webnovel

Aku Tidak Akan Meninggalkanmu

"Tuan bersedia memberikan kebebasan untuk Anda. Apakah Anda akan meninggalkannya?" Harris menanyakan pertanyaan itu sambil memandang Anya lurus-lurus, seakan mencari jawaban di mata Anya.

Anya membalas tatapan Harris saat pria itu mengatakannya dan termenung sejenak setelah mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Harris. Apakah ia akan meninggalkan Aiden, demi kebebasan yang ia inginkan?

Namun, tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Ia langsung bangkit berdiri dari tempat duduknya dan melangkah menuju kamarnya dengan langkah yang cepat, meninggalkan Harris berdiri sendiri di ruang keluarga.

Setelah menaiki tangga, ia bisa melihat pintu kamarnya terbuka lebar. Langkahnya semakin cepat saat ia semakin dekat dengan kamarnya Namun, begitu ia berdiri di ambang pintu, kakinya tiba-tiba saja berhenti seolah tertancap di tanah. Ia tidak bisa bergerak.

Apa yang harus ia katakan pada Aiden? Apa yang bisa ia lakukan saat ini?

Ia bisa melihat Aiden duduk di pinggir tempat tidur sambil menatap ke luar jendela. Rambutnya tampak masih basah setelah mandi. Air terus menetes, membasahi piyama yang ia kenakan. Punggungnya tampak sedikit lunglai, membuat pria yang biasanya sangat menakutkan itu terlihat tidak berdaya.

Sebuah rasa bersalah menyusup ke dalam hati Anya ketika melihat punggung pria itu. Ia bisa melihat betapa besar beban yang pria itu rasakan dengan ketidakmampuannya untuk melihat dunia.

"Apakah Harris yang memberitahumu?" Aiden bisa merasakan kehadiran Anya. Meski ia sedang memejamkan mata, ia bisa mendengar suara langkah kaki wanita itu saat Anya berjalan menuju ke kamar. Ia juga bisa merasakan keraguan Anya ketika wanita itu berhenti secara tiba-tiba di ambang pintu.

Ketika ia membuka matanya, ia bisa melihat bayangan tubuh Anya sedang berjalan menghampirinya meski matanya sedikit buram. Sepertinya ia terlalu kelelahan sehingga matanya terasa lebih kabur dari biasanya. Ia tidak bisa melihat wajah dan ekspresi wanita itu, tetapi ia samar-samar bisa melihat sosoknya.

Tanpa mengatakan apa pun, Anya langsung masuk ke dalam kamar mandi dan mengambil sebuah handuk yang masih baru. Kemudian, ia menghampiri Aiden dan berdiri di hadapannya, ingin membantu pria itu untuk mengeringkan rambutnya.

Saat berdiri di hadapan Aiden, Anya baru menyadari bahwa pria itu salah mengancingkan piyamanya. Piyamanya terlihat berantakan karena kancingnya berada di tempat yang salah.

Anya berusaha untuk menahan agar tangisnya tidak tumpah …

Pria yang selalu memikirkannya dalam kondisi apa pun, membantunya setiap kali ia sedang dalam kesusahan, ternyata sebenarnya juga sedang menanggung bebannya sendiri. Pria yang begitu tangguh, yang begitu kejam dalam menghadapi musuhnya, ternyata memiliki sisi di mana ia tak berdaya dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Anya menyampirkan handuk yang dipegangnya dan mengulurkan tangannya untuk membantu Aiden membetulkan kancing piyamanya.

Tubuh Aiden terasa kaku saat Anya tiba-tiba saja menyentuhnya. Setelah menyadari apa yang Anya lakukan, ia baru sadar bahwa piyama yang ia kenakan berantakan.

Aiden berdeham dan memegang tangan Anya, "Tidak apa-apa, aku bisa membetulkannya sendiri. Ini sudah biasa," Setelah mengatakannya, ia membetulkan kancing bajunya sendiri. Ia merasa sedikit malu dengan keteledorannya, tidak biasanya ia melakukan kesalahan kecil seperti ini.

Anya tahu bahwa Aiden adalah seorang pria dengan harga diri yang tinggi. Ia tidak suka mendapatkan bantuan dari orang lain dan terbiasa untuk melakukan semuanya sendirian. Hal kecil seperti ini seolah telah mencoreng harga dirinya, membuatnya terlihat seperti pria yang tidak bisa apa-apa.

Anya tidak memaksa. Ia bangkit berdiri dan mulai mengeringkan rambut pria itu dengan lembut. "Biarkan aku membantumu. Meski itu hanya hal-hal kecil, aku juga ingin berguna untukmu …"

Keheningan menyelimuti mereka, tidak ada yang memulai pembicaraan di antara mereka. Hanya ada suara handuk yang Anya gunakan untuk mengeringkan rambut Aiden.

