webnovel

Bab 14

Sudah hampir dua hari aku diam di rumah, setelah insiden penusukan itu. Romo Nathan berkali-kali menanyaiku, tentang siapa orang biadab yang melakukan hal keji seperti ini. Sebab menurutnya, hampir ndhak ada orang yang berani, pun mungkin memiliki dendam denganku. Apalagi, sampai melakukan perbuatan sejahat ini. Tapi, seberapa sering pun Romo bertanya, aku enggan menjawabnya. Cukup aku yang tahu perihal ini, masalah yang membuatku ndhak nafsu makan untuk beberapa hari belakangan.

"Juna, Juna...," kata Romo sambil menggelengkan kepalanya. Dia tampak menebas surjannya, kemudian menyesap kopi yang baru saja dibuat oleh Bulik Sari. Padahal, Romo ini ndhak boleh minum kopi sama Biung. Sebab asam lambungnya cukup kronis. "Perasaan, ya, sedari kamu kecil, meski kita jarang bertemu, kamu itu tak ajari bela diri, lho. Kok ya bisa-bisanya, setiap ada yang datang mengeroyok kamu kok selalu kalah."

Dan ucapan Romo Nathan, berhasil membuat Paklik Junet yang baru datang ke kamar cekikikan.

"Dia itu ndhak kalah, Kang. Tapi ngalah. Biasa, jagoan, kan, seperti itu. Kalau ditindas ngalah dulu, hahaha!"

Sumpah, tertawanya benar-benar ndhak lucu. Lagi pula, untuk apa kutu kerbau satu ini ada di sini. Bikin sakit mata, saja.

"Ngalah dari siapa? Siapa musuhnya, toh? Apa Minto? Ndhak mungkin," kata Romo yang dijawabi sendiri.

Aku ingin bertanya kenapa ndhak mungkin, tapi aku terlalu gengsi mengatakan hal itu.

"Kenapa ndhak mungkin, Kang?" tanya Paklik Junet.

"Ya, karena Minto sudah menang. Karena Minto sudah berani mengikat," jelas Romo.

"Ndhak penting siapa yang mengikat, yang terpenting adalah kepada siapa hatinya terpikat," percaya diriku. Padahal aku tahu, berkali-kali Manis bilang kalau dia jatuh hati sama Minto. Duh Gusti, lantas kenapa aku bisa besar kepala seperti ini.

"Kamu tahu, siapa yang berhasil memikat itu ndhak penting. Perempuan itu butuh lelaki yang memperjuangkan, bukan mintanya diperjuangkan, tahu?"

Aku diam, ndhak bisa lagi menjawab. Soal urusan asmara, aku yakin jikalau Romo Nathan jauh lebih paham. Tapi, kenapa aku malah menjurus jika asmaraku ini dengan Manis?

"Sama perasaan sendiri saja masih bingung, kok mau memperjuangkan. Yang ada, sebelum kamu berjuang, dia sudah bersama yang lain duduk di pelaminan."

"Romo, kok jadi bahas Manis, toh?" kataku pada akhirnya. "Siapa juga yang ada hati sama dia, kami ini sahabat, Romo. Kawan dekat."

"Iya, makan saja kata sahabatmu itu. Romo mau menemui saudara seperguruanmu dulu."

"Siapa?"

"Biungmu."

"Romo!"

Kuembuskan napasku setelah Romo pergi. Ini benar-benar membingungkan. Aku adalah anak Biung, pastilah ada dari salah satu sifatku yang sama dengannya. Walaupun itu sifat buruk sekalipun.

Kulirik Paklik Sobirin masuk ke dalam kamar. Membawakan secangkir teh, dan beberapa cemilan ringan. Kemudian, dia duduk sambil memijat kakiku.

"Paklik Junet, bisa ndhak kamu ambilkan aku beberapa buku di ruang kerjaku. Aku sedang jenuh, ingin membaca beberapa buku," kataku. Mengusirnya dengan cara halus agar dia ndhak mengganggu. Bukan apa-apa, hanya saja, aku ndhak begitu nyaman dengan gaya bicaranya. Pun dengan sifatnya.

"Sobirin, sana, ambilkan!" perintah Paklik Junet.

