webnovel

Bab 15. Pertemuan Setelah Dua Tahun

"Kamu menyalahkan Ayah?" udara di sekitar mereka seolah membeku dan ketegangan kembali terjadi. mereka baru saja bertemu setelah dua tahun meskipun mereka berada di kota yang sama. Tapi yang terjadi, seolah pertikaian antara ayah dan anak itu sama sekali tak bisa berakhir. Miris memang. Padahal persoalan yang terjadi antara mereka bukanlah masalah besar. Hanya masalah kecil saja. Tapi sayangnya kekeras kepalaan yang terjadi diantara keduanya membuatnya seolah menjadi masalah besar.

"Aku nggak mengatakan itu bukan? Aku hanya bilang Ayah yang memintanya. Menginginkan aku pergi ketika aku memilih keputusanku sendiri." Wajah ayah Berry membeku dan itu membuat Berry tahu jika lelaki itu sudah mulai terpancing emosi.

"Aku datang karena Mama. Aku akan masuk, mungkin Mama akan mencari keberadaan kita." Setelah mengatakan itu kepada ayahnya. Berry benar-benar masuk ke dalam sana kembali dan mendekati ibunya yang masih tenang dalam mimpi. Dia duduk di samping perempuan itu dan menggenggam tangannya. "Berry datang, Ma." Begitu bisiknya. Hanya bisikan saja. Karena Berry tak mungkin mengatakan dengan suara keras tak ingin mengganggu istirahat ibunya.

Ayah Berry ikut masuk tapi tak mendekat. Beliau duduk di sofa di ruangan itu sambil sesekali melihat ke arah ranjang rumah sakit. Melirik ke arah Berry, dan menatap lama ke arah putranya. Dia benar-benar putranya. Darah dagingnya. Dibesarkan dan dicintainya setulus hatinya. Sayangnya ketika lelaki itu sudah menginjak dewasa dan sudah memiliki keinginan dan pandangan hidup sendiri, beliau justru berubah memperlakukan seperti musuh.

Lelaki itu memang tidak suka keinginannya ditolak. Beliau selalu mengatakan kepada keluarganya jika keputusan yang diberikan untuk putranya adalah yang terbaik. Sedangkan Berry sendiri memiliki keinginannya sendiri. Keduanya tak mau mengalah, dan yang terjadi adalah mereka terpisah. Dan yang menjadi korban dari keegoisan dua lelaki itu adalah perempuan yang sekarang sedang berbaring di ranjang rumah sakit tersebut. Beliau mencoba menengahi mereka agar masalah itu tidak berlarut, sayangnya keduanya memiliki keras kepala yang sama.

"Berry?" akhirnya setelah menunggu selama beberapa jam, ketika suara adzan berkumandang, barulah beliau membuka matanya dan langsung melihat keberadaan putranya. Berry tersenyum melihat ibunya sudah bangun.

"Ma!" katanya. Kedua tangan Berry menggenggam tangan ibunya dan mengelusnya lembut.

"Akhirnya Mama bisa ketemu kamu." Perempuan itu ingin bangun tapi perutnya masih terasa nyeri. Lambungnya yang terserang, penyembuhannya tidak bisa instan dan tahapannya pun juga lumayan lama.

"Mama baring aja." Berry berbicara. Tatapan matanya menunjukkan jika ada rindu terpendam yang sangat dalam dirasakannya. Bukannya Berry tak mau untuk menemui ibunya, hanya saja dia tak ingin menambah beban perempuan itu jika sampai dia lagi-lagi bertengkar dengan ayahnya di depan beliau. Maka kesedihan yang dirasakan akan begitu banyak.

"Kamu terlihat sehat sekali, Nak." Genggaman tangan wanita itu juga agak mengencang. Beliau jelas merasakan rindu yang begitu berat kepada putranya. Tak ada seorang ibu yang tega membiarkan putranya hidup sendiri di luar sana sedangkan di dalam rumahnya sendiri seharusnya dia terpenuhi kebutuhannya.

"Semua berkat doa Mama."

"Lalu kenapa kamu nggak sempatin buat pulang? Kamu lupa kalau Mama masih hidup?" wajah Berry pucat ketika mendengar ibunya mengatakan hal yang demikian.

"Ma!" Berry semakin mendekat dan menunjukkan kesedihannya, "Kenapa Mama harus bilang seperti itu? Itu sama sekali nggak bener."

