webnovel

Part 10

Ify terhenyak saat masuk ke kamarnya Rio sudah duduk manis di kasur. Hampir saja ia berteriak jika tidak menutup mulutnya sendiri.

"Ngapain kamu di sini?" tanya Ify tak ada manisnya sama sekali. Meski begitu, ada sedikit letupan bahagia karena akhirnya ia bisa melihat pemuda itu lagi setelah seharian tak menampakkan batang hidungnya.

Rio tak menjawab, hanya menatap Ify dengan pandangan kosong.

Ify mendekat dan duduk di sebelah Rio.

"Kenapa?" tanya Ify sambil membuka laptopnya, berniat untuk melihat video terbaru dari BTS yang konser di Thailand kemarin.

"Dia Dea," ucap Rio yang membuat Ify mengeryitkan keningnya.

Setelah berpikir beberapa saat akhirnya Ify paham dengan maksut Rio. "Kamu yakin? Bukannya Riko tadi memanggil Della, ya?"

Sejujurnya Ify juga bingung dengan kenyataan ini. Apa mungkin Dea memiliki kembaran?

"Mungkin kembarannya Dea." Ify nyeletuk membuat Rio mencoba menggali ingatannya tentang Dea.

"Seingatku, Dea ngga punya kembaran. Dia nggak pernah bercerita atau memperkenalkan kembarannya padaku."

"Mungkin dia lupa," celetuk Ify asal yang membuat Rio menatapnya tajam.

"Kenapa? Ada yang salah?" tanya Ify dengan ekspresi polosnya yang membuat Rio gemas dan kekesalannya hilang.

"Bukan waktunya bercanda lagi, secepatnya kita harus mengungkap kasus ini," ucap Rio menerawang.

Ify hanya mengangguk antara paham dan tidak karena saat ini fokusnya sudah ke konser BTS yang menurutnya sangat menakjubkan. Dunianya seolah hanya berpusat di laptop saja sehingga Rio yang berkali-kali memanggil tidak juga dipedulikan, membuat pemuda itu geram dan menutup laptop Ify.

"Yaaaakkkk! Apa yang kau lakukan?" jerit Ify tak terima.

"Kau tidak mendengarku," sungut Rio.

"Sudahlah! Jangan ganggu aku dulu, kenapa kau tidak memberiku waktu untuk senang-senang, heh?" Ify berang. Ia akan sangat marah jika apa yang menjadi kesukaannya diusik. Apalagi saat ia tengah fangirling seperti ini.

Rio terdiam dan menatap Ify dengan pandangan yang tak dapat gadis itu artikan. Seperti penyesalan, amarah, kebingungan dan entahlah. Yang pasti saat balik menatap Rio, Ify seolah ikut hanyut dan merasakan apa yang kini dirasakan oleh pemuda itu. Akhirnya dengan menghela napas panjang, Ify meletakkan laptop di pangkuannya ke meja belajar dan kembali duduk di sebelah Rio untuk mendengarkan rencana lanjutan dari pemuda itu.

"Jadi bagaimana?" tanya Ify pada Rio yang masih diam seribu bahasa.

"Kita harus memastikan dia Dea atau Della," ucap Rio.

"Caranya?"

"Datang lagi ke rumah Dea."

Mendengar ucapan terakhir Rio membuat Ify mendengus kasar. "Lalu kau pergi begitu saja? Ninggalin aku sendirian?"

"Memangnya kalau aku tetap sama kamu ada efeknya juga?" tanya Rio bingung.

"Setidaknya beri penjelasan, jangan kabur begitu saja. Ini masalahmu dan kau meminta bantuanku, setidaknya kau bersikap terbuka. Jangan membuatku bertindak seperti orang buta," sungut Ify.

"Oke, aku minta maaf soal itu. Hanya saja, aku terkejut mendengar kabar Dea meninggal. Rasanya itu tidak mungkin." Rio terpekur membuat Ify ikut terdiam. Ia benar-benar tidak tahu lagi harus apa setelah ini. Ia hanya tahu jika gelang itu milik Riko, lalu apa hubungannya Riko dengan Rio?

"Ah, kau kenal dengan Riko, 'kan?" tanya Ify saat ia baru menyadari satu hal itu.

