Dan setelah ciuman yang membabi buta, Arni mundur. Dia langsung mendorong tubuhku untuk menjauh. Matanya tampak nanar, wajahnya memerah memandangku dengan garang.
"Jangan lancang, Juragan!" bentaknya padaku yang membuatku kaget, aku yakin jika tadi ia pun menikmati setiap momen yang kita ciptakan berdua. "Aku... aku adalah perempuan bersuami yang telah memiliki anak. Jangan lancang menyentuh, apalagi mencium istri orang, Juragan! Perbuatanmu, benar-benar ndhak pantas!"
Jujur aku merasa tertampar dengan ucapan Arni. Seperti lelaki dungu, aku seolah-olah binatang yang ndhak punya malu. Gusti, kenapa aku bisa datang di sini, menghampiri perempuan ini kemudian mencumbunya. Sekarang, apa yang kudapatkan setelah kenikmatan tadi? Selain rasa malu yang teramat yang telah tertoreh di wajahku ini.
"Aku cinta kamu, apa yang salah dengan itu?" tanyaku. Dan itu adalah pertanyaan yang benar-benar bodoh!
Arni meludah, dia memandangku dengan penuh kebencian di bola matanya. Tapi entah mengapa, aku merasa di balik rasa benci itu, ada cinta yang meletup-letup.
"Cinta? Cih! Banyak perempuan lajang yang pantas Juragan cinta. Jangan berkata cinta kepadaku, Juragan. Itu benar-benar lucu. Dan perlu kamu tahu, laki-laki yang kucintai itu Kang Muri. Bukan laki-laki mana pun! Juragan, Juragan... bukan karena kamu memiliki banyak uang lantas kamu bisa merayu perempuan mana pun."
Aku tertawa membuat dia bungkam. Entah, sifatnya yang pendiam kini banyak bicara tampak begitu lucu. Apakah itu tulus dari hatinya ataukah kepura-puraan semata?
"Sudahlah, aku ndhak peduli," kubilang, dia menarik sebelah alisnya, tampak bingung dengan ucapanku. "Setia dengan suami adalah urusanmu, silakan jika kamu ingin. Aku malah bangga akan hal itu. Akan tetapi, di sini, meski salah, aku juga punya hak untuk mengutarakan perasaanku, toh?"
Dia memalingkan wajahnya, aku tahu jika dia malu sekarang.
"Ndhuk, oh, bukan... bukan. Mbakyu, aku pamit dulu, titip salam sama anak-anakmu yang lucu itu. Terlebih, titip salam sama suamimu. Jangan galak-galak," kubilang. "Nanti istrinya tak jadikan milikku kalau dia galak."
Aku langsung pergi, meninggalkan Arni sejauh mungkin jika bisa. Dadaku rasanya bergemuruh hebat, remuk, redam tapi ndhak berdarah.
*****
Saat ini aku sedang berada di kota, setelah beberapa hari mencari tahu tentang keberadaan Manis. Kini, aku dan manis hanya diam membisu setelah percakapan basa-basi kami.
Entahlah, aku sendiri juga ndhak tahu kapan jarak itu tercipta. Aku memang ndhak pandai untuk memulai percakapan layaknya yang lainnya. Tapi Manis sekarang, benar-benar berbeda.
Senyumnya kini telah hilang, banyak bicaranya pun telah menguap entah ke mana. Yang kulihat hanya seorang Manis, yang tertunduk penuh beban. Aku tahu jika mata itu menyimpan seribu duka, binarnya telah hilang, berganti dengan ribuan mendung yang siap untuk turun. Tapi, sekali lagi, Manis seolah ndhak ingin membiarkan itu terjadi.
"Kenapa kamu ndhak mengatakan masalahmu ini kepadaku, Manis."
"Ini urusanku, perkaraku, untuk apa aku memberitahumu?" dia bilang. Dan perkataannya benar-benar menyakitkanku. "Terimakasih telah datang kesini, Jun. Kupikir, kamu telah lupa," ucap Manis. Ucapannya seolah-olah menyindir, jika dia bagian yang ndhak penting untuk kuingat.
"Bagaimana aku bisa lupa, toh. Pada kawan baikku, pada adik perempuanku. Aku malah marah, lho, ini. Kenapa bisa hal sebesar ini ndhak kamu ceritakan kepadaku, Nis."
Dia tampak tersenyum getir, mata nanarnya memadangku sekilas kemudian ia mengalihkan pandangannya lagi.
