webnovel

Siapa yang lebih menderita 2?

"Membuatku merindukannya lalu kemudian mendatangiku dalam mimpi buruk!" -Rayhan Wardana.

.....

Ouch! William meringis ketika tanpa sengaja jarinya teriris pisau saat sedang memotong wortel.

Tiba-tiba saja ia teringat tentang adiknya dan perasaannya mendadak gelisah. Seperti ada sebuah batu yang mengganjal hatinya, William tidak memperdulikan rasa perih dari jarinya yang terus meneteskan darah, pikirannya melayang mencari jawaban kenapa perasannya menjadi tidak tenang.

"Astaga! Tanganmu berdarah!" Rose memekik ketika melihat William terdiam melamun sambil memegangi jarinya yang terluka.

"Mengapa kamu malah diam mematung dan bukannya cepat-cepat membersihkan lukamu! Apa kamu menikmati saat terluka?" Oceh Rose yang segera menarik William menuju wastafel dan mencuci tangannya.

"Kamu baik-baik saja?" Tanya Rose yang merasa khawatir karena William masih terlihat melamun.

"William... Apa yang kamu pikirkan?" Tanya Rose sekali lagi dan kali ini berhasil membuat William keluar dari dunia lamunannya.

"Terasa sakit..."

Rose tidak mengerti dengan ucapan William, ia melihat William memegangi dadanya dan Rose seketika merasa panik.

"Kamu baik-baik saja? Apa kamu memiliki riwayat penyakit jantung? Apanya yang sakit?" Tanya Rose bertubi-tubi sambil ikut menyentuh dada William.

"Hatiku sakit." Sahut William.

Rose tertegun mendengar jawaban William, mengapa pria ini mendadak sakit hati?

"Tidak akan ada hal yang buruk bukan?" Tanya William, matanya terlihat berkaca-kaca. William merasa mungkin terjadi sesuatu yang buruk kepada adiknya. Semoga saja firasat yang dirasakannya ini salah. William tidak mengerti dengan apa yang dirasakannya, ia hanya merasa tiba-tiba saja ingin menangis dan tubuhnya terasa lemas.

"Kamu baik-baik saja?" Tanya Rose hati-hati, William tidak menjawab, ia malah memeluk Rose erat membuat Rose hanya dapat terdiam pasrah dan perlahan membalas pelukannya.

"Semua akan baik-baik saja, tenanglah... Tidak akan ada hal buruk yang terjadi." Ucap Rose menenangkan.

Semoga saja... William berdoa dalam hatinya semoga saja adiknya baik-baik saja.

....

Rayhan tidak baik-baik saja, ia telah kehilangan kesadarannya ketika sampai dirumah sakit dan kini dokter tengah menanganinya.

Sammy menunggu di depan ruang oprasi sambil berdoa semoga Rayhan dapat terselamatkan.

Perawat keluar masuk silih berganti keruangan oprasi dimana Rayhan di tangani.

Dengan tubuh yang bergetar, Sammy meraih ponsel yang berada di sakunya.

Ia mencoba menghubungi Rose namun Rose tidak dapat dihubungi.

"Bertahanlah Ray..."

Tidak lama berselang, suara dering ponsel Sammy terdengar, sebuah nomor dari dengan kode luar negeri masuk menghubunginya.

"Tu..tu...Tuan..." Sammy menjawab dengan gelagapan, seseorang dibalik telepon sana terdengar tidak senang "Ada apa dengan suaramu?"

"Rayhan... Rayhan..." Sammy tidak sanggup untuk mengatakannya, ia takut jika nyawanya akan dihabisi jika sampai 'Tuan'-nya itu mengetahui keadaan Rayhan saat ini.

"Ada apa dengan anak itu?"

"Dia mencoba mengakhiri hidupnya dan saat ini kondisinya kritis."

Bukan suara marah yang terdengar tapi malah suara tawa yang membuat Sammy sangat terkejut mendengarnya karena 'Tuan'-nya lah yang memerintahkannya untuk membantu dan merawat Rayhan selama ini dan memastikan jika Rayhan baik-baik saja tapi tiba-tiba saja semua terbalik.

