Di restoran tempat mereka sarapan, Emma menemukan beberapa teman sekelasnya yang juga ikut karyawisata. Ada Bianca dengan dua orang gadis yang selalu mengikutinya kemana-mana, lalu ada Nadya, dan Cedric. Selebihnya adalah siswa dari kelas lain.
Begitu ia muncul di pintu menuju restoran, Nadya yang melihatnya segera melambai-lambai dan menyuruhnya duduk di sampingnya. Emma menoleh ke arah Haoran yang berdiri di sampingnya dan memberi tanda bahwa ia ingin duduk di sebelah Nadya.
Pemuda itu mengangguk dan segera bergerak menuju meja keempat temannya yang juga sudah menyiapkan kursi untuknya di meja mereka.
"Selamat pagi," sapa Nadia sambil menunjuk kursi di sebelahnya. Bianca dan kedua teman perempuannya hanya menatap Emma dengan pandangan menyelidik. Cedric sedang sibuk dengan ponselnya, mengabari ibunya akan kegiatannya di Paris hari itu.
"Selamat pagi, Nadya," Emma membalas. Ia berharap dapat memperoleh informasi dari teman sekelasnya itu tentang apa yang terjadi selama dua hari terakhir ini.
"Kau tadi malam kemana?" tanya Nadya keheranan. "Semua murid disuruh berkumpul di lobi waktu mati lampu itu. Kau satu-satunya yang tidak muncul."
"Aku sedang tertidur dan tidak mendengar pengumuman. Ponselku juga mati," Emma berbohong. "Aku malah baru tahu kalau tadi malam terjadi mati lampu."
Nadya menatap Emma dengan wajah iri.
"Ugh... enak sekali kau, bisa mendapat kamar sendiri, bisa tidur senyenyak itu..." Ia mengerling ke sebelahnya. "Aku sekamar dengan Sandra. Sepanjang malam kerjanya hanyalah melakukan video call dengan pacarnya. Jumlah peserta karyawisata kita serba ganjil, sehingga kau dan Haoran bisa mendapatkan kamar sendiri. Sungguh beruntung."
Emma yakin dirinya memang beruntung bisa mendapatkan kamar sendiri karena, setelah menghitung kilat, ia bisa melihat jumlah murid perempuan yang ikut karyawisata ini ada 21 orang, sehingga salah satu murid bisa mendapatkan kamar sendiri, yaitu dirinya. Murid lelaki ada 23 orang. Sama-sama ganjil. Tetapi Haoran... Emma yakin keberuntungan bukanlah faktor yang tepat untuk menggambarkan situasinya.
Keberuntungan tidak akan memberinya suite demikian mewah di hotel ini, pikir Emma. Ia menduga bahwa walaupun murid lelaki yang ikut berjumlah genap, Haoran akan tetap menempati suite-nya itu.
Ah, ngomong-ngomong soal Haoran, Emma teringat pada Mary yang menyukai pemuda itu. Apa tanggapan Mary saat mengetahui bahwa ternyata Haoran tidak pergi ke China, melainkan ke Prancis?
"Oh, ya... Nadia, apakah Mary sudah tahu?" tanya Emma sambil mengaduk tehnya dan menuang susu ke cangkirnya.
Nadya menatapnya dengan pandangan murung. "Sudah, kemarin sore, begitu kita mendarat di Paris aku sudah memberitahunya. Mary sangat sedih dan menangis terus..."
"Astaga..." Emma mengerling ke arah kirinya dan melihat Haoran sedang makan bersama keempat temannya. Eric sedang menceritakan sesuatu dengan penuh semangat dan kelima pemuda itu kemudian tertawa-tawa.
"Aku sama sekali tidak menyangka kelima pembuat masalah dari kelas 2F itu akan ikut ke sini... Padahal waktu itu jelas-jelas Isla melihat mereka mendaftar ikut karyawisata ke China," omel Nadya. "Seandainya kita tahu dari awal, Mary bisa ikut kita ke Paris... Dasar bodoh."