"Untuk apa? Toh semuanya ndhak akan berubah meski aku bercerita...," dia bilang. "Kamu sudah sibuk dengan duniamu sendiri, Jun. Dan aku sadar, kita ini bukan lagi anak kecil yang tahunya hanya bermain, yang mungkin akan marah jika kawan sepermainannya ndhak lagi mau bermain bersama."
Kutundukkan pandanganku mendengar ucapan Manis. Jujur, baru kali ini aku mendengar ucapan sedewasa itu darinya, dan benar-benar membuatku sesak. Seolah-olah di mataku, dia adalah kawan yang ndhak penting. Padahal, bukan seperti itu. Bukan sama sekali!
"Lho, ada Juragan Arjuna, toh, di sini?"
Kudongakkan wajahku mendengar suara yang ndhak indah itu. Rupanya, dia Minto-kamitua yang sebaya dengan Romo berkunjung.
"Pak Minto, toh, ini?" kutanya, sebab aku bingung. Kenapa orang ini ada di sini? Padahal, toh, aku tahu, dia bukan kerabat dari Manis.
"Pak Minto, ayo... ayo, silakan masuk," kata Manis dengan begitu ramah.
Sungguh, mendengar Manis bicara semanis itu dengan Minto membuatku naik darah.
Kuikuti saja mereka, meski kutahu, Manis tadi telah mengusirku berkali-kali. Atau jangan-jangan, karena laki-laki tengik ini dia mengusirku?
"Bagaimana kabar Simbahmu, sudah baik?" tanya Minto yang benar-benar suaranya seperti petir busuk di siang hari.
"Baik, Pak. Baik," Manis jawab.
Kulihat dengan jelas, Minto berjalan mendekat ke arah Manis agar dia mungkin bisa beriringan dengan Manis. Mataku bertambah melotot tatkala tangan Minto merangkul pundak Manis, dan Manis hanya diam saja. Kurang ajar!
"Manis, aku ingin bertanya padamu...," kataku, berjalan kemudian mengambil posisi di antara mereka supaya tangan Minto lepas dari pundak Manis.
Manis memandangku sekilas, sementara Minto tampak jelas jika ia ndhak suka.
"Bayaran memetik tehmu kemarin, apakah kurang?" kutanya. Dahi Manis berkerut.
"Aku di sini sudah lebih dari seminggu, bayaran apa yang kamu maksud, Juna?" tanyanya.
Wah, bodoh benar aku ini. Lupa kalau Manis ndhak di kebun sudah lama.
"Itu--"
"Sudahlah, Juragan. Ndhak perlu mengada-ada seperti itu...," kata Minto seolah mencemoohku. Kurang ajar benar laki-laki tua ndhak tahu diri ini! "Manis, ayo masuk." lanjutnya.
Aku seperti kacung yang mengekori langkah keduanya masuk ke dalam ruangan simbanya Manis. Keduanya berdiri mendekat ke arah ranjang. Sementara aku hanya bisa bersandar di pintu. Memandang Minto dengan tatapan buayanya memandang Manis saat ini. Sungguh, aku benar-benar ingin mencongkel mata Minto kampret itu.
"Simbah sedang tidur. Pulas benar Simbah tidur. Sudah dari tadi," kata Manis membuka percakapan.
"Jangan diganggu, biarkan simbahmu tidur," jawab Minto dengan raut wajah yang aneh. Dia benar-benar seperti kerbau berahi.
"Arjuna, kamu ndhak pulang? Ini sudah petang, apa ndhak ada yang mencarimu? Barangkali para abdi dalem atau siapa itu," suara Manis tampak bergetar. Aku hendak membalas ucapannya, tapi lagi-lagi Minto menahan ucapanku.
"Benar, Juragan. Juragan ini orang sibuk, lho. Lama di luar, pasti banyak yang mencari. Apalagi ini sudah terlalu petang."
Seperti tamu, yang diusir tuan rumahnya. Aku seperti benar-benar orang yang ndhak tahu diri. Demi menjaga harga diriku yang ndhak dijatuhkan oleh Minto, aku pun berdehem. Kemudian memicingkan mataku sambil memandang ke arahnya.
"Siapa yang berani mencariku untuk membahas suatu perkara di saat aku sedang menjenguk Simbah dari kawanku? Bahkan, petinggi kampung pun ndhak akan berani melakukannya...," jawabku lantang. "Aku akan berada di sini sampai besok pagi. Bukankah, yang seharusnya sibuk mengurusi urusan kampung, dan anak-anakmu itu kamu, Minto? Kenapa malah kelayapan di sini?!"
Minto ndhak menjawab. Tapi, ia menyenggol bahu Manis. Mungkin dia menyuruh Manis untuk mengusirku. Tapi, aku ndhak mau!
