webnovel

35. Amel - Satu

Satu minggu sudah berlalu dari kejadian itu, semua korban yang menghilang sudah ditemukan dan jumlah korban meninggal mencapai 500 orang dan ada 70 orang yang cedera cukup parah. Yang dinyatakan masih kritis hanya tinggal 10 orang saja. Banyak bantuan yang datang dan relawan yang datang untuk mengunjungi para korban gempa dan tsunami. Bahkan banyak wartawan yang mewawancarai mereka semua. Termasuk mewawancarai Okta yang memang sudah terkenal sebelumnya sebagai pengusaha muda yang sukses dan terkenal playboy. Dan juga Dhika yang terkenal sebagai dokter ahli bedah terbaik di Indonesia.

Saat ini Chacha tengah menggantikan perban di lengan pasien yang terluka. Pandangannya terarah ke arah Okta yang tengah diwawancarai beberapa wartawan surat kabar dan wartawan dari acara televisi. "ternyata pak Okta sangat terkenal yah, dokter" ujar Sally memperhatikan Okta. Sally tengah mendampingi Chacha memeriksa pasien.

"hmmm" jawab Chacha tidak perduli.

"beruntung sekali kalau bisa jadi pacarnya, dia sudah tampan, baik, ramah, berjiwa sosial dan juga seorang pengusaha. Perfect sekali" ujar Sally dengan pandangan kagum membuat Chacha tidak menyukainya.

"tapi dia itu seorang playboy" ujar Chacha ketus dengan masih sibuk memakaikan perban.

"tapi aku akan tetap beruntung dan bersyukur walau hanya menjadi teman one night standnya" ujar Ana menatap Okta dengan tatapan terkagum-kagum.

"ck,, jangan mau jatuh pada pesona buaya seperti itu" ujar Chacha menyelesaikan aktivitasnya.

"tapikan dia sangat tampan" ujar Sally dengan ngotot.

"kalau kamu masih mau mengaguminya silahkan saja, biar aku yang periksa pasien sendiri" ujar Chacha ketus hendak merebut map berwarna hijau dari tangan Sally.

"eh tidak dokter, aku kan asistennya dokter" kekeh Sally.

"kalau begitu berhenti bergosip dan ayo kita periksa pasien lain" ujar Chacha membuat Sally mengangguk.

***

Thalita sibuk mendata dan mencatat persediaan obat di gudang klinik sendirian. Sejak kejadian dia yang berpelukan dengan Dhika, Thalita menyibukkan diri dan dari sejak pagi tadi dia tidak keluar dari gudang ini. Thalita sengaja menghindari Dhika, akhir-akhir ini jantungnya tidak bekerja dengan baik saat berdekatan dengan Dhika. Apalagi saat kejadian terakhir itu, Lita bahkan bisa merasakan detak jantung Dhika. Dan Thalita juga yakin kalau Dhika juga mampu merasakan detak jantungnya.

Thalita berjongkok sambil memeriksa persediaan obat di etalase paling bawah. "ternyata persediaannya sudah mulai berkurang" gumam Lita menuliskannya di buku yang dia pegang.

Hingga sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya membuat Thalita menengadahkan kepalanya. Dan disampingnya Dhika tengah menyodorkan roti ke mulut Thalita. "makanlah, dari semalam kamu belum makan apa-apa" ujar Dhika membuat Lita mematung. Niatnya ingin menghindari Dhika, tetapi kenapa Dhika masih saja terus memperdulikannya.

"aku tidak lapar" ujar Lita datar dan memalingkan wajahnya kembali memeriksa obat.

"aku tau kamu menghindariku selama ini, aku tidak tau apa alasan kamu menghindariku. Padahal akhir-akhir ini kita sudah mulai tidak canggung lagi" ujar Dhika duduk di hadapan Lita dengan menyandarkan punggungnya ke etalase obat di belakangnya. tetapi Thalita tetap diam tidak berniat menjawab. "aku mohon makanlah" ujar Dhika sekali lagi dengan lembut seraya menyodorkan roti itu ke mulut Lita. Lita hendak mengambil alih roti dari tangan Dhika tetapi Dhika menjauhkannya.

