webnovel

Menikah

Emma benar-benar menikmati waktunya di bathtub untuk merelakskan tubuhnya. Sejak mereka pulang dari bulan, ia belum sempat merasakan kenikmatan memanjakan diri seperti ini. Perjalanan dari Swiss menuju Shanghai, walaupun dijalani dengan pesawat kelas satu, tetap saja dirasa melelahkan.

Ia memejamkan mata dan menikmati berendam selama setengah jam. Haoran baik sekali dan sangat pengertian, pikir Emma.

Ia melihat bathtub ini ukurannya sangat besar. Kalaupun besok mereka akan mandi bersama, rasanya masih akan senyaman ini.

DEG!

Seketika Emma membuka matanya dan ia merasakan pipinya menjadi panas. Mengapa ia memikirkan tentang hal itu?

Astaga... Apakah ia juga sudah berubah menjadi mesum seperti Haoran?

'Ugh.. ini gara-gara kau, Haoran', omel Emma.

'Kenapa gara-gara aku?' tanya Haoran keheranan.

Emma baru ingat bahwa Haoran sedang ada di ruang kerja dan mengerjakan sesuatu dengan laptopnya. Ia mengerutkan keningnya.

Ternyata ia bisa menggunakan telemancy-nya dalam jarak begitu jauh.

Walaupun Haoran tidak ada di ruangan yang sama, mereka masih bisa berkomunikasi.

Dalam hati Emma bertanya-tanya seperti apa kemampuan yang dapat dilakukan oleh orang yang melatih telemancy-nya dengan sungguh-sungguh.

Ah, sayang sekali ibunya tidak ada di sini. Emma ingin sekali bertanya banyak hal. Ibunya adalah satu-satunya telemancer yang ia kenal dan seharusnya dapat mengajari Emma tentang cara melatih kemampuannya.

Selain membaca pikiran dan mempengaruhi orang lain, apa saja yang dapat dilakukan seorang telemancer?

Hal ini membuat Emma bertanya-tanya sendiri.

'Tidak ada apa-apa. Kau kembalilah bekerja,' kata Emma tanpa suara.

Bibirnya menyunggingkan senyum saat ia membayangkan wajah Haoran. Ah... tak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin ia membanting pemuda itu jatuh karena menyentuh bahunya di halaman sekolah di hari pertama Emma datang ke SMA St. Catherine, dan besok.. mereka akan segera menikah.

Emma menyudahi berendamnya setelah ia merasa benar-benar relaks dan bahagia. Ia lalu membasuh diri dan mengeringkan tubuh lalu mengenakan piyama sutra yang nyaman. Ia mengeringkan rambutnya sebentar dengan hair dryer lalu keluar kamar mandi dan bersiap-siap untuk tidur.

"Eh.. kau sudah di sini?" Emma terkejut saat melihat Haoran sudah ada di tempat tidur. Pemuda itu duduk dengan menyandarkan punggungnya ke sandaran ranjang sambil mengerjakan sesuatu dengan laptop di pangkuannya. Emma mengira Haoran masih bekerja di ruang kerja. "Sejak kapan kau di sini?"

Haoran mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Kira-kira lima belas menit. Aku sudah mandi di kamar mandi sebelah dan bersiap untuk tidur, tetapi lalu aku memutuskan untuk menunggumu. Jadi aku mengambil laptop dan melanjutkan pekerjaanku di sini. Bagaimana berendamnya?"

"Sangat menyenangkan," kata Emma dengan senyum terkembang. Ia tampak sangat relaks dan tanpa sadar tangannya meregang saat mulutnya menguap cukup lebar. "Astaga... aku sangat mengantuk."

Haoran segera menaruh laptopnya di meja samping tempat tidur dan membuka selimutnya. Ia lalu menepuk sisi tempat tidur di sebelahnya, memberi tanda agar Emma bergabung dengannya di tempat tidur.

"Ayo kita beristirahat. Hari ini sangat melelahkan," katanya.

Emma mengangguk. Ia melepaskan sandal kamar dan naik ke tempat tidur, di samping Haoran. Pemuda itu segera membaringkan tubuhnya di tempat tidur dan menarik Emma ke dalam pelukannya.

"Ahh.. aku sudah menunggumu dari tadi. Aku sudah mengantuk," kata pemuda itu dengan suara agak manja. Haoran mencium kening Emma dan langsung menutup mata. Ia tak ingin berlama-lama karena takut ia akan kembali dikuasai nafsu dan ia tak dapat menahan diri untuk tidak meniduri Emma.

Pesan ibunya masih terngiang di benaknya. Emma tidak boleh sakit. Besok mereka akan menikah.

Ahh.. ia sudah tidak sabar!

Emma pun sudah sangat mengantuk. Ketika tubuhnya sudah menyamankan diri dalam pelukan Haoran, ia pun segera memejamkan matanya. Tidak lama kemudian tarikan napas keduanya menjadi seirama dan mereka pun terlelap dengan bahagia.