"Arjuna, jaga bicaramu! Meski kamu Juragan, beliau ini adalah orangtua, lho!"
Dibentak seperti itu oleh Manis, hatiku benar-benar sakit. Ini adalah kali pertama aku dibentak olehnya. Lebih-lebih, karena lelaki biadab itu.
Kuusap wajahku dengan kasar, kuambil sebatang rokok dari sakuku. Manis tampak terkejut. Aku tahu, dan aku yakin dia bertambah marah. Sebab, dia adalah orang pertama yang mati-matian melarangku merokok. Tapi, dia juga orang pertama yang membuatku ingin merokok sekarang.
"Aku mau keluar dulu, nanti balik lagi," kubilang.
Kulirik dengan ekor mataku, Manis hendak berjalan ke arahku yang kini sedang membuka pintu. Tapi, ditahan oleh Minto. Rasanya benar-benar aneh, melihat pemandangan itu. Aku benar-benar membencinya.
Kuembuskan napasku pada udara luar yang terasa melepaskan cengkeraman sesak dari ruangan tadi. Kuhirup dalam-dalam aroma nikotin dari rokok yang kini sudah menyala. Kuingat-ingat lagi, kapan terakhir Manis menangis. Tapi otakku ndhak pernah menemukan hal itu. Di mataku, hampir setiap hari, dia selalu tersenyum dengan begitu riangnya. Dia selalu menampakkan jika dirinya baik-baik saja, sehingga aku ndhak perlu khawatir karenanya. Tapi, melihat Manis hari ini, semuanya tampak berbeda. Dia seperti gelas-gelas kaca yang retak. Begitu rapuhnya, sampai-sampai membuatku ingin mendekapnya agar angin pun ndhak bisa untuk menyentuhnya.
Tapi Minto, laki-laki itu. Dia benar-benar kurang ajar atau bahkan aku yang ndhak wajar? Tunggu... jika aku di sini, sama saja memberi kesempatan kepada laki-laki tua itu untuk melakukan hal buruk kepada Manis!
Aku segera membuang putung rokokku, berlari sekuat tenaga kembali ke ruangan Simbah Manis. Aku ndhak mau, Manis disentuh oleh laki-laki mana pun terlebih dia!
Setelah sampai di ruangan Simbah Manis, benar saja apa yang kuterka. Mataku menangkap Minto meremas bokong Manis dan menciumi lehernya. Manis tampak ketakutan, tapi dia sangat bodoh karena hanya diam saja tanpa melakukan perlawanan.
Kuambil langkah lebar-lebar agar cepat sampai pada mereka, meraih kerah kemeja Minto kemudian meninju perutnya keras-keras sampai dia tersungkur di lantai. Manis terkejut, tapi segera kutarik tangannya agar berada di belakang punggungku.
"Sekali lagi kamu sentuh Manis, akan kubunuh kamu dengan kedua tanganku sendiri. Jadi, sebelum aku benar-benar marah sekarang, sebaiknya kamu pergi!"
Minto langsung berlari keluar dari ruangan begitu saja. Bahkan, salah sayu bagian sendalnya tertinggal pun, ia abaikan saja.
Kubalikkan badanku memandang Manis yang tampak menunduk. Kemudian....
Plak!!!
"Kenapa kamu menamparku, Manis?" tanyaku setelah mendapatkan tamparan darinya. Aku benar-benar terkejut dibuatnya.
"Kamu yang kenapa, Juna! Kamu itu bukan Romoku, bukan Kang Masku, bukan keluargaku. Tapi, kenapa kamu bertindak kelewatan seperti ini."
"Kelewatan?"
"Ya, tadi. Kenapa kamu menyakiti Pak Minto? Dia orang yang baik."
"Baik?" tanyaku semakin terkejut. "Kamu tahu apa yang akan dia lakukan kepadamu? Dia meraba-raba tubuhmu, dia ingin merasakan tubuhmu, Manis!"
"Ya, lalu kenapa jika ia melakukan itu!" bentaknya lagi yang membuat emosiku meletup-letup. "Dia punya hak. Bahkan dengan semua kebaikannya, tubuhku ini ndhak ada artinya sama sekali. Kamu tahu, itu?"
Mulutku terasa terkunci, hatiku mendadak lebih sakit mendengar ucapan Manis seperti ini. Apa benar dia Manis? Apa benar dia Manisku?
Aku langsung keluar tanpa perlu ia perintah. Berjalan gontai sambil mencari di mana tadi Paklik Sobirin berada. Sebab, ia yang menemaniku datang kesini. Ndhak lama, suara gemuruh larian itu pun mendekat. Paklik Sobirin datang dengan wajah cemasnya.
