webnovel

Kecemburuan Wanita

Hanya Anya dan Aiden yang sedang berada di dalam lift. Itu karena mereka menggunakan lift pribadi milik Aiden. Lift itu tidak bisa digunakan oleh sembarang orang. Hanya beberapa orang saja yang memiliki akses menuju lift tersebut, seperti Harris, asisten kantor Aiden, dan Abdi.

Suasana di dalam lift itu terasa sangat canggung. Atau lebih tepatnya, hanya Anya yang merasa seperti itu. Sesekali ia mencuri-curi pandang ke arah Aiden, berharap pria itu akan memecah keheningan di antara mereka.

Sayangnya, Aiden tidak mengatakan apapun. Ia memandang lurus ke depan sambil menanti lift itu tiba di lantainya. Di balik kacamata hitamnya, ia bisa melihat Anya yang terus menerus bergerak karena gelisah. Bibirnya sedikit melengkung, membentuk senyum tipis, ketika melihat gerak-gerik wanita di sampingnya itu.

Hari ini, rambut hitam Anya yang biasanya tergerai tampak dikuncir satu, membuatnya terlihat lebih muda. Terkadang, tangannya menyisir anak-anak rambut yang terlepas dari ikatannya tanda bahwa ia sedang gugup. Bajunya yang sederhana tidak bisa menyembunyikan pembawaan dirinya yang anggun dan lembut. Kakinya tetap terlihat jenjang meski hanya dibalut dengan sepatu keds. Ia tidak perlu menggunakan sepatu hak tinggi untuk terlihat menawan seperti wanita lainnya. Wajahnya polos tanpa riasan yang berlebihan, tetapi itu membuat auranya semakin terpancar.

Lift berbunyi, membuyarkan Aiden dari lamunannya. Ia langsung berjalan keluar dari lift, disambut oleh asistennya. Asistennya itu tampak sangat cantik dengan rambut coklatnya yang terurai. Ia mengenakan blus putih dan rok hitam yang rapi. Sepatu hak tinggi berwarna merah menghiasi kakinya, membuatnya tampak semakin seksi. Namun, di mata Aiden, asistennya itu tidak berarti apa-apa. Hanya Anya yang memenuhi pikiran Aiden saat ini.

Anya terperangah saat melihat asisten Aiden. Apakah menjadi seorang asisten membutuhkan penampilan yang cantik seperti ini? Wanita ini seharusnya menjadi model, bukan asisten!

Melihat kecantikan asisten Aiden itu, Anya sedikit menundukkan kepalanya, merasa khawatir terhadap penampilannya saat ini.

Wanita itu mengernyit saat melihat kedatangan Anya. Ia menatap Anya dari ujung kaki ke ujung kepala, merasa aneh dengan kehadiran seorang wanita berpenampilan seperti ini di kantor bosnya. Ditambah lagi, wanita ini datang dijemput secara khusus oleh Aiden. Walaupun ketidaksukaannya pada Anya terpancar dengan jelas, ia tetap bersikap sopan dan profesional.

"Elise, tunda semua rapat." Kata Aiden sambil berlalu begitu saja di hadapan asistennya. Ia bahkan sama sekali tidak memandangnya, meskipun wanita bernama Elise itu terus menatap wajah Aiden.

"Baik, Pak." Jawabnya dengan sopan, namun kekecewaan bisa terdengar dalam suaranya. Kemudian, ia mengalihkan pandangannya, menatap Anya dengan tatapan tajam. Anya sedikit tersentak ketika melihat tatapan itu, kemudian ia berlari kecil untuk mengejar Aiden. Tatapan Elise membuatnya takut. Tatapan itu seperti tatapan wanita yang cemburu saat kekasihnya bersama dengan wanita lain.

Anya terpana saat melihat ruangan kantor Aiden. Ruangan itu begitu luas. Meja kerja hitam berdiri dengan gagah, sementara berbagai dokumen berserakan di atasnya. Di sisi lain ruangan terdapat sofa besar yang bahkan bisa digunakan untuk tempat tidur. Saat Anya masih tinggal bersama dengan ayahnya yang kaya pun, ia tidak pernah memiliki sofa sebesar ini. Di dekat sofa itu, terdapat sebuah pintu yang terbuka lebar, menuju ke kamar tidur. Anya merasa heran saat melihat kamar tersebut. Untuk apa ada kamar tidur di kantor?

Sayangnya, ruangan yang luar biasa mewah itu tidak mendapatkan cahaya matahari langsung karena jendela besarnya ditutupi dengan tirai. Anya bisa membayangkan betapa indahnya ruangan itu jika cahaya matahari meneranginya. Ia juga bisa membayangkan betapa indahnya pemandangan yang terpampang dari jendela besar tersebut, pemandangan jalanan kota yang ramai di bawah langit kebiruan.

