webnovel

Lemari Penuh dengan Pakaian

"Halo …" jawab Anya saat mengangkat panggilan itu.

"Anya, apakah kita bisa bertemu? Ada hal yang ingin ayah bicarakan," kata Deny. Bahkan pria itu tidak menanyakan bagaimana kabar Anya setelah sekian lama mereka tidak bertemu dan mengobrol.

"Ada apa?" tanya Anya. Ia merasa aneh tiba-tiba saja ayahnya ingin bertemu dengannya. Namun dari cara bicara pria itu, Anya tahu bahwa ayahnya mencarinya bukan karena rindu dan ingin bertemu.

"Ayah akan menunggumu di kafe. Akan ayah kirimkan lokasinya padamu," kata Deny dan kemudian ia langsung menutup teleponnya. Bahkan pria itu tidak memberikan kesempatan bagi Anya untuk menjawabnya. Anya belum sempat berkata apa pun. Ia tidak sempat menjawab, apa lagi mengatakan ia bersedia atau tidak menemui pria itu.

Setelah panggilan itu terputus, Anya menghela napas dengan kecewa. Seharusnya ia tidak sekecewa ini. Seharusnya ia sudah tahu bahwa ayahnya itu tidak mencarinya karena rindu padanya. Namun, ternyata hatinya masih berharap.

Ia segera menyingkirkan perasaannya itu dan menelepon Aiden, meminta izin untuk pergi menemui ayahnya.

Deringan pertama baru saja terdengar, tetapi Aiden sudah langsung menjawab teleponnya.

"Hmm?" pria itu hanya bergumam.

"Apakah aku boleh pergi untuk menemui ayahku?" tanya Anya dengan sedikit takut-takut. Ia khawatir jika Aiden tidak mengizinkannya untuk meninggalkan rumah.

Suasana menjadi hening sejenak seolah Aiden sedang memikirkan permintaan Anya.

"Hmm … Suruh Abdi untuk mengantarkanmu," jawab Aiden pada akhirnya.

"Terima kasih," kata Anya sambil tersenyum tipis. Walaupun ia tahu Aiden tidak bisa melihat senyumnya, ia tidak bisa menahan senyum itu untuk tersungging di bibirnya. Anya bersyukur karena setelah menjadi istri Aiden, Aiden tidak mengekangnya. Walaupun ia masih harus pergi di bawah pengawasan Abdi, setidaknya ia tidak terkurung di rumah.

Setelah mendapatkan izin, Anya segera kembali ke dapur untuk berpamitan kepada Hana.

"Bu Hana, saya akan pergi sebentar untuk menemui ayah saya," katanya.

Pada saat ia akan berbalik, Hana berusaha untuk menghentikannya.

"Eh … Tunggu, tunggu! Tunggu dulu …" Hana berusaha untuk mengeringkan tangannya secepat mungkin dan mencegah Anya untuk pergi.

Mendengar hal tersebut, Anya langsung berbalik dan menatap Hana dengan bingung. "Ada apa, Bu Hana?" tanyanya.

"Anya, apakah kamu mau keluar rumah dengan pakaian seperti itu?" tanya Hana secara tiba-tiba.

"Iya. Kupikir baju ini masih cukup bagus," jawab Anya dengan keheranan. Ia menunduk untuk melihat pakaian yang ia kenakan saat ini. Walaupun memang pakaian itu tidak mewah dan warnanya sedikit memudar karena terlalu sering dipakai, baju ini salah satu baju terbaik yang dimilikinya.

Hana menggelengkan kepalanya dan berkata, "Ayo ikut dengan saya."

Ia menarik tangan Anya, membawa wanita itu menuju sebuah kamar yang terhubung dengan kamar tidur utama miliknya. Kamar itu penuh dengan lemari-lemari dan dilengkapi dengan meja rias besar.

Anya belum sempat membereskan baju-baju miliknya. Baju-bajunya itu masih berada di dalam tas yang ia bawa dari rumahnya sehingga ia berpikir bahwa lemari-lemari itu pasti masih kosong. Namun, ketika Hana membuka lemari itu satu per satu, matanya terbelalak saat melihat berbagai pakaian digantung dengan rapi di dalamnya. Bahkan berbagai alat make-up baru juga sudah tersedia di atas meja rias.

Kaos, kemeja, baju terusan santai, gaun formal …

Celana pendek, celana panjang, celana jeans …

Lemari-lemari itu terisi dengan lengkap. Bahkan setiap jenis pakaian memiliki beragam warna. Merah muda, merah tua, merah maroon, merah menyala, biru tua, biru muda, biru langit, biru laut …

Sungguh luar biasa!

Mulut Anya hanya bisa menganga saat melihat berbagai koleksi pakaian di dalam lemari-lemari itu. "Apakah semua ini untuk saya?" tanya Anya sambil menatap Hana dengan tidak percaya.

"Tentu saja. Tuan Aiden sudah mempersiapkan semua ini untukmu," jawab Hana dengan senyum yang berseri-seri.

"Semua ini benar-benar milik saya?" tanya Anya sekali lagi seolah tidak bisa mempercayainya.