"tanganmu terlihat sibuk, biar aku saja yang menyuapimu" ujar Dhika

"tidak perlu" ujar Lita dengan dingin

"bukankah kamu sering bilang, kalau makan dari tanganku itu jauh lebih enak" ujar Dhika membuat Lita terdiam. "makanlah" Dhika kembali menyodorkan roti ke mulut Lita dan kali ini Lita menerima suapan Dhika.

"apa punggungmu masih sakit?" Tanya Lita dengan masih sibuk memeriksa obat-obatan.

"ya sudah agak mendingan" ujar Dhika melirik ke arah kaki Thalita yang terlihat masih memakai gif dan terlihat tak nyaman. Dhika menengok ke kanan dan kiri mencari sesuatu. Hingga pandangannya tertuju pada sebuah dus bekas. Dhika berdiri dan mengambil dus yang sudah dilipat itu.

"duduklah disini, kakimu pasti sangat sakit kalau berjongkok seperti itu" ujar Dhika membuat Lita menengok ke arah kardus itu dan kembali menatap Dhika. "ayo duduklah, tidak kotor kok" perintah Dhika dan Litapun duduk disana. Dhika menarik kaki Lita yang sakit agar selonjoran. "begini kan tidak sakit" ujar Dhika tersenyum, Thalita hanya diam saja.

Dhika kembali menyuapi Lita, dan tanpa berkata apapun Thalita menerima suapan dari Dhika. Rasanya seperti de javu, sejak pacaran dulu mereka sering sekali makan dengan saling menyuapi karena menurut Lita, makan dari tangan Dhika lebih enak rasanya dari pada dari tangannya sendiri. "persediaan obat-obatannya sudah mulai menipis" ujar Lita.

"bantuan obat-obatan akan segera dikirim, aku tadi sudah menghubungi pak Hans" ujar Dhika membuat Lita mengangguk.

Keduanya terdiam, tidak saling berbicara satu sama lain. Kecanggunngan melanda mereka berdua hingga rotipun sudah habis disuapkan ke Thalita. "aku akan ambilkan minum" ujar Dhika hendak beranjak.

"tidak perlu, aku sudah selesai. Aku akan mengambilnya sendiri" ujar Lita. "terima kasih untuk rotinya dan juga suapannya" tambah Lita dan berlalu pergi meninggalkan Dhika yang masih duduk disana.

'aku tau kamu masih mencintai aku, tetapi kenapa aku melihat masih ada ketakutan di mata kamu? apa kamu takut aku akan menyakiti kamu lagi?' batin Dhika.

***

Seorang pasien laki-laki yang umurnya sekitar 45tahun, tengah berteriak-teriak dan menarik-narik kerah baju Khairul di atas brangkarnya. "ada apa ini, pak?" Tanya Dhika yang baru datang, seraya melepaskan cengkraman laki-laki itu di kerah baju Khairul.

"kamu,, pasti kamu yang mengobatiku" ujar Hamdan nama dari pasien tersebut.

"iya, saya yang menangani anda. Ada apa?" Tanya Dhika kebingungan.

"jadi anda yang membuat kaki saya hilang? Kembalikan kaki saya" pekik hamdan mencengkram kerah baju Dhika sambil marah-marah, kaki Hamdan memang sangat terluka parah membuat kakinya harus di amputasi.

"kembalikan kaki saya,,, kenapa kaki saya di amputasi, hah??" bentak Hamdan. "kembalikan kaki saya!!" bentaknya dengan mata yang melotot merah. "lihat dokter" Hamdan menunjung ke sampingnya dimana keluarganya berdiri, seorang wanita sekitar 40 tahunan dengan 5 orang anak yang masih kecil-kecil. 2 diantaranya sudah terlihat dewasa tetapi yang 3 terlihat masih kecil-kecil. "mau makan apa mereka kalau saya tidak bisa bekerja bahkan saya tidak bisa berjalan !! Anda seorang dokter, kenapa tidak bisa menyembuhkan saya ?? Kembalikan kaki saya !!!" bentaknya didepan wajah Dhika.

"tenang pak," kapten mulai turun tangan.

