimuti di tangan kanannya. Dia mulai serius. Merapatkan lima jarinya. Lantas hanya dalam sekejap mata dia sudah berada di depan Axelia. Mata Seron melebar senang melihat tangannya berhasil menembus dada Axelia.

***

Siguiente capítulo