webnovel

Mengabaikan Rasa

Sampai berapa kalikah engkau mengabaikan rasa yang pernah ada?

Yang engkau umpamakan tangan yang meraba namun tak merasa...

Sia-sia...

***

Di atas daun kering yang menutupi rumput-rumput hijau pada perjalanan pulang setelah berpisah dengan seseorang yang disayang. Di bawah cahaya rembulan biru yang menyinari jalan. Di sebuah kursi kayu panjang, ia memejamkan matanya mencoba membayangkan suara embusan angin yang menerpa satu-satunya buah persik tersisa di pohonnya.

Kim Doyoung. Pria dengan iris hitam pekat itu sedang merasakan kebahagiaan sekaligus bingung. Pasalnya, wanita yang bernama Kim Sejeong sudah lebih baik sejak sadarnya dari koma. Wanita itu mengingat Kang Daniel. Tapi, ia justru menjauhinya dengan berpura-pura kalau ia lupa ingatan tentang laki-laki itu. Doyoung sangat mengingat setiap perkataan yang di lontarkan oleh wanita itu.

-----

Mata yang terpejam selama seminggu itu akhirnya terbuka. Wanita itu mengerjapkan matanya berkali-kali dengan perlahan. Iris cokelatnya menangkap sosok yang ia rindukan selama ini bahkan di dalam mimpinya.

"Se, ya Tuhan terima kasih. Akhirnya kau siuman. Apa kau mengingatku? Aku Kang Daniel." Laki-laki itu menggenggam erat tangan Sejeong yang tidak terinfus.

Sejeong tak bergeming, dalam hati ia menjerit kalau ia mengingat Daniel. Namun, pikirannya berkata lain. Ia harus membuat sandiwara demi kebaikan Daniel. Ralat! Demi kebaikan bersama --menurutnya.

Raut kesedihan terpancar dari wajah Daniel. Laki-laki itu beranggapan kalau Sejeong tidak mengingatnya. Tapi, ia bertekad akan memahami situasinya dan tidak bersikap egois. Tak apa jika wanita itu tidak mengingatnya, setidaknya ia bisa melihatnya baik-baik saja --menurutnya.

"Tidak perlu kau jawab Se. Tak apa. Aku akan memanggil Doyoung, sebentar." Daniel menekan tombol merah di dekat ranjang wanita itu.

Tidak lama kemudian, Doyoung dengan satu orang suster datang ke ruangan tersebut. Ia segera memeriksa Sejeong dan meminta suster untuk mencatat semua perkembangannya.

"Bagaimana? Apa Sejeong baik-baik saja? Pendarahannya sudah teratasi?" oceh rentetan pertanyaan dari Daniel setelah Doyoung selesai memeriksa.

Doyoung menghadap Daniel. "Sejeong sudah melewati masa kritisnya. Kau bisa bernapas lega sekarang Niel," ucapnya dan tersenyum.

Daniel menghela napas lega. "Syukurlah. Terima kasih Young." Laki-laki itu menghampiri Sejeong. "Se, terima kasih kau telah siuman. Terima kasih kau telah berjuang untuk sembuh dari penyakitmu. Dan terima kasih kau sudah kembali pada kami."

Sungguh! Detik itu juga, Sejeong sangat ingin menangis dan memeluk Daniel. Ia sangat mengerti atas ucapan yang baru saja Daniel lontarkan. Tapi, wanita itu memilih diam dan tidak menjawabnya.

Seperti ada ribuan jarum yang menikam hati Daniel saat itu juga. Rasanya sangat sakit tapi ia harus bisa menerima kenyataan bahwa wanitanya itu tidak mengingatnya. Ralat! Belum mengingatnya. Karena Daniel yakin suatu hari nanti wanitanya itu akan kembali padanya.

"Niel!" seru Doyoung pelan sembari menepuk pundak Daniel.

Daniel mengangguk, mengerti maksud Doyoung. "Baiklah, aku akan pulang ke apartemenku. Semoga lekas sembuh Kim Sejeong. Ah, ingat baik-baik namaku adalah Kang Daniel," ucapnya dan tersenyum menunjukan gigi kelincinya.

Sejeong tetap diam. Namun, hatinya begitu membuncah. Terasa sesak tapi harus ia terima karena itu resiko dari apa yang sudah ia putuskan.

"Kau harus percaya pada takdir di antara kau dan dia, Niel. Kuharap kau mau lebih bersabar dalam menghadapinya nanti. Setidaknya tadi aku tidak melihat raut ketakutan dari wajahnya," ucap Doyoung pada Daniel di luar ruangan tersebut.

Daniel mengangguk. "Aku juga berpikir begitu. Kuharap dia secepatnya mengingatku. Terima kasih, Young, kalau begitu aku pamit," sahutnya dan melangkahkan kaki menjauh dari Doyoung.

