(POV - Gregory Shaw)
Aku benci tempat ini.
Salju... salju dimana-mana sepanjang mataku memandang, dan udaranya sangat dingin! Aku bergidik memandang lapisan es yang menempel di jendela kamarku, tidak ingin keluar dari selimut tebal yang membungkus tubuhku pagi ini. Lancaster sialan, apa Ia tidak bisa memilih negara yang lebih hangat? Kuseret kakiku untuk turun dari tempat tidur lalu mengumpat saat menyentuh lantai yang dingin.
Baru tiga hari berada di tempat ini dan aku sudah ingin membunuh seseorang, pikirku sambil berjalan ke dapur kecil di rumah yang kusewa untuk membuat kopi paling panas. Aku masih bisa merasakan rasa lelah dan stress saat Ella melahirkan beberapa hari yang lalu, ditambah jet lag, dan sekarang rasa frustasi... karena sepertinya di tempat ini Lana tidak bangun seperti orang normal pada umumnya.
Apa Ia tidak tahu pukul 8 pagi di Helsinki setara dengan pukul 4 pagi di San Fransisco? Bahkan langit di sini masih sangat gelap. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam kepala Lana hingga Ia harus mengunjungi danau sialan itu setiap pagi. Tidak banyak yang bisa dilihat selain es dan salju.
Aku hanya menguntitnya sekali hingga ke danau itu, sisanya kulakukan dari jauh... maksudku, dari dalam kehangatan rumah yang kutempati dengan secangkir kopi panas seperti yang kulakukan pagi ini.
Baru saja aku akan menuang kopi ke dalam cangkir, ujung mataku menangkap Lana yang berjalan keluar dari rumahnya dengan berlapis-lapis pakaian hangat. Ia berjalan sedikit lambat karena tumpukan salju baru yang turun semalam.
Kutarik salah satu sudut mulutku ke atas, kedua mataku masih mengikuti sosoknya yang perlahan berjalan semakin menjauh hingga aku hanya bisa melihat warna jaket parka hijaunya di antara putihnya salju. "Kuharap kau menikmati saat-saat terakhirmu, Lana." gumamku sebelum mengangkat cangkir kopiku.
Aku menunggu hingga Lana kembali setengah jam kemudian sebelum melanjutkan aktivitasku yang berikutnya; mengintainya lagi. Mungkin aku harus menambah skill itu di kartu namaku...
Gregorius L. Shaw Pengacara & Penguntit Profesional.
Mengetahui jadwal Lana menjadi sangat mudah bagiku karena aku menyewa rumah tepat di sebelahnya, tentu saja aku berhati-hati agar Ia tidak melihatku.
Lana bisa berlari ke ujung dunia dan aku tetap akan menemukannya.
***
Kuputar kunci mobil pickup sewaanku sekali lagi, berharap kali ini mesinnya mau menyala. Dealer mobil sewaan yang kukunjungi merekomendasikan mobil pickup untukku, Ia beralasan medan bersalju lebih mudah dilewati dengan pickup. Tapi sekarang aku merasa Ia hanya ingin aku mengeluarkan uang untuk rongsokan ini. Tapi, karena aku tidak bisa menyewa mobil yang terlalu mencolok kupikir mobil ini cocok untukku... hingga rongsokan ini mogok di depan rumah sakit yang dikunjungi Lana.
Aku bersumpah akan meminta kembali setiap sen uangku dari dealer sialan itu, pikirku sambil membanting setir didepanku.
Lana sudah pulang menggunakan taksi sepuluh menit yang lalu. Selama beberapa menit aku mempertimbangkan untuk mengikutinya atau tidak... Tapi jika hanya pulang ke rumah Ia akan baik-baik saja kan? Lagipula jarak rumah sakit dengan daerah tempat tinggal kami tidak terlalu jauh. Aku bisa meninggalkan mobil sialan ini disini dan menggunakan taksi juga untuk kembali.
Itu yang seharusnya kulakukan.
Tapi akhirnya aku tetap mencoba menyalakan mobil sialan ini hingga entah yang keberapa kalinya. Suara mesin yang terpaksa menyala mulai terdengar beberapa menit kemudian. Taksi yang ditumpangi Lana mungkin sudah terlalu jauh dari tempat ini. Kubuka salah satu jendela mobil dan membiarkan udara beku masuk ke dalam.
Jejak taksi itu masih tercium walaupun sangat samar tapi, hey, aku sudah mengatakan aku adalah penguntit profesional, kan?
Waktu menunjukkan hampir tengah malam saat aku berhenti di persimpangan menuju daerah rumah yang kami sewa, tapi jejak yang kucium membuatku yakin taksi itu tidak belok ke jalan yang seharusnya. Apa mereka salah jalan? Pikirku sambil mengikuti arah taksi itu pergi. Atau mungkin Lana sudah ada di rumah saat ini?
Jalan yang saat ini kulewati jauh lebih sepi dan gelap dari sebelumnya, hanya ada hamparan bukit yang tertutup salju dan beberapa bangunan yang berjauhan satu sama lain. Tanpa kusadari salju kembali turun hingga beberapa serpihannya masuk ke dalam mobil dari jendela yang terbuka.
