webnovel

Hati yang berbicara

Khanza sudah berdiam diri tanpa kata meski kini hanya berdua saja dengan sosok laki-laki yang selalu di godanya selama ini. Berbeda dengan sebelumnya, dimanapun ada kesempatan waktu berdua, mereka selalu tertarik untuk bermesraan seolah sudah dibusat candu oleh satu sama lain. Dan kali ini, Khanza sungguh mengacuhkannya untuk yang pertama kali.

Cup!!!

Akhirnya pak Gibran memberanikan mengecup singkat pipi Khanza, sontak membuat Khanza terkejut menoleh dengan kedua mata yang melotot. Dia tidak percaya jika pak Gibran akan melakukan hal itu diirumahnya sendiri, bagaimana jika nanti ketahuan oleh ibu Khanza yang sejak tadi ada di dapur entah itu benar atau tidak.

"Bapak!!!" panggil Khanza sembari memegangi satu pipi nya bekas kecupan pak Gibran tadi dan dengan sigap pula pak Gibran mengecup singkat bibir Khanza, hal itu semakin membuat Khanza terpaku tak menghindarinya sedikitpun. Lalu kemudain mereka saling menatap sejenak, kini wajah Khanza yang semula memucat suah berubah menajdi merah jambu.

"Aku sangat merindukanmu, kau membuatku sangat cemas saat ibu mu memberitahuku bahwa kau jatuh sakit sudah dua hari ini." Ucap pak Gibran dnegan suara setengah berbisik.

"A,apa? Jadi ibu ku menemui bapak untuk hal ini?" Khanza kembai terkejut dengan apa yang di dengar, dia tidak percaya hal itu. Bagaimana mungkin ibu nya nekat menemui pak Gibran hanya untuk memberitahunya bahwa dia sedang sakit. Dalam hatinya mulai berpikir keras, apakah ibunya mulai menyadari hubungan terlarang mereka?

"Hem, aku langsung mengikutinya untuk datang kemari karena aku sangat cemas."

"Sudah lah, jangan bicara padaku lagi pak. Besok aku sudah akan ke sekolah lagi seperti biasanya, aku tak ingin begini terus seperti orang bodoh." Jawab Khanza dengan cetus.

"Katakan, apa kau sedang marah padaku karena aku telah mengacuhkanmu beakangan ini?" tanya pak Gibran berusaha meyakinkan asumsinya jika itu benar demikian.

"Pak, bagaimana perasaan mu padaku sampai detik ini?"

Pak Gibran mengerutkan kedua alisnya menatap Khanza, gadis yang tiba-tiba saja berubah cetus dan bahkan tak merespon hal genit yang biasa dia lakukan untuk menggodanya selama ini, tiba-tiba dia mulai mengingat dengan apa yang sudah dia lihat di kafe malam itu. Khanza dengan seorang laki-laki berdua saja di kafe itu.

"Lalu bagaimana dengan mu sendiri?"

"Aku berniat mengakhiri ini semua mas, aku merasa jika selama ini aku hanya menjadi permainan mu, aku telah berani menjadi pengganggu sebuah keluarga kecil yang bahagia. Bagaimana mungkin aku mengacaukan impian anak kecil yang ingin kedamaian selalu ada dalam kedamaian kedua orang tuanya."

Jawabna Khanza membuat pak Gibran terhentak lalu menegakkan setengah tubuhnya yang tengah duduk di dekat Khanza sejak tadi, dia mulai mengerti dan bia menangkap dnegan cepat apa yang di maksud oleh Khanza saat ini.

"Jadi itu benar kau, Za. Yang datang dengan seorang laki-laki, dia yang tanpa henti terus menatapmu sepanjang kalian melangkahkan kaki bersama."

Khanza tersenyum sinis akan pernyataan pak Gibran barusan, Khanza pun mengerti siapa yang di maksud olehnya saat ini, ya. Denis, dia pasti melihat itu semua.

"Aku menolaknya. Tolong bapak jangan menghakimiku dulu, karena itu tidak seperti yang bapak pikirkan. Jawab saja pertanyaan yang aku nantikan sejak tadi."