"Juragan, Juragan kenapa?" tanyanya bingung.
Aku pun ndhak tahu kenapa. "Aku mau pulang. Kamu tetaplah di sini."
"Maksud Juragan. Aku menginap di rumah sakit?" tanyanya, aku mengangguk. Dia tampak semakin bingung. "Aku bekerja jadi penunggu rumah sakit, Juragan? Juragan memecatku? Atau bagaimana?"
"Tolong temani Manis di sini. Jangan sampai ada laki-laki mana pun itu berani menyentuhnya. Meski kamu diusir, kamu harus tetap berada di dekat Manis apa pun itu yang terjadi. Beritahukan kepadaku siapa saja yang berkunjung, dan cari tahu berapa biaya rumah sakit Simbah Manis yang telah dibayar oleh Minto. Kamu paham?" kutanya. Paklik Sobirin mengangguk kuat.
"Tolong, beritahu Bulikmu Amah dan Romomu, Juragan. Kalau aku di sini sedang mengemban tugas besar," dia bilang. Aku mengangguk.
*****
Siang ini metahari cukup terik menyinari muka bumi. Silaunya cukup menyakitkan mata bagi yang ingin sekadar melihat untuk sesaat. Bahkan, bunga-bunga liar yang ada di rerimputan tampak sedikit layu. Mungkin, mereka tengah merindukan hujan.
"Arjuna, ada apa gerangan denganmu beberapa hari ini?" tanya Paklik Junet yang berhasil membuyarkan lamunanku. Kutoleh dia, tanpa berniat untuk menjawabi ucapannya. "Tiga hari ini, sudah tujuh kali kamu berpapasan dengan Arni, bahkan Arni memandangmu dengan tatapan sedihnya. Tapi kamu abaikan begitu saja. Ini Arni, perempuan yang menurut kabar kamu gilai itu, lho!"
Aku hanya mendengus, mengabaikan ucapan Paklik Junet kemudian kembali melamun. Rasanya, kepalaku benar-benar sakit karena beberapa hari kurang tidur.
"Arjuna, nanti ke Berjo. Ada beberapa pemilik tanah yang meminta perpanjangan sewa...," kata Romo. Aku pun berjalan mengikuti langkah Romo dan mengabaikan ucapan Paklik Junet. Entah kenapa aku merasa ndhak minat. "Omong-omong, di mana gerangan Sobirin ini. Kok ya hilang bagai ditelan bumi. Padahal, dia adalah abdiku yang paling bisa diandalkan."
"Aku suruh mengemban tugas, Romo," jawabku hati-hati.
Romo Nathan memandangku sambil menarik sebelah alisnya. Sepertinya dia hendak bertanya banyak kali ini.
"Katakan, jenis tugas apa yang kamu embankan untuk abdiku? Sampai-sampai abdi dalemku yang berharga itu sampai harus jauh dariku?" katanya. Aku diam, ndhak bisa menjawab apa-apa. "Mengawal presiden? Atau... perempuan istimewa?" tebaknya. Aku langsung terbatuk dibuatnya
"Romo dengar dari siapa? Ah, bohong itu!" seruku. Romo tertawa. "Aku suruh untuk mencari beberapa kambing di kota," dustaku. Romo Nathan malah semakin kencang tertawanya.
"Kamu ini, lho. Memangnya, Sobirin itu abdinya siapa? Jelas dia akan mengadu kepadaku perihal apa pun yang kamu suruh, Juna."
Spontan, wajahku terasa begitu panas. Kutundukkan wajahku dalam-dalam, Romo Nathan merangkulku kuat-kuat sambil berjalan.
"Tumben, yang mana?" tanya Romo Nathan memancing. Aku yakin dia telah tahu siapa yang dijaga oleh Paklik Sobirin. "Ndhak istri orang itu? Sudah pindah ke lain hati?" godanya lagi.
"Dia kawan, kawan yang sangat berharga. Itu sebabnya harus benar-benar kujaga. Kalau bukan aku, siapa lagi?" kubilang. Romo Nathan kembali tertawa. Dan itu benar-benar membuatku sebal.
"Banyak benar yang menerka-nerka sifatmu ini mirip siapa. Aku, atau Romo Adrian. Tapi sejatinya, Romo lebih tahu kamu ini seperti siapa...," katanya di sela tawanya. "Mirip Biungmu."
"Anaknya, jangan sampai aku mirip sama Bulik Sari. Bahaya!" kataku.
"Kenapa?"
"Dikira Romo Adrian ada main dengan Bulik Sari. Hahaha!"