"bapak sudah pak, ini adalah musibah" ujar istri dari Hamdan sambil menangis, anak-anaknya pun menangis melihat kondisi papanya.

"kembalikan kaki saya !!" Hamdan terlihat menangis, suaranya sudah tidak setinggi tadi. "bagaimana nasib keluarga saya kalau saya tidak bisa berjalan" ujar Hamdan melepas cengkramannya pada Dhika dan menunduk menangisi nasibnya dan keluarganya.

"bapak sudah, kita harusnya bersyukur karena keluarga kita selamat semuanya" ujar sang istri sambil mengelus lengan suaminya.

"saya akan bertanggung jawab untuk kehidupan keluarga bapak, dan saya akan menjamin semua kebutuhan keluarga bapak" ujar Dhika membuat semuanya melihat ke arah Dhika.

"bagaimana caranya?" ujar Hamdan lesu. "kenapa tuhan sangat kejam, bahkan rumah saya terseret tak tersisa. Dan anak-anak saya bagaimana" Hamdan menangis.

"ikut saya ke Jakarta, saya akan memberikan bapak pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan bapak" ujar Dhika tenang. "saya akan menjamin pendidikan anak-anak bapak, jadi bapak tidak perlu khawatir. Fokuslah pada kesehatan bapak" tambah Dhika membuat Hamdan menatap mata Dhika, mencari kebohongan disana. Tetapi tidak ditemukannya sama sekali.

"a-apa dokter serius?" Tanya Hamdan masih tak percaya.

"iya, saya sangat serius." Ujar Dhika seraya membuka dompetnya dan mengambil sebuah kartu nama. "datanglah ke rumah sakit ini, atau hubungi nomor ini. Itu nomor saya, datanglah kalau kondisi bapak sudah membaik bersama keluarga" ujar Dhika menyerahkan kartu nama ke istri Hamdan.

"terima kasih banyak dokter" ujar istri Hamdan menerima kartu nama.

"jangan menyalahkan semua ini pada tuhan, ini adalah ujian darinya agar kita bisa menjadi orang yang lebih baik lagi. Pasti akan ada hikmah yang kita dapatkan dari ujian ini" ujar Dhika membuat Hamdan mengangguk.

"terima kasih dokter, dan maafkan saya" ujar Hamdan

"tidak apa-apa, beristirahatlah" Dhika tersenyum dan berlalu pergi melewati beberapa orang yang tengah melihat keributan itu.

"aku tidak menyangka, dokter Dhika sangat baik sekali" ujar Riri yang berada tak jauh dari sana.

"dia sangat sempurna" ujar Sally

"iya begitulah,," ujar Claudya yang juga ada disana. 'dan aku sangat berharap dia bisa aku miliki' batin Claudya. Thalita juga yang berada tak jauh dari sana hanya bisa tersenyum melihat ke arah Dhika yang berjalan keluar klinik.

***

Satu Minggu sudah berlalu, keadaan di pengungsian mulai jauh lebih baik. Bantuan semakin banyak, dan keadaan korban gempapun mulai membaik. Yang cedera saat ini hanya ada 30 orang dengan 5 orang masih dalam keadaan kritis. Setiap sore, mereka semua selalu menghabiskan waktu untuk bermain bersama anak-anak disana dan menghibur para pengungsi yang lain.

Saat ini Dhika, Okta, Reza dan 3 orang tentara bersama anak-anak dari pengungsian tengah melakukan olahraga basket. Kebetulan di belakang klinik ada lapangan basket yang sudah lama tak terpakai. Beberapa orang menonton di pinggir lapangan untuk memberi semangat ke tim Dhika dan tentara.

Tim dhika adalah Dhika,Okta, Reza dan 3 orang anak laki-laki dan lawannya adalah 3 orang tentara berbadan besar dengan 3 orang anak laki-laki lainnya juga. Para dokter, suster, tentara dan beberapa warga sibuk menonton dipinggir lapangan dengan saling menyoraki tim idola mereka.