"Lho, aku menyuruhmu, Paklik. Bukan Paklik Sobirin. Apa kamu ndhak melihat jika Paklik Sobirin tengah memijit kakiku?"

Setelah beberapa kali Paklik Junet berdehem. Dia pun langsung berjalan pergi. Buru-buru kusuruh Paklik Sobirin untuk mengunci pintu kamar.

"Kenapa, toh, Juragan? Dia itu paklikmu sendiri."

"Aku ndhak nyaman sama dia, Paklik. Entahlah," kubilang. Paklik Sobirin kembali memijat kakiku, kemudian kulirik dia yang masih diam membisu.

"Juragan ini lucu, toh. Wong tertusuk sampai berdarah-darah, kok ya ndhak mau dibawa ke rumah sakit. Malah minta diurusi mantri saja. Untung luka tusukannya ndhak terlalu dalam. Jadi, ndhak terlalu parah," kata Paklik Sobirin.

Dia ndhak tahu saja, jika aku ndhak begitu nyaman dengan rumah sakit.

"Paklik, selama aku sakit ini. Saat aku istirahat, apakah...," kataku sambil melirik ke arah Paklik Sobirin. "Apakah Manis ke sini?" tanyaku hati-hati.

Paklik Sobirin mengangguk, dia masih memijatku tanpa berniat untuk berhenti meski untuk sesaat.

"Iya, Juragan."

"Menjengukku?" tanyaku yang semakin penasaran.

"Endhak, Juragan." Paklik Sobirin jawab.

"Sekadar mengintip, atau menjenguk diam-diam, mungkin?" tanyaku semakin ndhak terima.

"Lalu, untuk apa perempuan ndhak tahu diri itu berkunjung ke sini kalau ndhak menjengkukku? Bahkan, diam-diam melihat keadaanku pun, endhak? Kurang ajar!"

"Manis ke sini dipanggil sama Ndoro Larasati. Dibelikan beberapa pakaian yang pantas, serta diajari untuk menjadi perempuan yang pantas. Belajar menjadi seorang istri yang baik bagi suaminya," jelas Paklik Sobirin. Cih, istri yang baik. Seperti dia bisa saja.

"Kenapa harus rumahku yang menjadi tempatnya. Dia bisa, toh, melakukan hal yang ndhak berguna itu di rumahnya? Bikin sakit mata saja," ketusku.

Paklik Sobirin terkekeh mendengar ucapanku itu. Apa memangnya yang lucu dari itu.

"Juragan, Juragan... Juragan ini seperti es campur...," katanya. "Suka membual seperti Juragan Adrian, ketus seperti Juragan Nathan, dan perasaannya ndhak jelas seperti Ndoro Larasati."

"Ndhak jelas bagaimana, toh, Paklik? Aku jelas-jelas manusia ini, lho," kataku ndhak mau kalah.

"Ya, ndhak jelas. Sama perasaan sendiri saja ndhak paham. Saya, ya, Juragan. Melihat dari ciri-ciri Juragan itu ada hati sama Manis. Tapi, kok ya kemarin itu Juragan begituan juga sama si Arni. Arni itu sudah punya suami, Juragan. Mbok ya kalau main-main sama yang masih lajang saja. Kalau sama Manis, Juragan masih ada kesempatan utnuk berjuang, lho." jawab Paklik Sobirin.

Wajahku terasa panas, tatkala Paklik Sobirin mengatakan hal itu. Sejujurnya, apa yang dia katakan adalah benar. Arni sudah memiliki suami, akan tetapi seolah-olah, aku sudah terlanjur terikat padanya, dan susah untuk melepaskan diri. Seolah, aku telah melakukan sesuatu yang salah, dan harus mempertanggung jawabkannya.

"Ini seperti aku menggenggam gelas yang retak, Paklik. Hanya ada dua pilihan atas itu, menghancurkannya berkeping-keping agar orang lain yang mungkin akan menggenggamnya akan terluka, atau mencoba untuk menyatukan retakan-retakan itu kembali agar menjadi utuh meski itu adalah hal yang mustahil."

