webnovel

Bidak Pertama

Ting tong ....

Aku suka suara bel itu. Dikombinasikan dengan suasana sejuk padang rumput yang luas ini. Selain itu, tempatku berbaring sekarang memang sangatlah empuk layaknya pulau kapuk. Sembari ditemani kopi susu yang entah dari mana kudapatkan dan memandang sebuah kumpulan air nan jauh dan luas di sana. Terkadang aku sedikit bertanya, kenapa ada banyak sekali air di sana? Apakah luasnya genangan tersebut tak berujung?

Ting tong ... Ting tong ....

Tak mampu untuk memikirkan kumpulan air itu. Disebabkan oleh sesuatu. Terkadang aku bertanya-tanya di dalam raga, dari manakah sumber suara dan kejanggalan itu? Aku sendiri malas mencari hal itu dan lebih memilih untuk tetap berbaring di tempatku.

Ting Tong Ting Tong Ting Tong ....

Kurasa semua ini akan usai. Aku mulai tak nyaman dengan suara ini. Hingga pada akhirnya mataku dipaksa untuk terbuka dan sadar kembali.

"Woii ... Raf ... bangun oee ...."

Ting Tong ...

Aku mendengar samar-samar suara seseorang. Namun, kenyataannya tak ada siapapun di kamarku. Aku mengucek mataku dan memang benar tak ada seorang pun di sini. Aku mulai bangun dari posisi tidurku dan meregangkan badan. Tak seperti biasanya, kali ini aku tak melihat jam sama sekali meskipun kutahu kalau suasana di luar masih cukup gelap. Aku langsung menuju kamar mandi dan segera membersihkan diri.

Selang waktu beberapa menit. Aku telah selesai mandi dengan kondisi handuk masih kugosokkan ke rambut. Aku baru sadar ada seseorang yang tengah berdiri di depan jendela kamarku.

"Woi, siapa di situ?"

Kurasa dia tak mendengarku. Aku langsung menghampiri pintu dan coba mengintip orang tersebut.

Cowok? Lebih baik aku langsung memberitahunya. Aku membuka pintu tersebut dan mencoba mengagetkannya.

"Woi!" ujarku datar.

"Kamu kira aku bakal kaget?" ucapnya tersenyum menghadap ke arahku.

"Ah ga juga sih ...," ucapku heran.

Ternyata Riki. Kukira Rio, tapi gak ada salahnya sih nih orang mencariku. Toh juga kamarnya di sebelahku.

"Ah udah sana pake baju! Udah jam enam kurang sepuluh menit nih!" bentaknya masih tersenyum.

"Lah trus?" tanyaku Heran.

"Aku tau kamu ke sekolah jalan kaki kan!" ujarnya masih dengan ekspresi yang sama.

"Yaa tapi-"

"Udah cepet sono!" bentak Riki mendorongku masuk ke kamar dan menutup pintu dari luar.

Ngapain coba maksudnya itu? Pagi buta ke kamarku. Perjalananku dari sekolah emang se'jam sih, tapi itu mah versi santainya.

Aku bergegas mengganti baju dan mempersiapkan perlengkapan sekolahku. Sembari memakai baju, Riki masih menunggu di luar kamar. Sesekali dia memainkan tasnya.

Setelah usai, aku langsung menggendong tas dan segera keluar dari kamar. Tak lupa juga untuk mengunci kamarku.

Tanpa basa-basi lagi aku langsung mengajaknya berangkat. Tumben saja dia mencariku ke kamar. Tak biasa sekali. Mungkin dia lagi irit biaya angkutan. Sampai-sampai mau jalan kaki bareng gini.

Di perjalanan, aku hanya bisa melangkah dan menatap ke depan saja. Kurasa perjalananku kali ini menuju sekolah tak akan setenang biasanya.

"Eh Raf ... kamu udah biasa yaa jalan kaki ke sekolah?" tanya Riki penasaran.

"Hooh," jawabku datar tanpa menatap mukanya.

"Wew lumayan tuh, bisa ngirit uang jajan, ongkos dari asrama ke sekolah ga murah-murah amat soalnya hehehe," balasnya tak lupa menjaga muka murah senyumnya itu.

"Hooh," jawabku masih dengan raut wajah yang sama.

"Astaga, kamu lemes amat pagi-pagi gini ...," heran Riki.

"Aku belum makan nih ...," jawabku lesu.

