webnovel

Terungkap.

Begitu Karang menyelesaikan nyanyiannya, gadis itu keluar dari toilet dan melangkah melewati altar tanpa menoleh sedikit pun meski Karang masih duduk di sana. Pelita meraih ponsel serta ranselnya seperti hendak pergi. "Gue keluar sebentar ya, lupa mau beli sesuatu," kilah Pelita, padahal ia hanya ingin menghindar dari laki-laki itu.

"Lho, kok cepetan gini sih. Nanti lo balik lagi, kan?" tanya Chintya.

"Iya gue balik lagi." Pelita bergegas keluar dari kafe, melenggang cepat di trotoar, menjauh sesegera mungkin dari tempat itu.

Karang melihat semua, akal sehatnya menuntun fisik untuk ikut keluar dari kafe dan mengejar gadis itu. "Pelita!" seru Karang cukup lantang.

Gadis itu menoleh, ia mempercepat langkah bahkan terkesan berlari kecil. Tentu saja Karang mengejarnya hingga berhasil meraih satu tangan Pelita, membuatnya menghentikan langkah. Pelita memutar tubuh, menepis tangan Karang dengan kasar. Mata sayu itu akhir-akhir ini baru dilihatnya lagi, harusnya ia tetap di Singapura saja jika tak ingin bertemu dengan Karang. Setiap kali melihat Karang lagi, hatinya yang sudah retak seolah makin retak. Bagaimana caranya ia mengutuhkan lagi kepingan itu jika Karang saja masih mondar-mandir di depan matanya.

"Ada apa, kenapa ngejar aku, hm?" Bibir Pelita akhirnya berucap.

"Gue kangen sama lo."

Pelita berdecak, "Kakak itu sebentar lagi mau nikah, ngapain sih masih aja melipir ke perempuan yang udah nggak punya hubungan apa-apa sama Kakak."

"Emangnya kenapa, salah?"

"Coba tanya sama diri sendiri, Valerie dan aku itu sama-sama perempuan. Gimana kalau posisi aku jadi Valerie dan lihat pacarnya begini, hati perempuan mana lagi yang mau Kakak hancurin?"

Karang terdiam, tak sanggup menjawab. Dia memang laki-laki bajingan sekaligus bodoh yang hanya bisa menyakiti perempuan saja.

"Hati aku bukan gelas yang bisa Kakak angkat tinggi lalu dijatuhin sesuka hati sampai pecah berantakan, Kak. Hati Valerie juga pasti kayak gitu kalau tahu pacarnya sendiri masih mau berkhianat."

"Maaf." Hanya satu kata yang meluncur dari bibir Karang.

Pelita melipat tangan di dada, tersenyum canggung.

"Apa tadi? Maaf? Gampang, bilang aja maaf. Kelar, sayangnya maaf nggak buat hati yang udah hancur ini lekas pulih. Masih banyak puing-puing yang berserakan, kecuali Kakak mau gantiin hati aku sama yang baru, operasi."

"Apa benar, gue nggak ada sama sekali di hati lo lagi?"

Pelita benar-benar tak mengerti dengan pola pikir Karang, ia sudah sangat hancur, tapi masih saja laki-laki itu ingin menerobos masuk ke hidupnya lagi. Sepertinya Karang memang diciptakan dari batu, jadi tak punya hati.

"Aku tegasin ya, sampai kapan pun hati aku nggak akan dibuka buat Kakak!"

Seolah suara petir berdentum, mata Karang terbuka lebih lebar. Ia tak bisa percaya dengan ucapan Pelita.

"Kalau gue pilih tinggalin Valerie dan jalani semuanya sama lo, apa lo masih mau terima gue?"

Pelita mengernyit, "Kakak nawar? Ini soal hati, bukan barang, bukan juga mainan. Otak Kakak itu di mana sih? Kakak punya hati nggak sih. Kakak itu udah punya Valerie yang siap terima Kakak apa adanya padahal udah dikhianatin, bahkan gadis yang diajak selingkuh udah dihancurin. Masih kurang apalagi penderitaanku, hm?"