Okta tetaplah Okta yang narsis, bukannya bermain basket. Malah tebar pesona ke penonton terutama ke Chacha yang duduk di tempat yang cukup jauh dari lapangan bersama Lita. Dhika yang memang ketua club basket saat kuliah, tidak membuatnya kesulitan melawan 3 tentara berbadan besar itu. Thalita yang melihat Dhika bermain basket dan gayanya saat melakukan slam dunk membuatnya terbayang kenangan saat mereka berpacaran dulu. Thalita yang dulu selalu setia menemani Dhika bermain dan latihan basket. Bahkan Thalita pernah meminjam pom pom milik Irene hanya untuk menyemangati dhika yang tengah latihan basket.

Flashback On

Saat itu Thalita tengah menyemangati Dhika di pinggir lapangan, Dhika terlihat sangat antusias saat melihat penyemangatnya ada di pinggir lapangan. Hingga latihanpun selesai, Thalita masih setia menunggu Dhika.

Di lapangan basket indour kini hanya tinggal Dhika dan Lita berdua. Tanpa sungkan, Dhika menyandarkan kepalanya dipaha Lita dengan memejamkan matanya. "nyamannya" gumam Dhika membuat Lita tersenyum dan membelai kepala Dhika dengan penuh kasih sayang. Dhika membuka matanya dan menatap mata hazel milik Thalita yang tengah menunduk. Di ambilnya sebelah tangan Lita yang satunya lagi dan menyimpannya diatas dada Dhika. "jangan pernah pergi, dan tetaplah seperti ini. Tetaplah disisiku sampai maut memisahkan kita" ujar Dhika menarik tangan Lita dan menciumnya.

"please,, stay with me. Lita" ujar Dhika dengan tulus membuat Lita mengangguk pasti sambil tersenyum.

Flashback off

Dhika maupun Lita terbayang kenangan saat itu, dhika masih berdiri menatap ke arah Lita yang berada tak jauh dari lapangan.

DUK

Thalita terpekik kaget saat melihat kepala Dhika terbentur bola basket. Semua penonton juga kaget melihatnya dan ada yang tertawa. "astaga dokter Dhika" ujar suster Meliana. Dhika terkekeh sambil mengusap kepalanya.

"jangan melamun dong Dhik" ujar Okta menyikut Dhika. "untung tuh bola kagak kenapa-kenapa" ujar Okta dengan santai

"isshh,, " cibir Dhika kembali bermain.

"makanya jangan liatin Lita terus, dia gak bakalan kemana-mana kok" ujar Okta terkekeh.

"berisik loe gator" ujar Dhika.

Thalita beranjak dari tempatnya berdiri, tetapi terhenti saat melihat bayangan Dhika saat berumur 22 tahun ada di hadapannya dengan kaos dan jaket favoritnya.

"kenapa sayang? aku mencintaimu" ujar Dhika muda itu membuat Thalita berkaca-kaca.

"kamu lucu, sayang" tambahnya mengusap kepala Lita dengan sayang. Thalita menengok ke arah lapangan basket dan terlihat Dhika masih bermain basket.

Cukup lama bermain, tim Dhika akhirnya memenangkan permainan ini. Dhika merogoh minumannya di pinggir lapangan dan kembali melihat ke arah tempat Thalita tadi berdiri, tetapi sudah tidak ada disana. Dhika berjalan meninggalkan lapangan dan mencari Lita, hingga Dhika melihat Lita tengah duduk di atas rumput tak jauh dari sana, dengan kaki yang di selonjorkan. Tanpa risih, Dhika langsung menyandarkan kepalanya di paha Lita membuat Lita terpekik kaget. "kamu ngapain sih" ujar Lita yang kaget

"sebentar saja" ujar Dhika memejamkan matanya, menikmati suasana sore ini. Thalita terdiam menatap wajah Dhika yang terpejam. Tak lama mata Dhika terbuka dan langsung bertemu dengan mata hazel milik Lita.

"Lita, what are you still want to stay with me? please" ujar Dhika tulus dengan tatapan teduhnya.

please, stay with me. Lita !!

Dua ungkapan itu begitu saja tertangkap oleh indera pendengaran Lita. Thalita seakan merasakan de javu. Dhika mengatakan hal yang sama seperti di masa lalu. Tetapi berbeda dengan situasi saat itu, dulu Lita tanpa ragu menganggukkan kepalanya. Tetapi sekarang...