"Tapi, menurutku. Lebih baik Juragan melepaskan gelas itu. Terlukanya tangan orang lain yang mungkin akan memecahkan gelas itu, pula dengan mengembalikan gelas itu bagus lagi, sesungguhnya bukanlah tanggung jawab, dan urusan Juragan. Jangan bertindak terlalu jauh, Juragan. Itu benar-benar perkara yang ndhak baik. Terlebih, Juragan adalah seorang juragan besar, orangtua Juragan juga orang-orang besar. Sedikit kesalahan yang Juragan buat nanti, bisa menyakiti dan mencoreng nama banyak orang."

"Ucapanmu, Paklik. Benar-benar menusuk di hati," kataku sambil tertawa.

Paklik Sobirin pun ikut tertawa, kemudian dia memandang ke arahku untuk pertama kali. "Sudah banyak hal-hal tentang cinta, dan betapa buruk dampaknya yang kulihat dari orangtuamu, Juragan. Jadi, sebelum terlambat, sudilah kiranya Juragan mempertimbangkan semuanya."

"Iya, Paklik, sejujurnya aku juga paham. Jika apa yang kulakukan kepada Arni adalah salah. Dan dengan Manis...," aku terdiam sejenak mencoba menelaah apa yang kurasakan. Semuanya benar-benar membingungkan. "Dengan Manis aku ndhak tahu harus berbuat apa. Aku bersikap manis, dia ndhak peduli. Apalagi sebaliknya, jadi kira-kira Manis memang mungkin telah jatuh hati dengan kamitua bau tanah itu."

"Wah, Juragan ndhak tahu, ya. Adakalanya, marahnya perempuan itu berarti minta diperhatikan, pun dengan penolakannya, biasanya malah menginginkan sebuah bukti jika dia benar-benar layak untuk dicintai."

"Lalu, apakah aku bisa berjuang untuknya, Paklik?" tanyaku ragu.

Paklik Sobirin mengelus kakiku yang sedari tadi dipijatnya, kemudian dia memandang ke arahku lagi.

"Perjuangkan yang pantas diperjuangkan, Juragan. Tanpa ada harus ada... katanya bagaimanatoh...," kata Paklik Sobirin sembari mengingat-ingat. "Oh, lelaki pantas berjuang, asal ndhak ada hati yang harus dikorbankan. Kira-kira dulu seperti itu ucapan Juragan Nathan, Juragan."

Aku tersenyum kembali mendengar ucapannya. Memang benar, jika kata orang Romo Adrian adalah perayu ulung, maka orang pun benar menjuluki Romo Nathan sebagai pecinta ulung. Dari cerita orang-orang, dia bahkan sampai rela menunggu selama ini untuk Biung. Dan yang lebih mengesankan lagi, dia memperlakukanku sama persis seperti ia memperlakukan anaknya sendiri. Sungguh, ndhak ada Romo yang seperti dirinya.

*****

Sore ini aku sedang jalan-jalan di kebun belakang. Kurasa lukaku sudah cukup baik untuk sekadar berjalan, pun dengan pergi ke kebun lagi, besok. Aku masih ingat ucapan dari Bulik Amah, yang sudah beberapa hari memandangiku dengan wajah anehnya itu. Katanya, kabarku dilabrak Muri sudah tersiar ke penjuru kampung. Bahkan, Muri ndhak segan-segan bercerita kepada seluruh warga kampung, jika aku telah menggoda istrinya, malah-malah telah menidurinya. Dan nasib Arni, menjadi bulan-bulanan Muri. Disiksa sana-sini sampai kedua anaknya tidur dalam genangan air mata.

Gusti, sungguh, setelah memikirkan bagaimana perasaan orangtuaku nanti ketika tahu kabar dusta ini, aku juga memikirkan perasaan Arni. Bagaimana bisa seorang istri dihina sedemikian hanya untuk sebuah pembenaran? Dan itu, karenaku. Karena nafsu yang ndhak pada tempatnya, dan karenaku yang menawarkan cinta tanpa kuberpikir masak. Lalu, apa yang harus kulakukan? Jika aku lepas diri sendiri, Arni akan mendapatkan keburukan atas semuanya. Dia akan dicap sebagai perempuan penggoda, dan martabatnya pasti akan hancur. Aku ndhak mau itu terjadi.

"Bagaimana lukamu, Juna? Berjo sudah menunggumu. Tembakau di sana sedang bagus-bagusnya, sepertinya panen kali ini akan menakjubkan lagi." Paklik Junet berucap.

