"Miranda? Sedang apa kamu di sini?" tanya Victor yang kaget melihat Miranda ada di sampingnya.
"Aku mengikutimu sampai ke sini," jawab Miranda santai.
Victor lalu menatap Kirana dan Bastian lagi.
Miranda tidak tahan melihat sahabatnya melihat Bastian dan Kirana dengan wajah sedih. Ia menarik Victor menuju mobilnya.
Di dalam mobil Miranda dan Victor saling diam. Tidak bersuara. Victor terlalu sibuk dengan pikirannya.
Mobil Miranda berhenti di sebuah bar. Tanpa diminta, Miranda memesan sebotol whisky. Ia menuangkan segelas whisky dan memberikannya pada Victor.
"Kamu tahu dongeng The Little Mermaid karya Hans Christian Andersen yang dibuat tahun 1837?" tanya sambil melipat tangan di dada.
"Entahlah. Aku bukan tipe orang yang suka dongeng."
"Apa kamu mau dengar dongeng ini?"
Victor mengangguk. Tidak ada salahnya mendengar dongeng. Siapa tahu suasana hatinya akan baik setelah mendengar cerita Miranda.
"Pada jaman dahulu hiduplah seorang Putri Duyung Kecil. Ia tinggal di kerajaan bawah air bersama ayahnya, nenek, dan lima kakak perempuannya. Ketika putri duyung berusia lima belas tahun, dia diizinkan untuk berenang ke permukaan untuk pertama kalinya untuk melihat sekilas dunia di atas."
"Ketika giliran Putri Duyung Kecil untuk naik ke permukaan laut, ia menyaksikan perayaan ulang tahun seorang pangeran tampan yang diadakan di kapal. Putri Duyung Kecil jatuh cinta pada sang pangeran."
"Tak beberaa lama terjadi badai dahsyat yang menghantam dan menenggelamkan kapal. Putri Duyung kecil menyelamatkan pangeran yang tenggelam. Dia mengantarkan sang pangeran yang pingsan ke pantai dan meninggalkannya. Lalu ada seorang gadis menemukan pangeran di pantai."
"Putri Duyung Kecil yang merindukan pangeran akhirnya pergi mengunjungi Penyihir Laut. Penyihir dengan sukarela membantunya dengan syarat kaki manusia ditukar dengan lidah dan suara indah Putri Duyung Kecil."
"Kemudian Penyihir Laut memperingatkan Putri Duyung Kecil bahwa begitu dia menjadi manusia, dia tidak akan pernah bisa kembali ke laut. Kedua, apabila Putri Duyung Kecil tidak bisa memenangkan hati pangeran ia akan mati dengan hati yang hancur dan larut menjadi buih di laut."
"Setelah dia menyetujui pengaturan tersebut, Putri Duyung Kecil berenang ke permukaan dekat kastil pangeran dan meminum ramuan tersebut. Putri Duyung Kecil akhirnya bertemu dengan pangeran. Merekapun berteman."
"Suatu hari orangtua pangeran memintanya untuk segera menikah dengan putri dari kerajaan tetangga. Tetapi pangeran tidak mau karena dia sudah jatuh cinta dengan wanita yang menemukannya di pantai. Ternyata putri dari kerajaan tetangga adalah gadis yang menemukannya di pantai. Pangeran pun setuju untuk menikah."
"Di tengah kesedihannya, saudara-saudara Putri Duyung Kecil datang. Mereka membawakannya belati. Jika Putri Duyung Kecil berhasil membunuh pangeran dan membiarkan darah pangeran menetes di kakinya, dia akan menjadi putri duyung lagi."
"Namun, Putri Duyung Kecil tidak tega membunuh pangeran yang dicintainya. Dia malah menusukkan belati pada dirinya sendiri. Tubuhnya larut menjadi buih di lautan."
"Kamu tau apa makna di balik cerita itu?" Miranda bertanya setelah menceritakan kisah yang panjang.
Victor berpikir sejenak. Ia tidak terlalu menyukai dongeng sejak kecil. Jadi ia agak kesulitan memahami isi dongeng.
"Mencintai tanpa syarat?" Victor menebak.
"Bukan," jawab Miranda dingin.
Miranda menuangkan whisky lagi.
"Cinta itu egois, Vic. Kamu hanya punya dua pilihan ketika mencintai. Pertama, memperjuangkan dengan cara apapun. Kedua, kehilangan orang yang kamu cintai lalu kamu hancur," Miranda menatap Victor tajam.
Deg.
Untuk beberapa saat Victor tertegun. Benarkah cinta itu egois? Benarkah dia harus memenangkan Kirana dengan cara apapun?
"Jadi bagaimana?" Miranda bertanya.
"Aku gak yakin dengan semua ini. Aku bahkan gatau apakah aku bisa percaya sama semua rencanamu demi memperjuangkan cintaku sama Kirana," ujar Victor.
"Rencanaku memang belum tentu sukses membuatmu mendapatkan Kirana. Tapi kalau kamu tidak mencoba lalu kehilangan Kirana gimana? Apa kamu sanggup hancur seperti Putri Duyung Kecil? Patah hati?"