"Aku benci musim dingin." gumamku pada keheningan malam. Beberapa kali suara burung hantu terdengar samar-samar dari kejauhan diselingi oleh lolongan serigala. Kurasa masih banyak binatang liar yang berkeliaran bebas di tempat ini, mungkin karena lingkungannya yang minim penduduk, hanya ada peternakan dan beberapa gudang yang terbengkalai.
Mungkin taksi itu sudah menurunkan Lana di rumah sejak tadi. Sesaat aku hampir saja memutar balik mobilku kembali ke rumah, jika bukan karena arah angin yang tiba-tiba berubah dan membawa bau yang sangat kukenal ke arahku.
Kupacu mobilku lebih cepat tanpa menghiraukan jalan yang licin atau roda mobil yang beberapa kali tergelincir. Satu setengah kilometer kemudian jalan yang sebelumnya banyak diterangi lampu penerangan kini terlihat lebih gelap. Kuhentikan mobilku di pinggir jalan lalu keluar.
Angin beku langsung menyambut wajahku saat aku turun dari mobil. Bau Lana tercium sangat jelas dari tempat ini. Kuendus udara dingin di sekitar sekali lagi dan tubuhku membeku saat aku mencium bau lain yang mengikutinya.
Darah.
Kedua taringku memanjang sebelum otakku sempat memproses apa yang terjadi. Hembusan angin berikutnya yang tersapu ke arahku membuat seluruh bulu halus di tubuhku meremang, adrenalin memompa jantungku sepuluh kali lebih cepat dari sebelumnya. Detik berikutnya aku sudah berlari mengikuti sumber bau itu.
Hal pertama yang kulihat adalah darah, tentu saja, karena terakhir aku minum darah adalah pagi ini. Tetesan darah berwarna merah pekat terlihat seperti lukisan di atas kanvas putih tumpukan salju. Seluruh indraku menjadi lebih tajam dari sebelumnya, insting berburuku muncul bersamaan dengan rasa laparku. Bau darah yang masih segar berbeda jauh dari darah botolan yang biasa kuminum, begitu pula rasanya, tidak ada yang bisa mengalahkan darah hangat yang berasal langsung dari sumbernya.
Kuhirup lagi udara di sekitarku dalam-dalam. Bahkan dari kejauhan pun aku bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di depan sana.
Suara geramanku muncul tanpa kusadari diiringi dengan seluruh bulu halus di tubuhku yang meremang karena rasa marah. Satu-satunya yang kuinginkan saat ini adalah darah dan rasa sakitnya.
Ia bahkan tidak menyadari kehadiranku sama sekali. Kedua tangannya sedang sibuk melepas celana jeans Lana saat aku menghantam tubuhnya hingga kami berguling di atas salju, aku tidak berhenti sedetik pun untuk mengatur nafasku, bahkan sebelum Ia membuka matanya kedua taringku sudah terbenam di tenggorokannya.
Tegukan pertamaku terasa sangat nikmat, terakhir kali aku meminum darah langsung dari manusia adalah saat aku bertemu Eleanor pertama kalinya. Suara teriakannya yang menyedihkan membuatku semakin lapar.
Darah segar dan panas membasahi tenggorokanku, manis dan sedikit pahit dari alkohol yang diminum oleh manusia ini beberapa saat sebelumnya, kurasakan beberapa tetes mengalir dari sela bibirku turun ke tenggorokanku.
Aku tidak berhenti saat merasa Ia sudah melemah di tanganku. Biasanya kami akan mematahkan leher buruan kami karena rasa kasihan, tapi kali ini aku ingin Ia mati dengan perlahan dan menyakitkan. Suara teriakannya semakin melengking memecah keheningan malam saat aku mematahkan beberapa tulang iganya tanpa mengenai organ vitalnya, juga kedua kaki dan tangannya.
Bau darah yang tercium tajam memenuhi paru-paruku, walaupun darahnya sudah tercampur alkohol tapi tetap saja tidak ada yang bisa mengalahkan kenikmatan meminum darah langsung dari sumbernya. Semakin ketakutan mangsa kami, maka semakin merangsang insting kami juga bau darahnya.
Kutarik taringku dari lehernya saat tubuhnya mulai menggelepar di tanganku, kedua matanya yang melebar menatapku dengan nanar. Tanpa mengusap darahnya dari wajahku, kutarik kedua sudut mulutku ke atas membentuk senyuman sadis yang mungkin menjadi hal terakhir yang Ia ingat sebelum Ia mati. Kulempar tubuhnya menjauh hingga beberapa puluh meter lalu kubalikkan badanku ke arah Lana.
Malam ini, seorang malaikat jatuh dari surga ke dalam pelukanku, pikirku sambil berjalan mendekatinya. Dan akan menjadi milikku selamanya.
Rambut pirang keemasannya terhampar di atas salju seperti membentuk mahkota di atas kepalanya. Darah berwarna merah pekat mengotori beberapa bagian di kulit pucat wajahnya, begitu juga air mata yang mulai mengering.
Beberapa serpihan salju mulai turun, melayang di antara gelapnya langit dan putihnya hamparan salju. Langkahku terhenti tepat di sebelahnya, aku menunduk untuk menatap kedua mata abu-abunya yang mulai kehilangan kesadaran.
"Sudah kukatakan padamu, aku akan menemukanmu." bisikku sebelum kedua matanya tertutup.
***