Namara mengangguk sopan pada Thris sebelum benar-benar pergi. Pria itu tersenyum dan balas mengangguk. Setelah itu barulah dia menyusul Eros yang sudah melangkah terlebih dahulu.
Eros memilih berjalan jadi Namara bisa melihat keadaan desa Pdenderia dengan lebih jelas. Semalam suasana sangat gelap, dia hanya bisa melihat rumah-rumah dengan samar.
Di siang hari ini, suasana tidak terasa menakutkan. Ada beberapa warga yang sibuk dengan aktifitas sehari-hari. Mereka semua berasal dari kaum Geus, sama seperti Thris.
Sejauh perjalanan, Namara tidak menemukan seseorang yang berasal dari empat klan besar. Mungkin memang tidak banyak yang mengetahui desa tersembunyi ini.
Ketika Namara dan Eros lewat, mereka semua seakan menghindar. Tidak ada yang berani menatap secara langsung. Para kaum Geus itu hanya mencuri-curi pandang dengan takut-takut.
Hal ini membuat Namara merasa heran. "Apa mereka takut pada orang asing?" tanya Namara pada Eros.
"Di masa lalu kaum Geus memiliki bentrokan hebat dengan manusia lain. Mereka mewanti-wanti anak cucu mereka agar berhati-hati pada orang asing," jawab Eros.
Namara mengangguk. Akhirnya dia mengerti. Setelah meninggalkan rumah para warga, Namara dan Eros tiba di tempat yang cukup rimbun. Tak jauh di depan sana terdapat dua tugu batu yang berdampingan seperti sebuah pintu gerbang.
Eros melangkah menuju ke sana dan Namara pun mengikutinya. Mereka melewati dua tuga batu itu lalu pemandangan yang muncul di depan mata langsung berubah.
Namara merasa terkejut dengan perubahan pemandangan yang terjadi. Kini di hadapannya terdapat hutan luas dengan beragam suara binatang liar yang saling bersahutan. Ini jelas-jelas hutan belantara.
Dia kembali menoleh ke belakang. Ternyata seluruh desa Pdenderia benar-benar menghilang. Jika ada yang melihat kemunculannya, mungkin seseorang akan berpikir jika dia baru saja keluar dari udara kosong.
'Wah, ini menakjubkan,' puji Namara dalam hati. Jadi inilah yang dimaksud Eros. Desa Pdenderia memang menghilang dari pandangan di siang hari. Kalau begitu apa yang terjadi seandainya dia mencoba masuk lagi?
Dengan cepat Namara berbalik. Dia berlari mencoba masuk ke desa Pdenderia lagi. Namun, hasilnya memang nihil. Langkah Namara terus berlanjut di hutan itu tanpa bisa masuk ke desa Pdenderia.
Eros menghela napas ketika mendengar Namara berlari menjauh ke belakang. Dia menoleh lalu menatap Namara seperti sedang melihat idiot. Mesipun begitu, dia hanya diam tanpa berkomentar.
"Wah …. Itu benar-benar menghilang," celetuk Namara yang kemudian kembali berlari mendekati Eros. Dia baru saja menuntaskan rasa penasarannya. Jadi apa yang dikatakan pria itu memang bukan bualan semata.
Namara terlihat seperti gadis kampungan yang baru saja melihat kemajuan kota. Eros merasa seperti itu. Dia menggelengkan kepala lalu kembali menarik Namara mendekat. "Berpeganglah," katanya.
Tatapan Namara sedikit berubah. Sorot matanya seolah mengatakan, 'Apa kau sedang meremehkanku? Kenapa kau berbicara selah-olah aku belum pernah terbang denganmu?'
Dia memegang ujung baju Eros dan saat itu juga pandangannya berubah menjad buram. Dia menutup mata seraya berteriak keras. Oh Dewa, bagaimana Eros bisa terbang secepat itu?!
"Berhenti berteriak! Kau membuatku sakit telinga," tegur Eros dengan suara dinginnya.
Namara langsung menutup mulut. Sekarang pegangannya sudah berpindah ke lengan Eros. Pantas saja pria itu menyuruhnya berpegangan, ternyata dia mau mengebut.