"Gue akhiri hubungan gue sama Valerie, dan kita lanjut." Entah permintaan atau pernyataan, yang jelas Pelita benar-benar kecewa dengan sikap Karang. Tak bisakah dia memikirkan hati orang lain juga, bukan egois terhadap keinginannya sendiri.

"Mau Kakak sebenarnya itu apa! Semua yang Rangga bilang hari itu cukup jelas! Aku cuma ajang balas dendam Kakak ke Ardo aja, kan? Meskipun aku nggak tahu apa motif Kakak benci sama Ardo."

"Gue punya alasan kuat kenapa benci sama Ardo."

"Apa! Bilang sekarang!" Pelita makin naik pitam, emosinya sudah tak terkontrol lagi.

Karang menghela napasnya, "Gue nggak bisa kasih tahu lo, maaf."

"Baiklah kalau gitu, sebaiknya dan memang seharusnya kita nggak perlu bicara lagi. Kakak mau menikah, sama perempuan yang pantas." Setelahnya Pelita melenggang pergi.

"Apa memori malam itu semudah itu lo lupakan, Pelita."

Ucapan Karang menghentikan langkah Pelita, memori malam itu? Pandai sekali Karang membuatnya kembali sesak, memori malam itu jelas takkan pernah hilang kecuali ia terkena amnesia retrograde atau mati sekalian. Ternyata bukan hanya keutuhan hati yang Karang renggut darinya, tapi bagian yang hanya harus ia berikan pada seseorang yang suatu hari akan memiliki Pelita seutuhnya. Kenapa Karang begitu jahat padanya.

Setelah seminggu beristirahat dengan tenang, air mata itu kembali menetes dari pelupuk matanya. Pelita termenung, kakinya seolah kaku untuk kembali melangkah.

"Apa memori malam itu mudah hilang dari pikiran lo, hm? Saat gue mau tanggungjawab atas segala hal buruk yang gue perbuat ke lo, tapi lo malah nyuruh gue buat terus pergi, Ta. Sekarang siapa yang lebih jahat? Gue nggak pernah nyentuh siapa pun selain lo, gue mau ada terus sama lo sampai gue berani lakukan hal bodoh itu."

Bersusah payah Pelita menelan salivanya, dia enggan berbalik sama sekali. Sekarang berganti Karang yang mengungkap isi hatinya.

"Lo mau dengar alasan kenapa gue benci sama Ardo? Lo mau dengar?"

Pelita enggan menyahut, ia merasakan dadanya sesak terhimpit sesuatu dan tak sanggup menggerakannya agar menjauh. Selama hidup bertahun-tahun, tak pernah ia merasa begitu terluka seperti akhir-akhir ini. Karang terlalu terjun ke dalam hidupnya, beberapa kali membuatnya seolah punya lima nyawa, tapi dalam sekejap Karang pun mampu mencabut seluruh nyawa yang ia miliki.

"Karena Ardo saudara tiri gue, wanita yang lo sebut Tante Sofi adalah ...."

Mata Pelita membulat sempurna, bagaimana bisa ia mendengar semua pengakuan itu. Pelita memutar tubuh, ia ingin melihat wajah laki-laki yang baru mengucapkan fakta mencengangkan itu.

Wajah sendu Karang cukup kentara, Pelita makin tak sanggup bicara. Apakah Ardo juga tahu jika Karang adalah saudara tirinya?

"Lo udah dengar semuanya sekarang, lo terlalu spesial buat gue, Ta. Sampai gue rela mau mati buat lo, tapi apa. Lo nilai gue serendah-rendahnya. Lo anggap gue laki-laki paling jahat di dunia karena permainkan perasaan perempuan padahal yang lagi gue cari adalah kebahagiaan buat diri gue sendiri, kalau gue sakitin hati orang lain itu konsekuensi. Bukannya Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, tapi kalau Valerie nggak dipasangkan sama gue, lalu itu salah gue? Gue yang jahat? Semua salah waktu, kenapa waktu pertemukan gue sama dia dan buat kami jadi punya hubungan sampai hari ini."