"Lah biasanya berangkat sekolah kagak makan?"

"Biasanya makan ...."

"Lah trus kenapa tadi kagak makan?"

"Negh aku ... nafsu makanku hilang pas ngelihat mukamu pagi buta di depan kamarku."

"Ah bisa aja bercandaan-"

"Seriusan lah!" potongku kesal mulai menatapnya.

Dia pun akhirnya terdiam sambil membuang muka ke arah lain. Inilah yang terjadi jika aku ketemu sama nih orang. Perjalananku yang seharusnya tenang malah jadi ricuh. Mending dah jalan berdua dengan cewek, sekalinya dicuekkin bakal diem. Lah kalau jalan ama nih mahluk, dikacangin juga tetep aja ngomong.

Namun, setelah kupotong ucapannya barusan. Dia tetap saja mengajakku berbicara, entah apa yang dia bicarakan. Hingga satu paragraf dari ucapannya terlewati. Akhirnya aku menemukan mini market di depan sana. Aku langsung berhaluan ke tempat itu dan berniat membeli makanan. Riki tanpa diberitahu langsung mengikutiku ke tempat itu.

Sejenak aku berpikir sesuatu saat sudah berada di dalam mini market ini.

"Riki," panggilku.

"Kenapa raf?"

"Ehmm ... tolong pilihkan roti yang menurutmu enak tapi harga terjangkau. Bayar dulu pake uangmu nanti kukembalikan. Aku harus mencari alat tulis," ujarku sembari menunjuk ke arah tempat alat tulis.

"Oh oke sip!" ucap Riki tersenyum.

Selang beberapa menit. Yang kukatakan tadi memang beda dengan kenyataan yang ada. Aku terlalu asik membaca buku yang dijual. Hingga akhirnya Riki menemukanku.

"Nih Raf rotimu ...," ucap Riki.

"Oh makasih, berapa?" tanyaku datar.

"8.500 aja ...," jawabnya tersenyum lebar.

"Kau gak korupsi, kan?" tanyaku memastikan.

"Enggak lah ... nih liat struknya."

Dia berkata jujur. Yaa sudah aku langsung memberinya uang pas dan mengajaknya melanjutkan perjalanan. Boleh juga nih orang kagak marah pas melihatku melakukan hal lain.

Sambil melahap rotiku. Kurasa sebentar lagi, dia akan berbicara dengan mulut penuh makanan.

"Nyam ... nyamm roafawel ...."

"Eh kutu! Habisin itu roti di mulutmu, baru ngomong!" bentakku.

Entahlah aku gak paham sama nih orang. Dia betah banget menghadapi orang sepertiku yang kapan saja bisa marah dan membentak orang lain. Selain itu, kurasa beberapa meter ke depan akan ada halte bus.

"Eh Raf ... aku mau nanyak nih."

"Apa?"

"Kamu ama Clarissa pacaran, ya?" tanyanya penasaran.

"Kalau kubilang iya, bakal percaya?"

"Ehmm ... bisa jadi!" ucapnya tersenyum.

"Kagak ah ... aku sama dia cuma teman aja."

"Hohoho ... apakah benar begitu?"

Tampang Riki mulai tersenyum curiga menanggapi perkataanku. Aku sendiri malas menatap tampangnya itu. Aku tetap fokus ke depan sambil menyantap rotiku ini.

Pas sekali! Ada penjual bubble tea yang buka. Aku melirik Riki. Dia menyadari lirikanku, aku langsung menunjukkan jariku ke penjual bubble tea di sana. Riki merespon tindakanku dengan menunjukkan jempol. Saat kami berdua sepakat. Kami langsung menghampiri kedai tersebut untuk membeli minuman itu.

Selang beberapa menit, saat pesananku jadi, aku langsung duduk dan menikmati minumanku. Sensasi nikmat itu seharusnya memang seperti ini. Pagi-pagi merasakan yang manis-manis. Ditambah nanti diriku akan bertemu seseorang yang manis pula.

"Woy Raf! Jangan melamun! Sudah jam tujuh lebih sepuluh menit nih ... nanti kita telat loh," panggil Riki memperingatiku.

Dia mah gak tau apa yang kurencanakan. Yaa tapi pagi ini tidak seperti biasanya sih. Soalnya aku ditemenin sama kutu.

"Bentar lah ... aku mau ngabisin minuman nih ...," ujarku masih menikmati bubble tea.