"Persiapkan saja pemakaman untuknya. Akhirnya hari ini tiba juga."

"Apa maksud Anda Tuan?"

"Tidak ada, aku berharap dia tidak selamat tapi bila dia selamat tetap awasi dan dampingi dia."

Panggilan telepon itupun terputus, tangan Sammy lemas, Malaikat pelindung itu tiba-tiba berubah menjadi iblis. Tuan yang selama ini ia anggap sebagai salah satu keluarga yang Rayhan miliki namun tidak ingin sampai identitasnya diketahui Rayhan adalah pria yang selalu memintanya memastikan keselamatan Rayhan, tiba-tiba saja menginginkan agar Rayhan tidak selamat.

Dunia kejam macam apa yang selama ini melingkari Rayhan.

Sammy yang sudah menggap Rayhan sebagai adiknya sendiri kini tidak kuasa menahan air matanya menangisi kemalangan nasib Rayhan.

"Bertahanlah Ray, jangan biarkan orang-orang yang menyakitimu menang melawanmu."

****

Suara ujung pena yang bersentuhan dengan permukaan meja memecah keheningan sebuah runagan dengan pencahayaan yang sedikit redup.

Sebuah bingkai foto yang sangat besar terpajang di ruangan itu. Dari balik meja Jackson tersenyum melihat bingkai foto keluarganya.

"Aku sudah memperingatkanmu, hiduplah menjadi William Alexander, menjadi anakku maka hidup kalian tidak akan kacau seperti sekarang."

Jackson tidak bisa berhenti tersenyum, sejak ia membawa William dan menjadikannya sebagai putra biologisnya menggantikan Mark, Jackson telah berkali-kali memperingatkan William untuk melupakan masa lalunya tapi William tetap bersikeras dan semakin dewasa ia semakin tidak terbendung untuk dapat menemukan Rayhan adiknya.

Walaupun awalnya ia hanya memanfaatkan William tapi lambat laun ia tidak dapat memungkiri jika perlahan ia mulai menyayangi William seperti putranya sendiri dan ia tidak ingin sampai kehilangan William untuk itu ia merencanakan semua ini agar meskipun William dan Rayhan akhirnya nanti bertemu, Rayhan akan tetap menolak kehadiran William karena Rayhan sudah pasti lebih membenci William karena William telah merebut kekasihnya dan William akan tetap menjadi putranya.

Sungguh rencana yang sempurna, gumamnya senang.

"Tidak ada yang boleh memecah keluarga kita."

"Sebanyak kamu membenci diriku William, sebanyak itu juga aku akan membuat adikmu membencimu..."

****

"Sewaktu aku kecil aku sangat takut akan monster yang bersembunyi di dalam lemari pakaian, setiap malam sebelum tidur aku selalu mengunci semua lemari pakaianku dan meletakan kunci-kuncinya dibawah bantal ku barulah aku bisa tidur dengan nyenyak setelah itu." Cerita Rose memecah keheningan karena William sibuk dengan buku bacaannya yang sangat tebal dan terlihat membosankan.

"Bagaimana denganmu? Apa kamu memiliki monster juga saat masih kecil dulu?" Tanya Rose, ia sebenarnya merasa penasaran dengan makna dari jawaban yang William katakan kemarin saat ia menanyakan tentang masa kecilnya, perkataan Jane tentang luka yang William miliki dan tadi William tiba-tiba saja merasa gelisah, semua itu pasti ada sebabnya, Rose tahu jika bercerita dapat menghilangkan bebannya untuk itu ia ingin William juga menceritakan tentang luka yang ia miliki.

"William, hey aku bertanya padamu dan berhenti membaca lembaran-lembaran membosankan itu. Mari kita mengobrol sebelum tidur, kamu bisa menceritakan apapun padaku." Bujuk Rose dengan senyum manisnya bahkan ia tidak sungkan untuk bergerak mendekat dan menarik lengan baju William.