"Sudah sehat, besok kita ke sana, sore-sore saja...," kujawab.

Paklik Junet hanya mengangguk. Tumben benar dia ndhak banyak bicara. Biasanya saja, dia akan besar mulut bercakap ngalor-ngidul.

"Di dalam, ada apa, Paklik? Tampaknya ribut sekali," kutanya. Sambil melihat kamar Rianti. Kupikir tadi, adik perempuanku telah datang. Tapi, ndhak mungkin. Sebab kalau iya, orang pertama yang akan ditemuinya adalah aku. Bukan Romo atau Biung.

"Mbakyu Larasati, tengah memberi belajar, dan mendandani Manis agar menjadi perempuan seutuhnya. Agar jiwa laki-lakinya hilang, agar sikap kasar dan seenak udelnya juga hilang, agar menjadi Manis yang lemah lembut, da...."

Aku sudah ndhak memerhatikan lagi ucapan Paklik Junet. Sebab di balik jendela yang terbuka sana, kulihat sosok yang sudah ndhak asing lagi di mataku. Sosok yang kini penampilannya jauh berbeda dari biasanya. Sosok yang kulihat dulu saat kujumpa setelah beberapa lama terpisah. Sosok yang kini sedang mengenakan rok polos berwarna krem dengan lengan panjangnya yang indah. Rambut hitam legamnya yang kukira hanya sepunggung karena sering diikat asal pun tampak menjuntai meski masih dililit indah dengan seutas pita berwarna putih. Terlebih, riasan manis yang diberikan Biung pada wajah cantiknya. Sungguh, makhluk yang kulihat itu benar-benar telah mempesonaku.

"Jun--"

BUKK!!!

"Argh! Bangsat!" umpatku. Bagaimana bisa, buah mangga sialan menjatuhi kepalaku. Padahal, ada tempat lain yang pantas untuk jatuh selain kepalaku yang berharga ini.

"Haha, sakit?" tanya Paklik Junet di sela tawanya.

Aku mendengus, kuputar kepalaku memandang ke arah jendela kamar Rianti. Rupanya, semua orang yang sedari tadi ada di sana pun tertawa. Termasuk, Manis.

"Apa lihat-lihat? Ndhak pernah lihat perjaka ganteng kejatuhan mangga?!" ketusku.

Mereka menundukkan kepalanya. Mencoba menahan tawa sekuat tenaga.

"Yang namanya perjaka ganteng itu ndhak ada ceritanya kejatuhan buah mangga. Kecuali, perjaka yang sial!" jawab Biung mengejekku.

Untung itu Biung, coba kalau orang lain pastilah aku akan marah besar.

"Lihat, bayar!"

Setelah menebas kemejaku, aku pun pergi. Disusul oleh Paklik Junet yang masih saja tertawa.

"Tertawa lagi, tak jahit mulutmu, Paklik!" marahku.

Kemudian, Paklik Junet langsung membungkam mulutnya. Ndhak berani lagi dia tertawa.

Jujur, aku malu bukan main. Bukan perkara karena ditertawakan. Hanya saja, ada Manis di sana. Karismaku sebagai laki-laki hancur sudah sekarang, sebab diperlakukan ndhak adil oleh buah mangga sialan.

*****

"Arjuna, kamu bisa menolong Biung?" tanya Biung setelah aku hendak pergi ke kebun.

Kutarik sebelah alisku, menatapnya yang masih sibuk dengan daun kelornya. Aku yakin, nanti menu makan siang kami adalah, sayur kelor dengan ikan mujair yang kini sedang dipepes Budhe Inah, dan nasinya nasi jagung, ditambah sambal terasi, dan ikan asin kecil-kecil. Itu adalah salah satu menu kegemaran keluarga kami. Menu yang dikenalkan Romo Nathan yang katanya dari Jawa Timur daerah pinggir.

"Minta tolong apa, Biung?" tanyaku setelah mengamati. Padahal, baru saja aku mau pamitan.

Biung tampak menghentikan kegiatannya memetiki daun kelor, kemudian di memandangku dengan senyuman hangatnya itu.

"Tolong, antarkan Manis ke kota? Biung sedang butuh beberapa hal, dan Biung ndhak bisa pergi," pintanya.

