webnovel

Part 8

Pagi sudah menyapa tetapi Ify masih lelap dalam tidurnya. Gina sudah membangunkan berulang kali, bahkan tempenya sampai gosong demi membangunkan Ify.

"Ify!!! Sudah siang kamu nggak sekolah, hah?"

"Hmmm!" Ify hanya menyahut dengan gumaman kecil.

Gina geram, padahal ia sudah cukup bahagia karena beberapa hari terakhir Ify rajin bangun pagi, tapi ternyata itu tak bertahan lama.

BYURR!!!

Gina benar-benar mengguyur Ify dengan air segayung membuat gadis itu kelabakan.

"BANJIIRRRR!!!"

Ify berteriak kalang kabut. Matanya masih setengah terpejam sehingga ia jatuh bangun menabrak barang-barang yang ada di kamarnya.

Gina yang melihat kelakuan Ify sebenarnya ingin tersenyum geli, tetapi rasa kesalnya masih mendominasi sehingga ia tetap melihat semua tingkah anaknya itu hingga ia sadar dengan kelakuannya sendiri.

"Mama!! Kenapa guyur Ify, sih?" Protesnya saat sadar jika air yang membasahinya adalah ulah Ibunya sendiri.

"Makanya bangun kalau nggak mau diguyur," ucap Gina santai lalu ke kamar mandi untuk mengembalikan gayung.

Ify mencak-mencak, tapi sedetik kemudian terdengar lengkingan nyaring.

"KYAAAAAA!!!!! AKU TELAT!!"

Seperti pagi-pagi sebelumnya, hanya dalam waktu sepuluh menit, Ify sudah siap di atas motor matic-nya.

"Maaa!!! Ify berangkatttt!!!" Pamitnya sambil menjalankan motor. Waktu yang ia punya sebelum terlambat hanya sepuluh menit. Untung saja jalanan agak lenggang karena hari Jumat, sehingga Ify bisa sampai di sekolah tepat saat bel masuk berbunyi.

Setelah memarkirkan motornya, Ify berlari ke dalam kelas dan menghempaskan tubuhnya ke kursi. Napasnya tak beraturan, keringat sebesar biji jagung tampak mengalir di pelipisnya.

"Habis dikejar anjing, ya?" tanya Gabriel yang tiba-tiba sudah berdiri di samping tempat duduk Ify.

Ify sedikit terlonjak kaget tetapi segera menormalkan ekspresinya.

"Bukan urusan kamu," jawab Ify ketus.

Sebenarnya Gabriel ingin menjawab, tetapi guru Matematika terlanjur datang. Akhirnya dengan berat hati ia kembali duduk ke kursinya.

****

Bel istirahat yang berbunyi membuat semua penghuni kelas bernapas lega. Setelah empat jam mata pelajaran diisi penuh dengan matematika.

"Arrgghh, kenapa matematika harus ada, sih?" gerutu Goldi. Ia mengacak rambutnya yang memang sudah berantakan.

"Kamunya aja yang bodoh!" sahut Ify sarkastik.

Goldi mendelik sinis, ingin membantah tapi memang benar adanya. Ia terlalu lemah untuk soal hitungan yang satu ini.

Agni yang sedari tadi diam menyeletuk. "Tumben hari ini hampir terlambat, Fy? Bukannya akhir-akhir ini kamu bisa berangkat pagi?"

Ify tertegun. Seketika ia teringat, biasanya ada Rio yang selalu ribut membangunkannya. Namun, sejak kemarin ia tak melihat penampakan pemuda itu. Tepatnya setelah mereka pulang dari tempat Dea.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" bisik Ify lirih kepada dirinya sendiri.

"Hah, kamu ngomong apa?" tanya Agni yang tak begitu mendengar ucapan Ify.

"Ah, tidak! Aku tidak bicara apa-apa," sanggah Ify sambil mengemasi bukunya dan dimasukkan ke dalam tas.

Suasana kelas mulai sepi karena banyak yang sudah meninggalkan kelas. Menyisakan Agni, Ify, Gabriel dan Alvin yang sibuk dengan novelnya.

"Kalian mau ke kantin?" tanya Gabriel tiba-tiba.

"Enggak."

"Iya."

Ify dan Agni berucap bersamaan.

Gabriel terlihat bingung karena jawaban berbeda dari keduanya.

"Jadi yang ke kantin Agni saja?"

"Iya." Ify menjawab

"Ah, tidak! Aku ke kantin sama Ify," sanggah Agni.

"Pergilah ke kantin sendiri. Ada hal penting yang harus aku lakukan!" Selesai bicara, Ify segera melenggang meninggalkan kelas.

"Kenapa dengan Ify?" tanya Gabriel bingung.