Pelita masih bungkam, dia meresapi semua perkataan Karang dalam pikirannya. Ternyata hati laki-laki pun bisa terluka dalam meski mereka enggan mengakuinya sejak lama.

"Gue suka sama lo sejak awal kita ketemu pas OSPEK, saat itu gue mau tembak lo meskipun masih berhubungan sama Valerie, tapi gue mau putusin Valerie kalau lo terima cinta gue. Sayangnya, Ardo lebih dulu ambil semuanya dan rampas apa yang udah jadi harapan gue. Di situ hati gue rasanya mati, gue nggak bisa jatuh cinta sama perempuan lain kecuali elo. Gue makin benci sama Ardo karena dia ngebuat gue terkungkung sama Valerie, gue nggak bisa ngapa-ngapain karena semua wasiat papa.

"Saat hari di mana balapan itu terjadi, gue jelas ambil kesempatan dan bisa dapetin lo dalam cara yang nggak wajar. Lo emang piala, piala paling berharga yang pernah gue dapatkan. Awalnya gue emang mau balas dendam karena lo terus aja sama Ardo, seolah kalian manusia paling bahagia di dunia. Lambat laun gue jatuh hati yang kedua kalinya sama elo, Ta. Sampai gue berani ngerusak lo sebagai jaminan lo nggak akan tinggalin gue, bukannya gue pernah bilang kalau butuh perempuan yang suka sama anak kecil biar nggak tinggalin anaknya sama seperti mama tinggalin gue. Gue lihat apa yang gue mau di diri lo, tapi kenapa lo tinggalin gue, Ta. Kenapa? Padahal gue cuma mau bahagia, bebasin gue dari segala hal yang kunci gue selama ini."

Satu bulir bening mendarat mulus dari pelupuk mata Karang, tiba-tiba saja dia menangis karena seorang perempuan. Padahal tangisan terakhirnya terjadi saat ditinggal pergi sang ibu.

"Tolong, Ta. Jangan renggut kebahagiaan gue, bajingan ini udah nggak pernah bahagia lagi sejak mama pergi. Jangan jadi alasan kenapa gue harus benci semua perempuan di dunia ini karena tinggalin gue tiba-tiba."

Pelita menghampiri Karang, lalu merengkuhnya dengan erat, menjatuhkan makin deras aliran air mata itu.

"Maafin aku, Kak. Maafin aku ...."

Semua alasan itu telah Karang ungkapkan di depan Pelita, gadis itu sudah tahu soal hidupnya, hatinya dan apa pun yang melekat dalam dirinya. Karang terlalu menyanyangi Pelita dan ingin menjadikan gadis itu sebagai akhir yang ia miliki, salahkah jika Karang egois untuk kebahagiaan sendiri. Karena ia tak pernah lagi bahagia sejak satu-satunya perempuan yang ia anggap wanita paling mulia dalam hidupnya justru pergi dan tak pernah kembali.

Aroma patah hati menguar dari keduanya, ternyata begitu cara Tuhan pertemukan mereka, cara Tuhan menyatukan mereka dalam posisi yang salah. Cara Tuhan melukai hati keduanya karena apa pun masa lalu adalah tumpuan masa depan, Karang butuh Pelita seperti detak jantung yang ia miliki. Karang butuh Pelita seperti obat penawar racun, Karang butuh Pelita seperti rinai hujan yang lama tak datang karena kemarau panjang. Hati Karang telah lama gersang, dan Pelita adalah setetes air hujan yang ia harapkan.

"Jangan tinggalin gue, Ta. Jangan pernah tinggalin gue," pinta Karang dengan suara yang serak, laki-laki berubah cengeng karena soal hati.

"Nggak akan."

Ketika mata Pelita menatap lurus ke depan, jauh di tempat ia dan Karang berdiri ternyata ketiga temannya sudah melihat semua itu. Mungkin sudah saatnya Pelita mengakui segalanya pada Anggi, Kamila dan Chintya. Ketiga temannya sudah siap membombardir Pelita dengan berbagai pertanyaan.

Siguiente capítulo