Masih bisakah Lita tetap berada disisi Dhika?

Hanya pertanyaan itu yang keluar dari benak Thalita. Thallita memalingkan pandangannya ke arah lain. "kaki aku kesemutan, tolong bangun" dusta Lita membuat Dhika menghela nafasnya. Sekali lagi Thalita menolaknya. Dhika bangun dari tidurannya dan dengan cepat Thalita berdiri dan berlalu pergi meninggalkan Dhika sendiri tanpa mengatakan apapun.

"katanya kesemutan, tapi bisa langsung berdiri" gumam Dhika dan kembali merebahkan tubuhnya di atas rerumputan. Pandangannya menatap langit yang berwarna merah kekuning-kuningan.

'kamu datang kembali padaku, kamu bahkan begitu dekat denganku. Tapi aku masih tidak mampu menggapaimu, Lita. Kamu ada di dekatku, tetapi aku masih merasa kehilanganmu. Kisah kita ini terasa sangat tak lengkap. Perjalanan ini masih belum berakhir, dan aku ingin sesuatu yang tidak lengkap ini segera aku lengkapi. Walau kau tak mau melirikku sedikitpun, tetapi aku akan tetap disini menantimu. Sebelumnya aku sudah menantimu selama 10 tahun, dan kali ini aku tidak akan lelah dan berhenti untuk menantimu kembali mengisi ke tidaklengkapan di hatiku ini. Karena hanya kamulah yang aku cintai, Lita. Sampai kapanpun juga hanya kamu yang akan selalu ada di hatiku. Walau harus puluhan tahun lagi aku tempuh untuk mendapatkanmu, kembali. Because I'll stay with you' Batin Dhika.

Ditempat lain, Okta tengah mencari Chacha kemana-mana, hingga Okta melihat Chacha tengah berada di tenda dapur sambil memegang mug, dan membaca berkas yang ada di map hijau.

"loe disini ternyata, gue cari kemana-mana" ujar Okta membuat Chacha menengadahkan kepalanya.

"ada apa?" Tanya Chacha bingung.

"kenapa loe pergi gitu aja sih, liat nih gue keringetan banget" ujar Okta.

"terus gue harus ngapain?" tanya Chacha menyimpan mug yang dia pegang ke atas meja.

"ya lap-in dong, gak perhatian banget sih loe" ujar Okta kesal

"emang siapa loe, harus gue lap-in?" Tanya Chacha dengan ketus.

"gue kan orang yang berarti di dalam hidup loe" ujar Okta seraya mengerlingkan matanya, membuat Chacha menaikkan sebelah alisnya.

"berarti dari hongkong !!" ujar Chacha ketus

"bukan, tapi dari hatimu" goda Okta terkekeh membuat Chacha memutar bola matanya malas.

"kenapa gak minta lap-in saja sama fans loe yang tadi sorak-sorakin manggil nama loe" ujar Chacha ketus.

"cie ilah, si nela cemburu" goda Okta.

"siapa yang cemburu, enak saja" ujar Chacha

"jujur saja kali nela sayang, kalau loe cemburu tadi lihat gue banyak fansnya" ujar Okta membuat Chacha memanas mendengar Okta memanggilnya sayang.

Sayang???? ah pasti gue salah dengar.

"kenapa bengong?" Tanya Okta mencolek pipi Chacha.

"Nggak, udah sana jangan ganggu gue. Gue lagi sibuk" ujar Chacha.

"ya ilah jutek amat" gerutu Okta mengambil mug milik Chacha dan menghabiskan teh yang ada didalamnya.

"dasar crocodile jelek, main serobot saja minuman orang" gerutu Chacha.

"manis,, seperti orangnya" ujar Okta mengedipkan sebelah matanya dan keluar dari tenda membuat pipi Chacha semakin memanas.

"astaga, kenapa si crocodile itu selalu buat gue merinding dan memanas sih" gumam Chacha mengipas-ngipaskan sebelah tangannya di depan wajahnya.

***

Siguiente capítulo