Rio menggeleng lalu mengangguk. "Hanya sebatas tahu saja, tidak terlalu kenal. Dulu, kita pernah jadi lawan di turnamen balap."

"Lalu, kenapa gelang Riko bisa ada di kebun rumah kamu?"

Rio kembali menggeleng. "Itu yang masih menjadi pertanyaan. Apa mungkin Riko yang membunuhku? Lalu motifnya apa?"

Ify tak bisa menjawab karena ia memang tidak tahu apa-apa. Keduanya kembali terjebak dalam keheningan sebelum pintu kamar Ify terbuka tiba-tiba.

Gina dan Ray masuk dengan membawa seorang laki-laki tua dengan pakaian jaman dulu yang membuat Ify mengernyit bingung.

"Ada apa, Ma?"

"Mbah tadi sudah dengar sendiri 'kan? Anak saya ngomong sendiri, saya takut dia kesurupan. Jadi, Mbah bisa bantu anak saya?"

Ify melongo. Ia benar-benar tidak mengerti apa maksut Ibunya yang memanggil dukun kemari.

Dukun itu memandang Ify lekat sambil mengusap jenggotnya yang panjang.

"Sepertinya memang ada yang mengikuti anak Ibu," ucap dukun itu yang membuat Ify melirik Rio. Pemuda itu tetap duduk tenang dan sibuk dengan pikirannya, sama sekali tidak terusik dengan kehadiran dukun yang mungkin saja bisa mengusir kehadirannya di kamar Ify.

"Maksutnya apa sih, Ma? Aku nggak ngerti!" Ify menatap Gina dan Ray bergantian meminta penjelasan, tapi Guna tetap bungkam sementara Ray mengedikkan bahunya pertanda ia juga tidak tahu apa-apa.

Ify melirik Rio yang bangkit dan tanpa sengaja selimut ikut terseret. Hal itu membuat Gina, Ray dan dukun itu terlonjak kaget.

Ify menepuk keningnya pelan sementara Rio terkekeh. Kentara sekali jika ia sengaja melakukannya.

"Ma, tadi yang narik selimut siapa?" tanya Ray sambil mendekatkan diri ke arah Gina.

Gina menggeleng. "Mama juga nggak tahu."

"Aduh, Ma, Ray, kalian apaan, sih? Ini tadi Ify yang narik," seru Ify yang tak ingin semuanya menjadi runyam.

"Tapi Kakak 'kan diam saja dari tadi?" tanya Ray heran.

"Udah ya, Ma. Ify masih sehat dan waras, sekarang mau istirahat!"

"Tapi---"

"Udah ya, Ma. Ify ngantuk," ucap Ify sambil mendorong Gina, Ray dan dukun itu keluar. Tak sepatah katapun yang terucap dari sang dukun membuat Ify berpikir jika dukun itu hanya abal-abal.

Ify segera mengunci pintu dan membaringkan tubuhnya di kasur. Ia harus memutar otak untuk mencari jawaban yang masih menggantung.

"Sepertinya temanmu tadi mengenal Riko," ucap Rio tiba-tiba yang sudah berbaring di sebelah Ify.

"Hmm," jawab Ify singkat karena kantuk yang mulai membayang.

"Tanya saja padanya besok, mungkin dia tahu sesuatu."

Hening.

Rio yang heran pun menoleh dan mendapati Ify sudah lelap ke alam mimpi.

"Dasar tukang tidur," sungut Rio tapi ia tak berniat mengalihkan pandangannya. Wajah Ify yang tertidur tenang seperti ini membuat ia tampak seperti gadis polos. Tak terlihat sifat galak dan juteknya. Cantik.

Rio mengerjap, bagaimana bisa ia memandangi wajah gadis yang sedang tidur? Dengan telinga yang memerah, Rio memilih untuk pergi dari kamar Ify, membiarkan sang empunya beristirahat. Ia juga sangat tahu, memutuskan untuk membantunya bukan hal mudah, apalagi bagi Ify yang bisa dibilang buta dengan hal-hal seperti itu.

****

"Pastikan kamu berhasil melakukannya. Komisi akan aku transfer ke rekening kalian!" Telepon dimatikan. Senyum sinis tersungging di bibirnya.

"Kau siapa sebenarnya, hmm?" bisiknya lirih.

****

_Dee

Sidoarjo, 12 Maret 2020

Siguiente capítulo