"Dia memang seperti itu," jawab Agni dengan santai. Sejak pertama berteman dengan Ify, Agni sudah paham dengan pribadi Ify yang moody-an. Agni menebak, pasti ada hal yang membuat Ify badmood hari ini. Hanya saja, penyebabnya Agni tidak tahu.

Setelah selesai membereskan barang-barangnya, Agni segera bergegas ke kantin karena perutnya keroncongan minta diisi. Meninggalkan Gabriel yang kembali kebingungan.

"Alvin, nggak ke kantin?" Gabriel memberanikan diri bertanya pada Alvin. Selama beberapa hari duduk satu bangku, tak sekalipun mereka mengobrol. Hanya saat keadaan terdesak saja, itupun Gabriel yang memulai terlebih dahulu.

"Tidak." jawab Alvin singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.

Gabriel menghela napas lelah.

"Apa mereka semua memang tidak membutuhkan orang lain?" gerutu Gabriel yang hanya mampu didengar dirinya sendiri.

****

Ify menghempaskan bokongnya dikursi taman belakang sekolah. Tempat pertama kali ia bertemu Rio. Tempat dimana ia selalu dihukum karena terlambat.

Beberapa helai daun yang sudah menguning tampak gugur mengotori tanah di sekitarnya. Ify mengambil satu daun yang sudah agak kecoklatan, mengamatinya sesaat dan berujar lirih, "Akankah semuanya terbuang seperti ini?"

"Apalagi setelah mati, akankah mereka dilupakan secepat daun gugur dari pohonnya?"

"Apakah hidup memang se-ironi itu? Apakah manusia ada untuk dilupakan?"

Ify terus bermonolog dengan daun yang terus ia amati. Entahlah apa maksut dari ucapannya. Mungkin hanya Ify dan Tuhan yang tahu.

"Apa kau sudah gila?"

Ify terlonjak kaget saat sebuah suara terdengar. Batinnya sempat terlonjak karena mengira jika Rio yang datang. Namun setelah membalikkan badannya, ia harus menelan kekecewaan karena yang datang adalah Gabriel, bukan Rio.

"Bukan urusanmu, ngapain kamu kesini?" tanya Ify tak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya kepada pemuda yang kini malah duduk di sebelahnya.

"Memangnya ada larangan untukku tidak boleh ke sini?" Gabriel bertanya balik yang membuat Ify bertambah gondok.

Memilih untuk tak meladeni Gabriel, Ify mengambil gelang di sakunya dan kembali mengamati. Ia sangat berharap Rio hadir, tapi entah kemana pemuda itu sejak kemarin tidak terlihat penampakannya.

"Kau dapat dari mana?" Ify tersentak saat Gabriel merebut gelang yang dipegangnya.

"Kembalikan!" Ify kembali merebut gelang itu dan menyimpannya di saku baju. Ia menatap Gabriel tajam memberi peringatan untuk tak ikut campur dengan urusannya.

"Aku tanya dari mana kamu dapat gelang itu?" tanya Gabriel lagi dengan nada yang lebih serius.

Ify mengeryitkan keningnya bingung dengan sikap Gabriel.

"Memangnya apa urusanmu?" tanya Ify sinis. Ia berniat untuk pergi meninggalkan Gabriel tetapi tangannya ditahan oleh pemuda itu.

"Karena aku tahu siapa pemiliknya. Sekarang aku tanya darimana kamu mendapat gelang itu?"

Ify melotot mendengar penjelasan Gabriel.

"Benarkah kau tahu siapa pemiliknya?" tanya Ify dengan mata berbinar.

Gabriel mengangguk kaku. Kini giliran dia yang bingung. Jika tadi Ify sangat ketus, kenapa sekarang ia begitu bahagia?

"Katakan, siapa yang pemilik gelang ini!" Ify terus mendesak.

Gabriel menghembuskan napasnya. "Aku yang bertanya lebih dulu, harusnya aku yang mendapatkan jawaban pertama." Gabriel tak mau mengalah. Ia harus tahu darimana gadis ini mendapat gelang yang sangat ia kenali itu.

"Katakan saja, nanti aku akan menjawabnya."

"Tidak mau, kau yang harus menjawabku terlebih dahulu."

"Tidak mau!"

"Yasudah, aku juga tidak mau!"

"Aku serius, ini menyangkut dengan nyawa seseorang."

Gabriel menegang saat mendengar ucapan Ify yang terakhir. "Apa maksutmu?"

"Cepat katakan saja, ceritanya panjang!" Ify tampak tak sabaran menunggu jawaban Gabriel.

"Itu milik sepupuku, dan darimana kamu mendapatkan gelang itu?"

Tanpa berkata apapun, Ify langsung menyeret Gabriel dari taman.

"Kita ke rumah sepupumu!"

****

See u next chap 👋👋

Thanks

_Dee

Sidoarjo, 10 Maret 2020

Siguiente capítulo