"Aku tidak miliki cerita yang menarik." Jawab William tanpa menoleh tapi Rose tetap saja menarik-narik lengan bajunya dan membuat William akhirnya meletakan buku yang dipegangnya.

"Ceritakan saja tentang kehidupanmu." Ucap William, ia senang karena Rose memakai pakaiannya yang terlihat kebesaran di badannya tapi justru membuat Rose sangat menggemaskan sekaligus membantunya untuk menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal diluar batas pada Rose.

"Aku sudah menceritakan banyak hal padamu tapi aku sama sekali tidak tahu tentangmu."

"Kamu terdengar seperti seorang gadis yang mencoba mengorek informasi tentang pria incarannya." Goda William seraya mendekatkan wajahnya membuat Rose langsung refleks menarik kepalanya kebelakang.

"Ya sudah kalau tidak ingin bercerita, siapa juga yang penasaran."

"Pria kaku sepertimu memangnya apa yang menarik!" Sambung Rose tapi William terus mendekat bahkan hingga tanpa sadar Rose telah berbaring.

"Haruskah aku berubah menjadi pria yang manis dan lembut?" Goda William tersenyum sambil menyapukan jarinya menusuri wajah Rose dan jelas saja semua itu membuat Rose tegang dengan wajah yang memerah.

Melihat Rose yang bahkan telah menahan nafasnya, William kemudian kembali duduk dengan tegak sambil bersandar. Rose dapat bernafas lega kini serta kembali duduk tepat disebelah William.

"Monster? Sewaktu kecil ada satu monster yang membuatku bergantung padanya, awalnya ia terlihat seperti malaikat tapi kemudian entah mengapa aku merasa ia berubah menjadi monster yang menakutkan. Aku tidak dapat tidur dengan nyenyak, setiap malam aku merasa gelisah dan ketakutan, aku takut jika aku tertidur dan aku akan melupakan siapa diriku sebenarnya." Cerita William.

Mendengar dari apa yang William katakan sosok monster itu sepertinya bukan berasal dari imajinasinya melainkan sosok nyata.

"Dia membiarkan ragaku bebas tapi jiwaku terpenjara." Sambung William tersenyum sedih.

"Untunglah kamu sudah besar, apakah monster itu masih menghantui mu?" Tanya Rose berusaha untuk tersenyum walaupun ia dapat merasakan kesedihan yang William pancarkan dari tatapan kosongnya.

"Menurutmu bagaimana?" Tanya William yang tiba-tiba saja menoleh dan nyaris saja bibir mereka bersentuhan.

"Apa menurutmu monster itu masih menghantui ku?" Tanya William.

"Kamu bisa melawannya, aku yakin kamu tidak kalah kejam dengan monster itu." Jawab Rose.

"Benarkah?"

"Benar, kamu kejam, berhati dingin tapi..."

"Tapi?"

Tapi terkadang sangat hangat sehingga membuatku merasa nyaman...

"Rosie..." Panggil William karena Rose tiba-tiba saja melamun.

"Aku tidak takut padamu." Sahut Rose asal.

"Sungguh?"

Rose mengangguk pelan tapi ia sudah mengambil ancang-ancang untuk turun dari atas tempat tidur.

"Kamu yakin sayang?" Goda William tersenyum nakal dengan menyapukan ibu jarinya diatas permukaan bibir Rose.

"Tentu saja!" Jawab Rose setelah menepis tangan William lalu dengan cepat turun dari atas tempat tidur tapi sialnya William berhasil mencekal pergelangan tangannya dan menahan langkah Rose.

"Kamu tidak bisa kabur sayang." Gumam William seraya mendekat dan perlahan memeluk Rose dari belakang.

"Tuhan memang menciptakan mu untuk membuatku merasa nyaman saat memelukmu." Ucap William yang semakin mempererat pelukannya.

"Kamu harusnya merasa takut padaku, karena jika tidak, akan sangat mudah bagimu jatuh cinta padaku."

.....

Siguiente capítulo