webnovel

Banjir Darah di Tambun Tulang 03

Tua Gila tertawa gelak-gelak dah diam-diam perhatikan

gerakan jungkir balik yang dibuat Wiro Sableng sewaktu

melayang turun dan menjejakkan kedua kakinya di tanah.

"Ah gerakan kincir padi memutar yang belum sempurna

hendak dipamerkan di depan hidungku!" ejek Tua Gila lalu

tertawa lagi gelak-gelak.

Wiro Sableng terkesiap kaget. Baru hari itulah seseorang

mengenali gerakan yang dibuatnya. Memang sewaktu dia

jungkir balik tadi dia telah mengeluarkan gerakan yang

dinamakan kincir padi memutar yaitu yang dipelajarinya

dari Eyang Sinto Gendeng sewaktu dia digembleng di

puncak Gunung Gede. Sebenarnya gerakan tersebut sudah

dikuasai Wiro dengan sempurna namun karena gugup,

terkejut dan ditambah dalam keadaan tubuh lemah maka

gerakannya itu menjadi tidak sempurna. Jika sekiranya Tua

Gila menyusul dengan satu serangan lagi pastilah Pendekar

212 Wiro Sableng akan mendapat celaka. Untung saja si

muka angker itu hanya terus duduk dan tertawa gelak-

gelak.

Wiro berdjri dengan nafas sesak dan muka pucat.

Matanya tiada berkesip memandang si Orang tua. Jika dia

diperlakukan begitu terus-terusan, dicaci maki, diserang

dan ditertawakan, sampai berapa lama dia akan sanggup

menahan kesabarannya? Sampai berapa lama dia akan

menghormati orang tua itu sebagai tuan penolongnya?

Kepada siapa dia telah berhutang budi dan nyawa?!

"Kau masih mau membangkang?!"

Wiro tak menjawab.

Tua Gila berkata: "Mengingat bahwa kau telah me-

nyelamatkan seorang anak laki-laki yang bakal kuambil

jadi muridku maka kuampuni jiwamu, orang gila."

"Orang tua, aku tak bisa menerima perlakuanmu yang

keterlaluan...."

"Perlakuanku apa yang keterlaluan?!" bentak Tua Gila

marah sekali. "Manusia tidak tahu diri! Sudah diampuni

jiwanya malah mengomel! Ayo lekas katakan siapa nama

gurumu!"

"Kau buhuhpun aku tak akan memberi tahu!"

"Apa kau tidak takut mati?!"

"Kenapa musti takut?!" jawab Wiro pula.

Tua Gila tertawa pendek dan berkata: "Apa di dunia

ini betul-betul ada manusia yang tidak takut mati?!"

"Semua manusia akan mati, orang tua. Juga kau!"

Tua Gila tersentak oleh ucapan Wiro Sableng itu. Selama

puluhan tahun hidup tak pernah dia ingat tentang kematian

sekalipun sudah berpuluh kali melihat manusia-manusia

lain menemui ke matian. Ucapan Wiro tadi menyentakkan

hati dan mengingatkan pikirannya pada hal kematian itu.

Betapa mengerikannya kematian itu dan tiada terasa dua

butir air mata menuruni kelopak matanya yang lebar, turun

menetes pipinya yang cekung!

Wiro Sableng merasa heran melihaPhal ini! Si orang, tua

yang begitu keras adat, galak, tertawa tak karuan dan aneh

itu nyatanya juga bisa menangis keluarkan air mata.

Suasana menjadi sunyi untuk beberapa lamanya.

Tiba-tiba Tua Gila acungkan telunjuk tangan kirinya

ke dada kanan Pendekar 212 Wiro Sableng.

"Apa arti angka 212 di dadamu itu?!" '

Wiro baru sadar bahwa waktu itu dia cuma mengenakan

celana panjang saja sedang tubuhnya bagian atas tiada

berbaju karena sewaktu peristiwa perahu terbalik dia telah

mempergunakan bajunya untuk mengikat anak laki-laki

yang ditolongnya.

"Guruku yang menuliskannya," kata Wiro.

"Dasar tolol! Aku tanya apa,arti angka itu! Bukan siapa

yang menulisnya. Sekalipun,setan atau jin yang menulisnya

aku tak perduli!"

"Tak bisa kuterangkan orang tua," jawab Wiro.

Paras Tua Gila tampak kembali menjadi marah.

"Pembangkanganmu sudah keterlaluan! Kau betul-betul

tidak memandang sebelah mata terhadapku! Kau akan

kubunuh saat ini juga." Lalu Tua Gila tarik benang yang

dipegangnya, ffiro tersentak ke muka. "Bersiaplah untuk

mati, orang gila!"

Dan Tua Gila lalu angkat tangan kirinya. Begitu tangan

hendak dipukulkan, tiba-tiba djtariknya kembali. Dia

menyeringai. "Ah... sebetulnya aku sudah muak melihat

kematian! Orang gila, jika kau bisa menjawab sebuah

pertanyaanku aku akan ampunkan jiwamu. Tapi kalau kau

tak bisa menjawabnya, terpaksa kau kubunuh juga!"

Wiro Sableng kertakkan rahang.

Dan Tua Gila-lanfas ajukan pertanyaan"

"Menurutmu oang tua manakah yang paling celaka

hidupnya di dunia ini?!"