Kalau boleh jujur, ia tidak siap patah hati yang menyerah memperjuangkan Kirana. Ia tidak bisa membayangkan Bastian bersama Kirana.
Tapi mengikuti rencana Miranda juga sama beresikonya. Dia tidak bisa membayangkan kalau rencana itu gagal. Dia benar-benar akan kehilangan Kirana.
"Kamu bisa memikirkannya," kata Miranda pada akhirnya.
Miranda melihat Victor penuh keraguan. Jelas ini bukan sikap Victor yang biasanya. Kali ini Miranda benar-benar yakin kalau sahabatnya ini sudah jatuh cinta pada Kirana. Cinta sedalam-dalamnya.
Bukankan ini akan semakin menarik, batin Miranda senang.
Miranda dan Victor melanjutkan minum.
….
Victor berjalan terhuyung-huyung memasuki rumahnya di kawasan Pondok Indah. Ia benar-benar mabuk. Bagaimana tidak? Tadi Victor menghabiskan 2 botol whisky!
Di ruang tamu, Paman Hendri dan Bibi Diana tengah duduk sambil menonton TV.
"Hai, Ayah. Hai, Ibu," sapanya dengan mabuk.
Paman Hendri kaget. "Apa kamu mabuk?"
"Tidak," Victor senyum-senyum sendiri.
"Ya Tuhan. Anakku, kenapa kamu bisa kayak gini?" Bibi Diana buru-buru memeluk putranya yang berjalan terhuyung-huyung.
Paman Hendri mencium bau alkohol yang sangat menyengat dari tubuh putranya.
"Kamu minum berapa banyak, hah?" Paman Hendri tidak tahan dengan bau alkohol yang menempel pada tubuh Victor.
"Sedikit," Victor tertawa.
Paman Hendri mendecakkan lidah. "Lihat dirimu. Suka bikin onar dan sekarang mabuk-mabukan! Ayah membesarkanmu bukan untuk menjadi pecundang!"
"Heh! Sudah, sudah. Apa kamu akan terus mengomeli putra kita?! Untung dia selamat sampai di rumah," omel Bibi Diana.
"Kamu selalu membelanya. Buat apa dia selamat sampai rumah kalau kerjaannya menjadi pecundang tukang mabuk. Bikin malu aja!"
Kali ini Paman Hendri tidak ingin mengalah dari istrinya. Dia sudah muak dengan sikap istrinya yang selalu selalu selalu membela putra mereka.
"Aku juga gak pengen jadi pecundang!" tiba-tiba nada suara Victor meninggi. Ia melepaskan diri dari pelukan ibunya.
"Sebelum ayah memarahiku harusnya ayah bertanya kenapa aku pergi minum!" kata Victor dengan mata merah.
"Kamu…!" Paman Hendri mulai naik pitam.
Victor kesusahan berdiri tegak. Badannya sempoyongan ke kiri dan ke kanan.
"Harusnya aku yang marah. Bukan ayah. Harusnya aku yang marah dengan semua ini! Kenapa aku gak pernah bisa mendapatkan apa yang aku inginkan? Kenapa, hah?!!"
Melihat Victor membentak, Paman Hendri mendadak bungkam. Dia tidak menyangka putranya yang jarang sekali menggunakan nada tinggi bisa berteriak sekencang itu padanya.
"Jawab, Yah! Jawab kenapa aku selalu gagal mendapatkan yang kuinginkan!" Victor frustasi. "Ayah pikir aku gak pengen menang dari Bastian? Ayah pikir aku bahagia selalu kalah dari Bastian?! Aku capek!"
Victor mulai melantur.
"Sudah, sudah, Sayangku. Jangan dengarkan ayahmu. Dia gak berperasaan pada darah dagingnya sendiri. Kamu kejam sekali pada anak kita," Bibi Diana memeluk Victor.
Bibi Diana sangat kesal pada suaminya yang hobi memarahi putra mereka. Apa salahnya sih minum-minum? Toh Victor minum pasti karena menanggung masalah yang berat.
Dia memapah tubuh putranya yang setinggi 185 senti menuju kamar di lantai 2.
Melihat perilaku istri dan putranya, Paman Hendri hanya bisa menarik napas berat. Victor, putranya suka pulang malam dan minum-minum. Sementara istrinya, selalu memarahinya. Apa hidup ini juga adil baginya?!
"Gak hanya kamu aja yang lelah, Vic! Ayah juga capek punya anak kayak kamu. Punya istri kayak ibumu!" gerutu Paman Hendri frustasi.
Tanpa mempedulikan ucapan suaminya, Bibi Diana berteriak dari lantai 2, "yaudah kita cerai aja! Besok aku akan bilang pada ayah kalau kamu mau menceraikanku!!!"
Paman Hendri hanya bisa memukul-mukul dadanya frustasi. Apa boelh buat. Besok dia harus segera minta maaf pada istrinya sebelum Bibi Diana lapor ke kakek tentang semua ini.
Paman Hendri tidak bisa membayangkan dia kena omel kakek. Apalagi kalau istrinya lapor bahwa Paman Hendri ingin bercerai. Bisa-bisa kakek akan menghapus namanya dari daftar warisan!