"Ah elah ga ada waktu! Sambil jalan aja."

Takut amat sama yang namanya telat. Aku pun mau tak mau harus mengikutinya. Setelah menghabiskan minumanku. Kami langsung bergegas. Lain hal nya dengan Riki yang jalan tergesa-gesa sambil meminum minumannya. Aku sendiri tidak bisa sepertinya.

"Minum sambil berdiri atau berjalan tidak baik loh-"

"Bodo amat! Waktu nih!"

Ah elah ... salah sendiri berangkat pagi denganku. Aku masih berjalan dengan sedikit santai sedangkan Riki sudah seperti orang kebelet poop.

Hingga pada akhirnya suatu halte bus telah terlihat jelas di depan kami. Sudah ada sesosok tuan putri yang memiliki kebiasaan buta arah. Yaa seperti biasanya sih. Setiap pagi dia selalu berhenti di halte ini. Padahal ada halte yang lebih dekat dengan sekolah.

"Eh Raf! Itu Clarissa ya?" tanya Riki.

Astaga jangan manggil dia dengan sebutan 'itu' dikira barang kali ya.

"Iya ...."

"Menurutmu ... dia nunggu siapa ya?"

"Nanti juga tau sendiri."

Kelihatannya Clarissa terburu-buru. Oh iya aku lupa sesuatu!

Aku mulai mempercepat langkahku sehingga mampu menyalip Riki. Bodohnya aku tidak memberitahunya tentang rencana pagi ini. Aku tau dia memang buta arah, tapi kenapa harus menungguku hingga jam segini?

"Ih lama banget siiihh, aku udah nungguin kamu dari tadi!" ujar Clarissa kesal.

"Yaa maap aku lupa ngasik tau kemarin-"

"Wew ... udah kayak nungguin pacar aja nih ...," celetuk Riki tersenyum jahil.

"Hah? Maaf yaa aku sama Rafael cuma teman," balas Clarissa.

"Sudah-sudah ... Clarissa, mending kamu duluan," suruhku

"Tapi kan ...."

"Lihat! Di depan sana ada Skyla ikuti saja dia! Masih ada yang harus kubicarakan dengan Riki," ujarku

"Ish ... kamu ini! Ya udah deh aku duluan."

Clarissa langsung meninggalkan kami. Sementara itu tak kusadari matahari benar-benar sudah menyoroti kami berdua.

"Ckckck ... pagi-pagi udah buat marah doi aja ...," celetuk Riki.

"Dah ku bilang ... Aku sama Clarissa cuma temenan ...," ucapku.

"Emangnya apa yang mau kamu omongin sama aku?" heran Riki.

Aku menyuruh Riki mendekat. Setelah itu, kucoba membisikkan sesuatu ke telinganya. Baru saja aku mengucapkan dua sampai tiga kalimat, ekspresinya mulai ketakutan dan resah.

"GAK AH! Aku gak mau sengaja telat barengan sama kamu!!" sergah panik Riki.

"Terus ama siapa? Clarissa?" tanyaku heran.

"Yaa gak juga lah! Lagian Clarissa kan punyamu!"

"Astaga mau kubilang berapa kali kalau dia itu bukan-"

"Bodo amat! Aku duluan!" Setelah itu Riki mulai berlari meninggalkanku.

Wah gak bisa dibiarin nih. Aku harus menyusulnya, gak enak rasanya kalau aku dihukum sendirian nantinya. Aku pun turut berlari mengejar Riki. Hingga akhirnya kumeraih dan menarik tasnya. Sampai-sampai kecepatan larinya berkurang.

"Apaan sih Raf!" bentaknya.

"Tungguin aku lah!" ujarku.

"Auh ah bodo amat!"

Riki mulai berusaha melepas paksa genggamanku. Bodohnya aku, dengan tangan kanannya yang bebas dia dengan mudah lepas dari tasnya. Hingga akhirnya dia membiarkan tasnya, lalu kabur meninggalkanku. Astaga kalau gini mah aku kelihatan harus membawa tasnya dong.

"Woi Clarissa! Skyla! Tunggu!" teriak Riki.

Untung kedua gadis itu tak mendengarnya dan tetap berjalan masuk ke gerbang. Sementara itu Riki menambah kecepatan berlarinya. Yaa aku sendiri tak bisa tinggal diam.