Wiro terkesiap dan merenung. Pertanyaan aneh yang

sukar dijawab kata hati pendekar ini. Ditatapnya wajah

angker orang tua itu. ,

"Kalau kau tak bisa menjawab kau akan kubunuh!"

Tua Gila menyeringai. Dia lalu menunjuk ke atas pohon

kelapa dan berkata: "Aku akan jatuhkan sebuah kelapa.

Sebelum buah itu mencapai tanah kau musti sudah bisa

menjawab pertanyaanku tadi!"

Tua Gila memukul ke atas.

Wiro kerutkan kening.

Terdengar suara berkeresekan dan sebuah kelapa

lepas dari tangkainya lalu melayang turun dengan cepat!

"Bumm!"

Buah kelapa jatuh dan pecah di atas tanah!

Tua Gila menghela nafas panjang dan tertawa rawan.

"Jiwamu kuampuni, orang gila," katanya. "Jawabanmu

memang betul." Kemudian dari balik pakaian putihnya Tua

Gila mengeluarkah sebuah benda dan diacungkannya

dihadapan Wiro. ''Benda ini kutemui di dalam saku

pakaianmu yang dibuat pengikat anak laki-laki yang kau

tolong itu. Dari mana kau dapatkan benda ini?!"

Ketika diperhatikan ternyata benda itu adalah potongan

kulit harimau yang tempo hari ditemui Wiro di Goa Belerang

di mana Kiai Bangkalan menemui ajalnya dibunuh. Saat itu

ternyatalah di hati Wiro untuk meminta beberapa

keterangan kepada Tua Gila. Maka diapun menuturkan

riwayat Kiai Bangkalan sampai peristiwa terbunuhnya orang

lua itu.

"Jadi perjalananmu itu adalah untuk mencari buku

Seribu Macam Pengobatan Ha?"

Wiro mengangguk.

"Kalau kau berhasil menemuinya apakah buku itu akan

kau ambil sebagai milikmu?! Berarti kau maling besar

karena Kiai Bangkalan tak pernah mengatakan bahwa buku

itu akan diwariskannya kepadamu!"

"Aku tidak mengatakan hendak mengambil atau

memiliki buku itu. Tapi aku merasa punya kewajiban untuk

mencarinya dan merampasnya kembali dari manusia yang

telah mencuri buku itu"

"Kau tak punya hak melakukan itu, orang gila. Kau

bukan muridnya Kiai Bangkalan!"

"Sekalipun demikian buku itu tidak layak berada di

tangan orang yang bukan pemiliknya."

"Lalu kalau sudah kau temui kau mau bikin apa dengan

buku itu?"

"Aku akan pelajart isinya,...",

"Berarti kau mencuri ilmu kepandaian orang lain!"

potong Tua Gila.

"Mana mungkin! Kiai Bangkalan pernah mengatakan

bahwa dia akan mengajarkan ilmu pengobatan padaku. Kini

dia sudah tiada dan kalau aku mempelajari ilmu

pengobatan itu dari bukunya bukan berarti aku mencuri

kepandaian orang lain!"

Tua Gila tertawa.

"Apapun alasannya, mempelajari ilmu orang lain dari

buku tulisannya, tanpa izin orang itu sama saja dengan

mencuriKiai Bangkalan berkata akan memberikan

pelajaran ilmu pengobatan padamu. Langsung dari dia

sendiri, bukan dari bukunya. Jangan mengada-ada,

orang gila!"

Wiro Sableng menjadi penasaran sekali.

Dalam pada itu Tua Gila berkata lagi: "Karenanya kau lak

usah teruskan perjalananmu mencari buku itu. Pulang saja.

Kau akan sia-sia mengerjakan apa-apa yang bukan jadi

hakmu!"

"Apakah menjadi hakmu melarang aku?!" tukas Wiro.

Tua Gila usut-usut janggutnya yang putih dan panjang.

"Perjalananku semata-mata bukan cuma untuk mencari

buku itu. Tapi juga sekaligus mencari manusia yang telah

membunuh Kiai Bangkalan!"

"Kau bukan muridnya. Kau tak berhak menuntut balas!

Kau dengar orang gila?!"

"Tapi aku berhutang budi yang besar padanya. Hutang

budi itu tak akan lunas sebelum aku berhasil membekuk si

pencuri dan si pembunuh!"

"Kau mau membunuh orang yang telah membunuh Kiai

Bangkalan...?" ejek Tua Gila. '

"Kalau keadaan memaksa," sahut Wiro. Tapi di hatinya

dia yakin bahwa dia kelak betul-betul akan membunuh

manusia itu.

"Dasar gila! Apa kau kira nyawa orang lain itu milikmu

hingga kau bisa main bunuh seenaknya?!"

Wiro sunggingkan senyum sinis dan. menjawab:

"Tadi kaupun berniat membunuhku. Apa nyawaku milik-

mu?!"

Tua Gila tertegun. Lalu tertawa membahak. "Kau

meskipun gila nyatanya pintar bicara! Sekarang kau

kembalilah masuk ke dalam pondok. Lama-lama aku jadi

muak melihat tampangmu!"

Wiro mehggerendeng.

Tua Gila gerakkan tangan kanannya. Dan hebat sekali,

satu aliran angin aneh menjalar di benang yang mengikat

lengan Wiro terus memukul tubuhnya dengan hebat!

Laksana sebuah bola yang diikat dan dilemparkan, tubuh

Pendekar 212 mencelat masuk ke dalam pondok!

Siguiente capítulo