"Lalu kenapa?" Berry kemudian menjelaskan semuanya. Kegiatan apa yang dia lakukan selama ini dan bagaimana sibuknya dirinya demi untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Itu tidak mudah dilakukan. Apalagi dia memilih tetap kuliah normal dibandingkan mengambil kuliah malam seperti untuk karyawan.

"Kalau begitu kembalilah. Mama mau kamu kembali." Setitik air mata ibu Berry keluar karena merasa kasihan dengan putranya. Seharusnya lelaki itu masih bisa menikmati masa mudanya. Bukan justru terus bekerja.

"Berry masih bisa mengatasinya, Ma." Tolak Berry dengan halus. Berry sudah terbiasa dengan kehidupannya yang sekarang. Dia juga sudah nyaman dengan semua alur kehidupannya.

"Mama mau kamu kembali, Berry. Ke rumah." Ibunya tak pernah memaksanya. Dan sekarang justru wanita itu mengatakan dengan tegas jika Berry harus melakukannya.

"Kamu nggak sayang sama mama?" percayalah, ketika seorang anak kemudian ditantang dengan pertanyaan seperti itu, maka yang terjadi adalah keterdiaman. Tidak ada anak yang tidak menyayangi orang tuanya. Berry pun juga sama. Dia begitu sangat menyayangi ibunya. Tapi dengan cara beliau bertanya sungguh melukai hati Berry.

"Aku menyayangi Mama. Itu mutlak." Berry menatap tegas kepada ibunya dan mencoba membagi semua perasaannya lewat tatapan tersebut. "Bisa kita nggak bahas ini dulu, Ma? Kita harus fokus pada kesembuhan Mama. Boleh?" semakin pembahasan ini berlanjut, maka ini akan membuat rasa sakit ibunya bertambah. Dan akhirnya dia memutuskan untuk mengakhiri saja. Setelahnya dia pamit pergi ke masjid, untuk melaksanakan sholat subuh.

Memang bisa melakukannya di kamar tersebut, tapi dia lebih memilih untuk keluar karena kepalanya tiba-tiba berdenyut dengan kebingungan yang melayang di sana.

"Berry? Berry kan?" Berry menoleh ketika dia akan pergi dari masjid dan kembali ke ruangan ibunya. Mencari siapa orang yang baru saja memanggil namanya. Dan mendapati seorang lelaki dengan sebuah kemeja berwarna baby blue.

"Abang?" dia belum tahu nama lelaki itu karena memang mereka belum sempat berkenalan waktu itu. Berry mengangguk tanpa mengatakan banyak kata.

"Siapa yang sakit?" tanya lelaki itu lagi.

"Mama, Bang." Lelaki itu adalah Arka, kakak dari Cherry. Dia memang Koas di rumah sakit itu.

"Ow! Salam buat beliau. Cepat sembuh." Katanya dengan tulus. Berry mengangguk dan kemudian mereka berjalan beriringan untuk kembali. Tak ada dari mereka yang berbicara satu sama lain. Arka hanya diam pun dengan Berry. Mereka berjalan pelan dengan pikiran mereka masing-masing.

"Saya pergi dulu." Arka sampai di dekat sebuah mobil dan membukanya. Menatap Berry sebentar kemudian masuk ke dalamnya. Mobil itu segera melesat pergi dan meninggalkan Berry yang masih berdiri di sana. Meskipun Arka sudah pergi dari sana, Berry tak kunjung berlalu dari tempatnya berdiri dan hanya diam di sana seperti patung hidup.

Matahari jelas belum keluar dari tempatnya menandakan jika waktu sudah pagi. Rumah sakit juga belum ramai. Namun ada beberapa orang yang terlihat sibuk entah sedang mengerjakan apa. Kakinya melangkah dengan panjang-panjang seolah waktu akan segera berakhir jika dia tak melakukan itu.

Melepaskan nafasnya, Berry berulah berlalu dari sana. Dia harus segera sampai ke kamar ibunya kalau tidak mau beliau mencarinya. Langkahnya melangkah dengan dengan pelan dan ringan. Hari ini dia harusnya memiliki jadwal kuliah, entah dia nanti akan izin kepada dosennya atau akan tetap berangkat tergantung kondisi ibunya.

*.*

Siguiente capítulo