Mau!

"Tapi, pagi ini rencananya aku hendak ke kebun, Biung? Para pegawai tampaknya sedang mencari-cariku," jawabku.

"Bisa diurus romomu, toh."

"Tapi, aku harus ke Berjo, Biung."

"Ke Berjo bisa besok-besok, Arjuna. Ini sangat mendesak, jadi--"

"Baiklah, dengan sangat terpaksa, dan karena Biung terus meminta, dan memaksa maka aku akan berangkat sekarang juga,"

Aku langsung pergi tanpa menunggu aba-aba Biung. Tapi, untuk sekian detik aku pun kembali lagi.

"Biung, memangnya nyuruh aku, dan Manis ke kota untuk apa?" tanyaku yang ternyata bagian terpenting dari tugas yang menyenangkan ini adalah amanat dari Biung tercinta.

Biung tampak menggeleng, kemudian dia mengambil secarik kertas dan diberikan kepadaku.

"Senang benar kamu mau pergi dengan Manis? Hayow, ada apa? Manis sudah ada yang punya, lho, Juna," peringat Biung.

Aku mengangguk, sambil melihat daftar yang harus kubeli. Rupanya, barang-barang yang hendak diberikan kepada perempuan-perempuan kampung, serta pesan untuk salah satu abdi dalem yang ada di kota. Setelah berpamitan, aku pun langsung keluar. Berniat menjemput Manis di rumahnya. Tapi sayang, belum juga aku menjemput, Manis sudah ada di depan rumah. Turun dari motor dan digonceng oleh Minto. Manis mencium tangan Minto, kemudian tua bangka itu mencium kening Manis lama. Aku yakin, jika Manis ndhak cuci muka dia akan tertular rabies tua bangka itu. Bibir kotornya, berani benar menempel pada kening bening Manis. Kurang ajar!

"Aku mau bertemu Ndoro Larasati dulu," pamit Manis pada Minto.

Aku seperti burung emprit saja sekarang. Diam, melihat, dan memerhatikan mereka berlakon.

"Nanti pulang tak jemput, ya, Ndhuk,"

"Iya...,"

"Iya, apa?" tanya Minto genit.

"Iya, Kang Mas," jawab Manis ragu-ragu.

Sungguh, rasanya ingin muntah benar aku mendengar panggilan itu keluar dari mulut Manis. Kang Mas? Cih, tua bangka itu ndhak pantas dipanggil Kang Mas. Tapi, pantasnya dipanggil Simbah.

Manis langsung masuk ke dalam, menyisakan Minto yang memandangku dengan tatapan anehnya itu. Ndhak sadar apa, mata penuh beleknya itu ndhak pantas memandang wajah bagusku.

"Tumben benar Juragan anteng. Ndhak berusaha memisahkanku dengan Manis lagi seperti kemarin-kemarin, ada apa?" katanya menyindirku. "Ohya, Juragan sadar diri akhirnya kalau Manis sudah menjadi milikku."

"Sudahlah, Kamitua. Ndhak usah percaya diri dulu. Yang menikah saja bisa berpisah, apalagi kalian," ejekku.

Kini, kamitua Minto tampak meradang. "Aku sudah tahu tabiat burukmu, Juragan. Lebih-lebih, perihal kabar kedekatanmu dengan Arni. Bahkan, kabarnya kalian telah melakukan hubungan terlarang secara diam-diam. Setelah merasakan tubuh Arni, kini Juragan mau Manis juga? Juragan, Juragan, berahimu sepertinya ndhak bisa dikendalikan. Menjijikkan benar sifat seorang Juragan seperti itu,"

Ujung bibirku berkedut mendengar ucapan dari Minto. Belum sempat kubalas ucapan Minto, Manis sudah kembali berada di luar. Aku diam, langsung masuk mobil, menunggu Manis di sana. Sungguh, rasanya ndhak enak benar perasaanku mendengar penuturan itu. Seolah-olah, aku menjadi laki-laki berengsek tukang merebut perempuan yang sudah menjadi milik orang lain.

Setelah melihat Manis masuk ke dalam mobil, aku langsung melesat pergi. Membiarkan Minto yang baru saja naik ke motor tuanya.

Siguiente capítulo