"Mengapa kamu tidak menandatangani surat cerai itu? Aku memberikan kebebasan untukmu …" kata Aiden, membuka pembicaraan di antara mereka.

"Bukan kebebasan seperti itu yang aku inginkan. Bersama denganmu pun aku bisa bebas. Kamu tidak pernah melarangku untuk melakukan apa yang aku mau …" kata Anya sambil terus mengusapkan handuk yang ia pegang ke rambut Aiden dengan lembut.

Ia menatap bola mata coklat Aiden yang indah. Tuhan sungguh kejam, ia memberikan mata yang begitu indah pada pria ini, tetapi juga membuatnya tidak bisa melihat …

Tidak ada lagi warna di dunia, tidak ada lagi cahaya. Hanya ada kegelapan yang selalu mengikutinya setiap saat …

Air mata mulai menetes di wajah Anya, tanpa sadar terjatuh ke tangan Aiden.

Anya sedang menangis. Wanita itu menangisi keadaannya …

"Mengapa kau menangis?" tanya Aiden, tangannya memegang tangan Anya, membuat wanita itu berhenti mengeringkan rambutnya. Namun, tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Anya. Wanita itu tidak ingin membuka mulutnya, takut tangisnya akan semakin keras.

Aiden menghela napas panjang. Ia tidak tahu harus berbuat apa di saat-saat seperti ini. Ia tidak tahu bagaimana cara menghibur seorang wanita yang sedang bersedih. Selama ini, ia tidak pernah memedulikan wanita mana pun yang mendekatinya.

Anya menangkupkan tangannya di wajahnya, air mata mengalir semakin deras di wajahnya. Aiden langsung menarik tubuhnya, membawa wanita itu ke pangkuannya dan memeluknya. Dengan sabar ia mengelus punggung wanita itu, menunggunya hingga berhenti menangis.

"Tinggalkan aku … dan kamu akan bebas, seperti dulu," kata Aiden dengan suara pelan. Suaranya terdengar serak saat mengatakannya seolah ia sedang menahan perasaannya.

"Aku tidak akan meninggalkanmu …" jawab Anya dengan sesenggukkan. Ia merasa tenggorokannya tercekat.

"Aku hanya memberimu satu kesempatan. Setelah ini, kamu tidak akan pernah bisa pergi dariku …" kata Aiden. Namun saat mengatakannya, tangan yang memeluk tubuh Anya terasa semakin erat seolah Aiden tidak rela membiarkan wanita itu pergi.

"Hmm … Aku tidak akan pergi," gumam Anya.

Anya tahu betapa sulitnya berjuang seorang diri. Ia saja dengan matanya yang sempurna harus susah payah untuk bertahan hidup, apalagi Aiden yang tidak bisa melihat. Aiden membutuhkan seseorang untuk membagi bebannya, untuk membantunya. Dan Anya rela menjadi orang itu walaupun ia tidak mencintai Aiden.

Aiden telah banyak membantunya. Mungkin ini adalah satu-satunya cara agar ia bisa membalas budi. Dengan berdiri di samping Aiden, mendampinginya …

"Mungkin kita memang tidak menikah karena cinta. Tetapi pasti ada suatu alasan mengapa kita ditakdirkan untuk bersama …" Anya menyandarkan kepalanya di bahu Aiden.

Aiden hanya diam dan tidak menjawab kata-kata Anya sehingga Anya menganggap bahwa pria itu setuju dengannya.

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Rasa nyaman yang Anya rasakan membuatnya merasa mengantuk. Apalagi setelah menangis, matanya terasa berat. Namun, pelukan Aiden pada tubuhnya sama sekali tidak mengendur sehingga ia tidak bisa bergerak ke mana pun.

Pada akhirnya, ia memejamkan mata dan tertidur di pelukan Aiden.

Aiden bisa mendengar suara napas Anya yang teratur dan melihat wanita itu tertidur di pelukannya. Anya menyandarkan seluruh beban tubuhnya pada Aiden dan tertidur pulas.

Aiden mencium puncak kepala Anya dengan lembut. "Siapa yang bilang aku tidak mencintaimu …" bisiknya pelan, sementara bibirnya masih menyentuh rambut Anya. Sementara itu, Anya yang sedang tertidur pulas sama sekali tidak mendengar apa yang Aiden katakan.

Hari itu, mereka tertidur sambil memeluk satu sama lain. Tidak ada jarak yang memisahkan mereka berdua, seperti hari-hari sebelumnya.

Hari itu, mereka menyadari bahwa mereka membutuhkan satu sama lain …

Siguiente capítulo