Hingga beberapa butir keringat telah bercucuran. Pintu gerbang telah tertutup rapat.

"Pak biarin saya masuk paaak ...," mohon Riki kepada pak satpam.

"Tidak bisa! Kamu telat! Nah adik yang lagi satu di sana! Cepat kesini!" bentak Pak Satpam.

Aku hanya mengangguk dan berjalan santai ke depan gerbang. Sedangkan Riki terkapar lemas di depan pintu gerbang tak menerima realita. Untung saja Clarissa selamat.

"Udah sabar Riki, jadiin pengalaman aja ...," ucapku memandangi Riki.

"Pengalaman buyutmu!" ujar Riki.

>==X==<

Oke misi pagi ini telah berhasil.

"Raf ... tunggu dulu ... capek nih ...," ucap Riki mulai lelah.

"Ah elah baru juga 55 kali ...," ucapku masih melakukan hukuman.

"Istirahat dulu yuk ... mumpung gak ada yang ngawas nih ...."

"Tanggung ... Lagi 45 aja nih ...."

Pada akhirnya Aku dan Riki kena hukuman push up seratus kali dan disuruh membersihkan toilet guru. Untung saja toilet guru, namun kami harus menyelesaikan hukuman ini dulu.

Suasananya sepi juga yaa, padahal niatku telat untuk menurunkan reputasi. Akan tetapi, siapa coba yang dapat melihatku begini. Kami dihukum tepat di depan sebuah patung yang nampaknya sudah jadi icon sekolah ini. Namun di sisi lain, Aku dapat melihat kelas kami yang berada di lantai dua.

Terlihat jelas para murid di kelas sedang bercanda, yaa namanya juga dapat jam bebas. Riki pun menyadari akan hal itu. Aku juga dapat melihat Clarissa yang sedari tadi hanya terdiam menulis sesuatu di bukunya. Positive think saja itu buku diary. Yaa menurutku beberapa cewek emang suka menulis begituan.

Eh dia melihatku! Jiah cepet amat mengalihkan pandangan. Kurasa dia masih marah soal yang tadi.

"Uhuyy ... kayaknya ada yang dicuekkin doi'nya nih," ucap Riki.

"Dasar bucin ...," ucapku menatap Riki.

Akhirnya kami berdua telah menyelesaikan hukuman push up. Riki terkapar lemas dengan posisi tengkurap. Sedangkan aku hanya bisa duduk bersila dan mengatur nafas. Matahari saat ini bagi kami sangatlah panas dan silau meskipun masih pagi hari.

"Halo ... kalian haus?" Terdengar suara seorang gadis menanyakan keadaan kami.

kulihat bayang-bayang seorang gadis menawarkan kami sebotol minuman atau mungkin ini hanya halusinasiku? Tunggu sebentar ... dia nyata, tapi ada yang aneh.

"Oee Riki ...."

"Napa Raf?"

"Aku gak ingat sekolah ini menerima seorang nenek-nenek ...."

"Ah yang benar?" tanya Riki yang masih dalam keadaan tengkurap dan wajah menatap tanah.

"Hooh kulitnya putih rambutnya juga panjang putih, tapi ... dari mukanya masih muda sih."

Riki mulai merasa heran mendengar ucapanku. Dia mencoba mengangkat mukanya dan sedikit terkejut setelah melihat gadis itu.

"Jaga ucapanmu Raf!" ujar Riki memperingatiku.

"Lah kenapa?"

Riki memegang pundakku dan berkata, "di di dia ... Ketua Kelas C."

Aku heran, kenapa orang seperti Riki bisa terbata-bata setelah menyadari kehadirannya? Menarik juga nih, aku penasaran dengan cewek yang satu ini apalagi penampilan rambutnya yang sangat jarang di sekolah ini.

"Kalian dari kelas A, kan? Mau minum?" tanya Gadis itu.

"Ah boleh-boleh! Wah pas nih Raf! Aku dari tadi udah haus loh!"

Astaga ... di balik senyum manisnya itu. Masih terlihat beberapa hal yang nampaknya tak sejalan dengan tujuannya. Topengmu itu kelihatan loh.

Wahai Ketua Kelas C.

>===o===<

Cerita ini adalah fiksi.

Semua orang, kelompok, tempat, dan nama yang muncul di Cerita ini.

Tidak ada kaitannya dengan dunia nyata.

Nächster?

Diplomatie

Siguiente capítulo