Aiden duduk di sofa, mengamati saat Anya memperhatikan isi ruangannya dengan tatapan takjub dan mulut yang menganga membentuk huruf "o". Ia tersenyum melihat tingkah wanita itu. Wanita ini sangat menarik untuk diperhatikan, ia tidak akan pernah bosan melihat tingkah lakunya.

Ia berdeham pelan, membuat Anya tersentak dari ketakjubannya dan berjalan menuju ke sofa di hadapan Aiden. Setelah Anya duduk, Aiden tidak mengatakan apa pun. Situasi saat ini membuat Anya kembali merasa canggung. Ia menyisir rambutnya ke belakang telinga, tidak tahu harus berbuat apa.

"Aku … Aku dengar, kamu mencariku." tanya Anya, memecahkan keheningan di antara mereka.

"Hmm …" Aiden hanya menjawabnya dengan singkat, tidak berniat untuk mengungkapkan apa niatnya mencari Anya.

Melihat Aiden tidak meresponnya, Anya merasa kebingungan. Mengapa pria ini begitu misterius? Apa sebenarnya tujuannya mencariku? Mengapa sekarang ia tidak mengatakan apapun setelah bertemu denganku?

"Mengapa kamu mencariku?" Anya memberanikan dirinya untuk bertanya pada Aiden, walaupun sebenarnya ia merasa terintimidasi dengan keberadaan pria di hadapannya ini.

"Bukankah kamu menolak untuk bertemu denganku?" tanya Aiden dengan terus terang.

Anya merasa gugup saat mendengar pertanyaan itu. Ia memang telah menolak jemputan Abdi dan tidak mau bertemu dengan Aiden sebelumnya. Tetapi saat ini, ia benar-benar membutuhkan bantuan darinya. Ia harus segera mencari alasan.

"Aku tidak mau masuk ke kendaraan orang yang tidak dikenal. Aku berencana untuk menemuimu setelah mengunjungi ibuku di rumah sakit." Hanya itu satu-satunya alasan yang terpikirkan olehnya saat ini.

Alis Aiden terangkat saat mendengar jawaban Anya. Ia tahu wanita di hadapannya itu sedang berbohong. Entah apa yang mengubah pikiran Anya sehingga akhirnya ia mau bertemu dengannya. Tetapi ia tidak masalah dengan kebohongan Anya. Setidaknya, sekarang wanita itu berada di depannya.

Di bawah tatapan Aiden, Anya semakin merasa gelisah. Apakah kebohonganku telah terbongkar? Apalagi yang harus kukatakan?

Seolah terselamatkan, pintu ruang kantor Aiden tiba-tiba terbuka. Elise membawa dua cangkir teh dan menyajikannya di hadapan Aiden dan Anya.

Anya mengucapkan terima kasih pada Elise, tetapi wanita itu sama sekali tidak menggubrisnya dan malah menghadap ke arah Aiden seolah menantikan respon dari pria itu.

Aiden sama sekali tidak memandangnya. Ia tidak berterima kasih dan bahkan tidak menyentuh teh yang dibawakan oleh Elise.

Aiden tahu Elise sengaja masuk ke ruangan kantornya, bukan hanya untuk mengantarkan teh itu. Tetapi ia juga penasaran dengan apa yang dilakukan olehnya dan Anya. Kalau saja, wanita itu tidak pintar dan cekatan dalam mengerjakan tugasnya, Aiden pasti sudah memecatnya.

Elise sudah bekerja cukup lama di kantornya dan mengerti seluk-beluk perusahaannya. Pengalamannya itu membuatnya jarang sekali melakukan kesalahan. Sayangnya, Aiden menyadari bahwa Elise menaruh hati padanya dan sikapnya semakin lama semakin agresif. Dulu mungkin ia hanya akan memandangnya dari kejauhan, tetapi sekarang ia berani memasuki ruang kantornya tanpa ijin dengan alasan mengantarkan teh. Mungkin ia harus memecat asistennya ini? Harris saja sudah cukup untuknya ...

Setelah meletakkan cangkir teh itu, Elise tidak langsung keluar dari ruangan. Ia berdiri di samping Aiden seolah menunggu perintah lebih lanjut dari bosnya itu.

Hal ini membuat Aiden merasa semakin kesal. Ia mengibaskan tangannya, menyuruh Elise untuk segera keluar dari ruangan tersebut. Melihat perintah dari bosnya itu, Elise tidak bisa berbuat apa-apa selain pergi dengan lesu.

Sementara itu, Anya memandangi kepergian Elise dengan tatapan cemas. Ia merasa tidak rela melihat Elise berjalan keluar dari ruangan ini. Ia tidak mau ditinggalkan seorang diri bersama dengan Aiden. Apa lagi yang harus ia katakan pada Aiden?

Suara pintu tertutup terdengar, Anya masih tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari pintu itu, sementara wajahnya terlihat gelisah dan gugup. Otaknya berputar dengan cepat, mencari jalan keluar dari situasi ini.

Apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus berterus terang dan langsung meminta bantuan dari Aiden?

Siguiente capítulo