Emma terdiam mendengarnya. Ia kasihan kepada Mary, tetapi pada saat yang sama ia juga merasa tidak enak kalau sampai Mary ikut ke Paris, sementara ia sudah berjanji akan pergi kencan dengan Haoran.
"Apakah kita ada jam bebas?" tanya Emma mengalihkan perhatian.
"Ada, nanti sore, setelah makan malam kita bebas mau ke mana saja. Aku mau ke outlet dan berbelanja bersama Sandra, Bianca, dan Pat. Kau ikut kan?"
Emma menggeleng. "Tidak aku mau beristirahat, masih jetlag,"
"Wahh.. sayang sekali." Walaupun kecewa, Nadya tidak memaksa. Ia tahu Emma memang tidak suka belanja.
Emma tidak berniat untuk belanja sama sekali dalam kunjungan ke Paris ini. Ia memiliki misi lebih penting, yaitu mencari jejak kedua orang tuanya. Karena itulah ia menanyakan tentang jam bebas. Kalau ia bisa menyelinap keluar di antara acara kunjungan, ia yakin akan dapat menemukan jejak orang tuanya.
Obrolan kedua gadis itu disela Madame Delaval yang mengingatkan agar murid-murid menyelesaikan sarapan mereka dengan cepat karena pukul sepuluh tepat mereka akan berangkat ke Museum Louvre.
"Sepuluh menit lagi," beliau mengangkat sebelah alisnya.
Emma dan Nadya mengangguk. Emma buru-buru mengambil beberapa pastry dan buah lalu memakan sarapannya.
Tepat pukul sepuluh ke-44 siswa SMA St. Catherine itu sudah siap dengan bus jemputan yang akan membawa mereka ke Museum Louvre tempat mereka bertualang selama dua jam. Setelah makan siang, mereka akan melanjutkan perjalanan ke Sacre Coeur.
Madame Delaval dan Monsieur Thomas mengawasi anak-anak didiknya dengan ketat. Keduanya bergantian menerangkan tentang isi Museum Louvre dalam bahasa Prancis, diselingi dengan kuiz ringan sesekali untuk menguji pengetahuan murid-murid kelas 2 itu.
Seolah memiliki kesepakatan yang tidak diucapkan, Emma dan Haoran berusaha menjaga diri agar tidak terlihat akrab di depan murid-murid yang lain. Haoran memang selalu berpembawaan santai, sementara Emma benar-benar tidak ingin Nadya curiga akan kedekatannya dengan Haoran dan memberi tahu Mary.
Gadis itu tidak ingin Mary membencinya karena mengira Emma merebut pemuda yang ia sukai. Ia hanya memiliki dua orang teman perempuan, dan ia tidak ingin dimusuhi.
[Jam bebas nanti, kau mau pergi denganku?]
SMS dari Haoran masuk saat murid-murid St. Catherine sedang duduk-duduk beristirahat di lapangan berumput di bawah Sacre Coeur setelah mendaki ke basilika itu dan melihat-lihat isinya. Emma menoleh ke arah Haoran dan mengangkat alisnya.
[Aku tahu seharusnya kau dan aku kencan di malam terakhir kita di Paris, tetapi aku baru tahu bahwa hari ini adalah hari ulang tahunmu. Aku rasa tidak ada waktu yang lebih baik untuk makan malam di luar dan merayakan ulang tahunmu selain sore ini. Bagaimana pendapatmu?]
Emma tertegun membaca SMS lanjutan dari Haoran. Sudah 12 tahun ulang tahunnya tidak pernah dirayakan dan ia sebenarnya tidak berniat merayakannya sekarang, di saat ia tengah fokus mencari keluarganya.
Ia mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah Haoran. Pemuda itu mengedip sekali dan pura-pura sibuk dengan ponselnya.
[Please?]
Ketika membaca SMS lagi dari Haoran, akhirnya Emma mengambil keputusan untuk menerima.
[Baiklah.]