"Bisakah … lebih pelan sedikit? Tuan, kau tidak menghargai orang lemah sepertiku," ucap Namara dengan lirih. Dalam keadaan seperti itu dia tidak memikirkan kekejaman Eros.
Eros tidak mengatakan apa-apa. Dia justru semakin mempercepat terbangnya. Sayap hitamnya mengepak lebih cepat. Namara hanya bisa memaki dalam hati. Lihat saja nanti, dia akan membalas ini semua.
Perjalanan ini memakan waktu yang cukup lama. Ini hanya berarti bahwa letak tempat bernama Selshi memang jauh. Namara menjadi semakin penasaran. Tempat seperti apa Selshi itu?
Setelah meninggalkan hutan belantara yang sangat luas, mereka melewati sungai panjang yang dipinggirannya terdapat perkampung kecil. Eros masih terus berlanjut sampai mereka melewati lautan luas yang sangat biru.
Namara melihat ke bawah dengan ketakjuban. Itu adalah bentang alam yang sangat indah. Seberapa banyak hal di dunia ini yang belum dia ketahui? Jika diberi kesempatan maka dia ingin mengenal dunia lebih luas lagi.
Setelah melewati lautan luas Namara bisa melihat daratan hijau yang luas. Kemudian Eros mulai turun untuk mendarat di sana. "Apa ini Selshi?" tanya Namara.
"Mm." Eros mengangguk.
Namara langsung melepaskan diri dari Eros. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tempat itu terasa sepi dan asing. Tidak ada suara-suara binatang liar. Hanya sesekali terdengar bunyi cicitan burung.
Bahkan untuk Namara yang hanya manusia biasa udara di sana sudah terasa tidak normal baginya. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang dari tempatnya. Namun, dia tidak tahu apa itu.
Eros melesat cepat ke depan. Situasinya terasa sedikit aneh dan dia ingin segera menyelidikinya. Bayangannya berkilat cepat membuat Namara merasa kewalahan.
"Dia benar-benar meninggalkanku," gerutu Namara. Dia melihat jalan kecil yang terbuat dari bebatuan yang ditata rapi. Jalan itu sudah mulai lapuk dan ditumbuhi rumput liar. Itu pasti bekas jalan para penduduk Selshi.
Namara berlari cepat menyusul Eros. Namun, tetap saja dia tidak bisa mengejar ketertinggalannya. Beruntung tempat itu tidak begitu menakutkan jadi dia tidak merasa gelisah meskipun sudah ditinggal Eros.
Setelah melangkah semakin jauh, Namara bisa melihat rumah-rumah yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh. Rumah-rumah itu sudah ditumbuhi lumut dan rumput liar. Sudah pasti rumah itu itu lama tidak dipakai.
"Ah, tampaknya ini tempat yang cukup bersejarah," gumamnya.
Dia terus melangkah mengikuti jalan kecil itu. Sinar matahari menembus dedaunan dan terkadang menimpa tubuhnya yang terus bergerak. Pandangannya terus mengedar ke sekeliling sehingga dia kurang memerhatikan langkahnya.
Tanpa sengaja kakinya tersandung batu lalu tubuhnya jatuh tersungkur. Lututnya menghantam jalanan berbatu hingga menimbulkan lecet yang terasa cukup menyakitkan.
"Sialan!" umpat Namara. Dia menendang batu berukuran cukup besar yang diyakininya sebagai penyebab dia terjatuh. "Batu yang lain ukurannya kecil. Kenapa ukuranmu beda sendiri?" gerutunya.
Batu yang baru saja ditendang itu langsung menggelinding ke rerumputan. Namara tidak memerhatikan itu lagi. Dia segera bangkit lalu mengusap lututnya sebentar. Untungnya tidak ada darah yang keluar.
Setelah itu dia segera berlari menyusul Eros. Jangan sampai pria itu marah gara-gara dia sangat lambat.
Apa yang tidak Namara ketahui adalah terjadi sesuatu pada batu yang baru saja ditendang. Batu seukuran kepala manusia itu tiba-tiba bergetar beberapa kali. Asap hijau keluar menyelimutinya.
Tak berselang lama kemudian batu itu tiba-tiba melayang naik ke udara. Sebuah tawa keras terdengar dari benda itu. "Seseorang telah datang! Seseorang telah datang!" teriaknya sambil melesat pergi entah ke mana.