Doyoung kembali masuk ke dalam ruangan. Ia mendapati Sejeong sedang menangis terisak. Sangat memilukan --menurutnya.

"Ada apa Se?" tanya Doyoung khawatir.

Sejeong menatap Doyoung "A-aku mengingat Da-daniel, oppa," jawabnya sembari sesegukan.

Doyoung terkejut atas kebenaran yang terjadi. Sampai ia tidak bisa berkata-kata lagi.

"Bagaimana seharusnya aku bersikap setelah ini dengan Daniel?" ucap Sejeong dengan sisa air mata di ujung matanya sembari menatap langit-langit di ruangan dengan nuansa putih.

Doyoung duduk di tepi ranjang rumah sakit hanya bisa menatap wanita itu dengan sendu. Pasalnya ia juga bingung bagaimana agar wanita itu memahami situasinya.

"Kenapa Se? Kenapa kau melakukan ini padanya? Kau tahu bukan kalau kini dia sangat mencintaimu. Bukankah itu yang kau harapkan selama ini? Cintamu terbalas Se," ucap pria itu semakin bingung dengan pemikiran wanita bernama Sejeong.

Sejeong merenung, memikirkan perkataan yang baru saja pria itu ucapkan. Memang, ada benarnya. Selama ini wanita itu berharap cintanya dengan Daniel tidak bertepuk sebelah tangan. Namun, saat keadaan sudah mengabulkan harapannya, dengan berat hati Sejeong harus menjauhi laki-laki bermarga Kang itu.

Kenapa?

Ada apa?

Mungkin itu ada di benak orang yang mengenal mereka --Sejeong dan Daniel.

Wanita itu beralasan kalau dirinya tidak pantas untuk bersanding dengan Daniel. Laki-laki itu pantas mendapatkan wanita yang lebih segalanya dari Sejeong.

Geez! Cinta serumit itu? Sangat jelas bahwa Daniel pernah mengatakan dirinya akan menerima bagaimana pun Sejeong ke depannya. Tapi apa jawaban wanita itu? Ia menyerah atas cintanya? Disaat laki-laki yang mencintainya ingin memperjuangkannya? Lagi, takdir membawa mereka ke dalam belenggu yang lebih dalam.

"Aku hanya tidak ingin Daniel mengasihaniku oppa. Aku tahu, waktu hidupku hanya diperpanjang dengan melakukan transplantasi hati. Sekitar enam tahun. Aku tidak ingin Daniel merasa sedih atas kepergianku nanti oppa," ucapnya sembari berlinang air mata, lagi.

Doyoung menghela napas berat. "Kau salah. Takdirmu dan Daniel ke depannya tidak akan ada yang tahu Se. Mungkin saja kau bisa hidup lebih lama dari waktu seharusnya. Apa kau tidak akan menyesal karena tidak pernah melakukan apa pun yang belum pernah kau lakukan. Menjalani kehidupan yang bahagia dengan Daniel misalnya?" sahutnya menasehati.

"Lantas aku harus bagaimana? Aku sudah terlanjur membuatnya beranggapan kalau aku masih tidak mengingatnya," ucap Sejeong dengan raut kekhawatiran.

"Jujur padanya Se. Katakan yang sebenarnya, kalau kau telah mengingatnya. Selama seminggu ini, Daniel yang terus menjagamu Se. Apa kau tidak melihat ketulusannya dalam hal ini?" ucap Doyoung memperingati Sejeong secara halus.

Sejeong mengerutkan dahinya. "Jadi itu bukan mimpi? Kukira saat itu aku bermimpi. Kalau Daniel menangis saat melihatku terbaring lemah."

"Alam bawah sadarmu saja bisa merasakan ketulusan Daniel. Tapi kau, justru membuatnya semakin bersedih Se." Doyoung menggelengkan kepalanya dan berdecih.

Detik itu juga, Sejeong merasa sangat bersalah dengan Daniel. Apa yang sudah ia lakukan sangat keterlaluan. Itu sama saja menyuruh Daniel menyerah sebelum berjuang. Apakah ada yang lebih menyakitkan daripada itu? Tidak!

"Oppa, aku ingin bertemu dengan Daniel," ucap Sejeong lirih.

Doyoung tersenyum dan mengangguk. "Nanti akan kuhubungi Daniel. Sekarang kau harus beristirahat untuk pemulihanmu. Lagi pula sekarang sudah waktunya kau tidur," ucapnya sembari membenarkan letak selimut.

-----

Doyoung tidak mengerti jalan pikiran wanita itu. Kemudian, ia beranjak dari duduknya dan berjalan dengan langkah yang lambat menuju mobilnya yang terparkir di tepi taman itu.

Pria itu mengembus napas panjang. "Semoga saja takdir mempersatukan mereka," gumamnya pelan.

***

Seakan langit pecah menangis membasahi bumi. Pohon tinggi yang menjulang adalah saksi bisu dari rindu yang tenggelam.

***

Siguiente capítulo