Hana hanya terkekeh dan mengangguk dengan sabar.

Tangan Anya menyentuh salah satu baju terusan dan merasakan bahannya yang lembut. Ia melihat berbagai logo merek pakaian-pakaian yang memenuhi lemarinya itu. Kepalanya terasa pusing saat mengenali merk-merk mahal tersebut. Ia tidak bisa memakai baju-baju yang mewah ini! Bagaimana jika ia membuat baju yang indah ini kotor?

Hana melihat kebimbangan di mata Anya dan berpikir kalau Anya sedang kesulitan untuk menentukan baju mana yang ingin ia pakai, bukan karena takut memakainya. Pada akhirnya, ia melangkah maju untuk mengambil salah satu baju terusan santai berwarna kuning yang sangat manis. Ia mengangkatnya dan menempatkannya di depan Anya, seolah sedang menilai apakah baju itu sesuai untuk Anya. Lalu, ia tersenyum lebar.

"Cepat coba yang ini," katanya sambil menyerahkan baju itu pada Anya. Anya hanya bisa menuruti perintah Hana dan mengganti pakaiannya.

Ukuran baju itu sangat pas di tubuhnya, seolah baju itu memang dijahit khusus untuk dirinya. Ia tidak tahu bagaimana Aiden bisa mengetahui ukurannya, tetapi ia yakin semua baju di dalam lemari itu sesuai dengan ukurannya.

Ia menatap ke arah cermin tinggi, melihat pantulan dirinya dalam cermin tersebut. Baju pilihan Hana sangat cantik. Warna kuning cerah pada baju itu membuat kulit putihnya tampak berkilau. Baju itu tanpa lengan, tetapi tidak terlalu terbuka sehingga membuat Anya tetap merasa nyaman saat menggunakannya. Panjangnya melebihi lutut, membuat kesan elegan semakin terpancar.

Pada saat Anya terpaku menatap pantulan dirinya di cermin, Hana sudah menyiapkan sepatu flat berwarna coklat dan juga sebuah tas kecil berwarna senada. Ia menyuruh Anya untuk segera mengenakannya dan kembali memeriksa penampilannya.

Apa pun yang dipilih oleh Hana tampak sangat sesuai untuknya. Baju, sepatu dan tas itu membuatnya tidak terlalu kekanakan, tetapi juga tidak terlalu dewasa. Anya tampak elegan dan berkelas.

Walaupun usianya sudah cukup tua, sepertinya Hana masih memiliki selera fashion yang cukup baik. Ia tersenyum puas setelah melihat pakaian yang ia pilih untuk Anya.

"Selama ini saya benar-benar menginginkan anak perempuan supaya saya bisa mendadaninya seperti ini," keluhnya. Sayangnya, setelah melahirkan Harris, Hana sudah tidak bisa memiliki anak lagi.

Anya tersenyum saat mendengar kata-kata Hana. Baginya, Hana adalah sosok wanita yang sangat hangat. Meskipun ia sudah berumur, kepribadiannya sangat ceria, membuat Anya teringat akan sosok ibunya.

Kalau saja ibunya tidak dalam keadaan koma dan bersama dengannya saat ini, ia tahu bahwa ibunya dan Hana pasti akan menjadi teman akrab. Sifat mereka berdua begitu mirip sehingga Anya bisa membayangkan betapa cocoknya dua wanita itu.

Ceria, hangat, penuh semangat …

Keberadaan Hana membuat hatinya sedikit terobati. Namun, perasaan rindu yang ia rasakan juga semakin menjadi-jadi. Setidaknya, pengobatan ibunya akan aman untuk beberapa waktu ke depan. Ia hanya perlu bersabar dan menunggu ibunya kembali padanya …

Setelah selesai bersiap-siap, mereka segera turun dari lantai dua dan menuju ke pintu depan. Di sana, Abdi pasti sudah bersiap untuk mengantarkan Anya.

"Terima kasih, Bu Hana. Saya sangat menyukai pilihan-pilihan Bu Hana," kata Anya sambil tersenyum ke arah Hana, saat mereka sedang berjalan turun. Ia ingin Hana mengetahui bahwa ia benar-benar bersyukur dengan keberadaan Hana. Hana yang membuat harinya terasa hangat. Kalau ia harus berdua saja dengan Aiden, pasti mereka akan sangat canggung …

Senyum Hana semakin berseri-seri saat mendengar ucapan terima kasih dari Anya. "Tidak perlu berterima kasih. Apakah kamu akan berangkat sendiri?" tanya Hana.

"Tidak. Aiden menyuruh Pak Abdi untuk mengantar saya," jawab Anya.

Diam-diam, Hana tersenyum saat mendengarnya. Selama ini, Abdi selalu berada di samping Aiden. Aiden tidak pernah menyuruh Abdi melakukan tugas lain, selain menjemput dan mengantarnya. Tetapi sekarang, Abdi mendapatkan tugas baru untuk mengantar Anya. Sepertinya wanita yang satu benar-benar berharga bagi Tuannya!

Siguiente capítulo