***

Haoran mematut dirinya di depan cermin dan memasang dasinya dengan cermat. Gerak-geriknya sedari tadi membuat Emma terpesona. Gadis itu baru menyadari ia belum pernah melihat Haoran mengenakan jas sebelumnya. Pemuda itu hari ini terlihat tampan sekali.

Haoran yang merasa diperhatikan, mengerling ke arah Emma dan kemudian mengedip ke arahnya. Gadis itu sendiri terlihat jauh lebih cantik dari biasanya. Haoran telah memanggil seorang penata rias yang mendandani Emma dengan tampilan natural namun sangat mempesona.

Rambut Emma digerai jatuh hingga ke pinggangnya dan di kepalanya disematkan sebuah jepit rambut mutiara, hadiah dari Haoran. Ia mengenakan gaun berwarna biru muda yang jatuh hingga ke mata kaki dan di luarnya ditutupi mantel kulit berwarna krem. Ia terlihat sedikit lebih dewasa dari usianya yang hampir 18 tahun.

"Sudah siap?" tanya Haoran setelah ia selesai mengenakan dasinya dan menyambar ponselnya dari meja. Emma mengangguk. Ia memberikan tangannya kepada Haoran dan pemuda itu segera menyambutnya dengan hangat. Mereka berjalan bergandengan keluar dari suite.

Saat keduanya keluar dari lift dan berjalan melintasi lobi, hampir semua pasang mata orang-orang yang sedang ada di lobi segera tertuju kepada mereka. Sungguh pasangan yang sangat menawan, pikir mereka.

Banyak orang yang bertanya-tanya, siapa gerangan kedua muda-mudi ini. Sayangnya mereka tidak sempat berlama-lama memperhatikan karena keduanya sudah berjalan cepat keluar lobi menuju mobil mewah yang menunggu mereka di depan.

Haoran dan Emma tiba di Kantor Catatan Sipil pukul 12 siang. Ibu Haoran dan pelayannya kemarin sudah menunggu mereka di dalam lobi dengan pakaian rapi. Ibu Haoran memeluk dan mencium keduanya bergantian dengan haru. Ia hampir menitikkan air mata tetapi berusaha keras ditahannya karena ia tidak ingin merusak hari bahagia anaknya dengan tangisan.

Mereka tidak menunggu lama, segera masuk ke dalam untuk mencatatkan pernikahan. Proses pernikahan berlangsung dengan sangat cepat dan efisien. Setengah jam kemudian Haoran dan Emma sudah memegang buku nikah mereka dengan wajah berseri-seri.

Ahhh.. untung sekali Haoran berpikir cepat dan mengurus pernikahan mereka di Shanghai. Nanti begitu mereka tiba di Singapura, keduanya tidak perlu lagi direpotkan akan hal ini. Selain itu juga pernikahan mereka dihadiri oleh ibu Haoran, satu-satunya orang tua yang mereka hormati dan cintai di bumi ini.

Hari bahagia keduanya terasa begitu sempurna!

"Ibu, mampir ke hotel kami untuk makan siang dan berbincang-bincang, ya?" tanya Haoran setelah mereka keluar dari Kantor Catatan Sipil.

Ibu Haoran mengangguk. "Tentu saja."

Mereka berempat berangkat sama-sama ke hotel. Setibanya di sana, Haoran segera mengeluarkan champagne dari minibar dan membukanya untuk merayakan hari pernikahan mereka. Emma mengambilkan empat buah gelas sampanye bagi mereka dan mnuangkan minuman bagi mereka.

"Selamat berbahagia..." kata Ibu Haoran sambil bersulang untuk pasangan pengantin yang berbahagia.

"Terima kasih, Ibu," kata Haoran dan Emma serempak.

Pelayan datang tidak lama kemudian membawakan makan siang untuk mereka, dan keempatnya menikmati makanan dengan sampanye sambil berbincang-bincang hangat.

Pukul 4 sore, Ibu Haoran akhirnya memutuskan untuk pamit. Walaupun ia masih rindu kepada anaknya, ia sadar bahwa pasangan muda ini perlu diberikan waktu privasi.

"Ini sudah sore. Cuaca juga sudah semakin dingin. Ibu pulang dulu, ya. Kalian tidak usah buru-buru mengunjungi ibu lagi. Yang penting kalian mampir saja sebelum pulang kembali ke Singapura," kata Ibu Haoran sambil tersenyum lebar. Ia menggamit lengan anaknya dan berpesan sungguh-sungguh. "Kau jaga Emma baik-baik."

"Iya, Bu," Haoran mengangguk.

"Hati-hati di jalan, Bu," kata Emma.

Mereka berdua mengantar ibu Haoran dan asistennya hingga ke pintu lift. Setelah mereka berdua masuk dan pintu lift menutup, keduanya segera kembali ke suite. Begitu Haoran menutup pintu di belakang mereka, ia dan Emma berdiri di ruang tamu sambil saling menatap.

"Uhmm... kau mau beristirahat?" tanya Haoran dengan suara serak.

Tangannya menyentuh tangan Emma dan meremasnya pelan.

Siguiente capítulo