"Aku jatuh cint padamu, Za. Aku tidak tahu ini sejak kapan, tapi aku tidak bisa lagi mengendalikan hatiku yang terus memikirkanmu, aku selalu merindukan mu Za." Dengan tegas dan tanpa fa fi fu lagi, pk Gibran menyatakan perasaan konyol itu pada Khanza. Sehingga Khanza merasakan aliran darahnya berdesir hebat hingga ke ujung kepalanya. Perlahan pak Gibran meraih tangan Khanza untuk di genggamnya, di rasakannya tangan Khanza yang di penuhi oeh keringat dingin hingga basah.

"Pak, apa kau sudah memikirkannya sebelum akhirnya menyatakan perasaan itu padaku?" kini Khanza menarik pelan tangannya dari genggaman pak Gibran.

"Apa kau memintaku menyerah serta membiarkan peraaan ini begitu saja?"

Khanza menundukkan kepalanya, dalam hati dia merasakan sesak yang teramat dalam. Dia menyadari jika selama ini dia pun mulai jatuh hati pada sosok laki-laki yang kini sudah berkeluarga dan memiliki dua orang anak. Dia hampir gila dibuatnya, ini perasaan yang tak pernah dia duga sebelumnya. Dimulai dari kejahilannya yang hanya ingin sekedar menggoda guru baru yang menawan di sekolahnya kala itu, berakibat fatal. Senjata makan tuan, yaah.. kata pepatah itu yang kini di rasanya.

"Pak, aku cemburu melihat kau tersenyum hangat pada istrimu. Aku tahu ini slah, aku tahu aku tidak berhak, tapi aku…"

"Ssssttt… jangan di teruskan lagi, aku lah yang salah disini. Aku yang membiarkan perasaan ini tumbuh begitu saja, maafkan aku Khanza. Semua salahku, andai kita tidak pernah sedekat ini, mungkin perasaan kita tidak akan sejauh ini." Dengan tertunduk lesu pak Gibran menarik nafas berat berulang kali di hadpan Khanza, dan itu membuat Khanza ikut merasakan hal yang sama. Dia harus menerima resiko ini, kini mereka benar-benar terjeak dalam perasaan yang sama meski itu salah.

"Pak, bolehah aku meminta satu hal padamu?" tanya Khanza dengan suara lirih, membuat pak Gibran kini menolehnya dengan tatapan sendu. Khanza mencoba menatap lekat wajah laki-laki yang menggandrungi hatinya saat ini.

Oh Tuhan, aku tahu ini salah. Tapi tatapannya begitu beda kali ini, dia benar-bnar jatuh hati padaku. Aku tidak bisa melepasnya begitu saja jika begini.

"Jangan menyerah, jangan lepaskan aku dalam hatimu."

Detak jantung pak Gibran seolah berada pada puncaknya, debarannya tak kuasa dia tahan mendengar hal itu di sampaikan dengan jelas oleh Khanza, seorang gadis yang tak lain adalah muridnya, yang membuatnya kini seperti merasakan kembali indahnya jatuh cinta. Ingin, ingin sekali dia langsung memeluk erat dalam dekapannya, namun mengingat lagi kini mereka sedang berada di tempat yang tak memungkinkan menyalurkan perasaan bahagianya, dia hanya mampu tersenyum dengan mata berkaca-kaca.

Seolah Khanza pun mengerti akan hal itu, dia mencoba membalas dengan senyuman kecil yang tentu dengan gaya menggemaskan yang selalu dia lakukan ketika di depan pak Gibran. Sesekali dia mengedipkan matanya untuk menggoda pak Gibran, hanya cubitan manja di kedua pipi Khanza yang bisa dilakukan oleh pak pak Gibran.

"Ayo, makan dulu. Kau sangat kurus, jadi kedau pipimu mendadak seperti kerupu yang tersiram kuah bakso favoritmu di kantin." Lalu ppak Gibran menggodanya demikian.

"Biarin. Bapak kan yang membuatku begini, tanggung jawab sekarang. Supin aku makan!" titah manja Khanza pada pak Gibran.

"Baiklah, tapi harus habis ya. Dan langsung minum obat ini, besok kau harus pergi ke sekolah kembali dan mengejar materi pelajaran yang dua hari ini tertinggal. Ayo, a aaa" pak Gibran meraih kembali sepiring nasi di atas meja tadi lali menyuapi Khanza dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Sementara Khanza dengan senyuman nakal menuruti apa yang di perintahkan pak Gibran yang menyuapinya dengan kelembutan.

Siguiente capítulo