webnovel

BAB 7

Meski sudah lima belas tahun terakhir ini Naruto tidak pernah mengunjungi Jepang, ternyata Tokyo tidak berubah. Walaupun sepertinya lebih banyak bangunan pencakar langit yang baru selesai dibangun atau baru akan mulai direnovasi. Ruko-ruko di sekitar jalan lebih terlihat modern dari terakhir yang dia ingat.

Kalau begitu, bagaimana kabar teman-temannya?

Selama ini Naruto bergabung dalam grub-grub media sosial yang dibuat oleh teman-temannya. Dan dari kebanyakan teman-temannya kadang mengunjunginya kalau mereka sedang berkunjung ke Rusia karena pekerjaan atau karena liburan. Mereka juga terlihat tidak berubah.

Lalu kali ini, bagaimana dengan Hinata?

Sepanjang perjalanan dari Narita yang diingat oleh Naruto hingga yang membuatnya penasaran tentang kabar perempuan itu—apakah Hinata tetap memesona seperti dulu? Tidak ada satu pun yang menyinggung tentang perempuan itu, membuat Naruto enggan untuk membuka topik tentang perempuan itu.

Malu, kalau dirinya ketahuan menyukai perempuan itu bahkan tidak bisa melupakannya meski lima belas tahun mereka tidak bertemu. Kadang-kadang, ia beranggapan apakah yang dirasakan olehnya ini cinta sejati atau malah kebodohan?

Naruto mendesah di tengah perjalanannya sambil masih memandangi pusat serta area perbelanjaan pada setiap distrik yang dilewati olehnya. Kemudian asisten yang sedang menyopiri di depan membuka pertanyaan tiba-tiba, "Apakah kita perlu mencari buket bunga untuk nenekmu?" sambil menyetir, sang asisten meneliti jalanan, kemudian dia melanjutkan. "Kukira di belokan depan sana ada toko bunga besar, aku pernah membeli bunga di sana untuk istriku."

"Kita mampir."

Mobil yang Naruto tumpangi langsung membelok, sampai di sebuah toko bunga dengan nuansa botani yang kental. Tanaman rambat menghiasi setiap dinding bercat putih. Pot-pot bergantungan di setiap ujung kanopi. Di sisi kanan setelah melewati pagar pembatas dengan trotoar atau jalan umum. Ada meja dan kursi besi berwarna putih, cocok untuk digunakan sebagai tempat acara minum teh sore.

Sebaliknya, di tempat itu sudah ada seorang perempuan, membelakangi dirinya, duduk di kursi roda tengah menciumi satu demi satu bunga segar. "Apakah itu pemiliknya?"

"Kurasa bukan, pemiliknya berambut panjang warna pirang, aku akan cari di dalam."

Iruka masuk setelah meneliti di berbagai sudut toko bunga yang besar dan indah itu. Semuanya diisi oleh hijau daun serta warna-warni bunga. Lemari-lemari es berjejer di dalam sana berisi bunga segar. Lantai marmer pucat memberikan kesan atau menunjukkan bahwa tempat ini jauh seperti rumah kaca.

Saat Naruto menginjak rumput di taman kecil di mana ada seorang perempuan tadi sedang fokus pada bunga-bunganya. Naruto terkejut jika rerumputan itu asli. Pria itu langsung terlonjak kaget dan cepat-cepat menghindar. "Hanabi?" Naruto mengangkat kepalanya, memandangi punggung perempuan di depan sedikit menegang. "Hanabi, apakah itu kau? Jangan memberikan kejutan yang aneh-aneh!" perempuan itu agaknya sedikit marah. "Apakah kau bolos lagi kali ini? Apakah kau sudah siap dimarahi oleh Neji nantinya?"

Naruto tidak bersuara, ia bingung dalam bersikap. "Maaf," katanya, suaranya sangat pelan dan merasa bersalah. "Aku bukan Hanabi, maksudnya... aku seorang pelanggan." Perempuan itu menarik napasnya, salah menduga, sedikit malu sepertinya. "Apakah rumput ini boleh diinjak?"

"Ah, tentu," perempuan itu menggerakkan roda pada kursi rodanya, setelah melepas kuncinya. "Maafkan saya, saya kira Anda adik saya, dia suka membolos dan datang kemari." Naruto memandangi rerumputan yang kali ini berhasil diinjak olehnya. Sekilas mirip seperti rumput asli, tapi jika diperhatikan rerumputan itu berbahan sintetis. "Apakah bisa saya bantu—"

Belum selesai menawarkan bantuan, Iruka memanggil Naruto dari dalam, membuat pria itu menoleh secepat telinganya mendengar panggilan. "Kau boleh memilih sendiri, apakah sejenis hydrangea?"

Naruto melangkah mendekati Iruka, mengabaikan perempuan yang tengah duduk di kursi roda tadi, padahal perempuan itu menghadap ke arahnya, dan siap memberikan bantuan jika diperlukan. "Oh, apakah ada? Berikan buket hydrangea berwarna putih, karena nenekku menyukainya."

"Ada di lemari pendingin, kau bisa memilih kalau mau."

"Apakah saya saja yang memilih untuk Anda, yang paling bagus tentu saja." Wanita pirang mengenakan celemek kulit menawari diri. Senyumannya manis, dan juga sangat ramah. "Apakah ada kutipan khusus?"

"Tidak perlu, aku ingin kau merangkainya dengan sangat indah saja."

"Oh baiklah, tunggu sebentar."

Iruka dan wanita pirang itu kembali masuk ke dalam. menuju lemari pendingin dan mengambil bunga pesanannya, tampak begitu segar semua bunga-bunga itu, bahkan tempat ini terasa nyaman. Seandainya ada acara minum teh di sini, mungkin dia akan ikut. Kebiasaan ketika ibunya selalu mengajaknya ke rumah kaca raksasa di rumahnya, menghabiskan sore hari membaca buku bersama dan minum teh dari cangkir keramik berusia ratusan tahun.

Kemudian Naruto memutar tubuhnya, ia baru ingat jika seseorang dengan baik menawarkan bantuan tadi, ia tidak boleh mengabaikannya, itu sangat tidak sopan.

Perempuan itu masih tersenyum dengan pandangan kosong, rambutnya yang panjang seperti sutra beberapa helai beterbangan karena angin, wajahnya pucat tapi pipinya merona merah. Perempuan itu tidak berubah, masih cantik dengan wajah polos dan suci, bahkan sepertinya tak tersentuh.

"Hinata?" Naruto bergumam tanpa sadar, seolah bertanya, hingga memastikan sesuatu, mengambil langkah kecil mendekat kemudian. "Hinata, apakah itu kau?" perempuan itu berhenti menyunggingkan senyumannya, bibirnya lurus, wajahnya berubah memucat. "Ini kau?" Naruto mendekat, jauh lebih ingin memastikan. "Apa yang terjadi padamu?"

"Jadi, kau mengenal aku?" itu pertanyaan yang amat bodoh! Mengapa Naruto Uzumaki sampai tidak mengenal Hinata—si gadis bangsawan, pendiam, memesona sepanjang waktu, bahkan ucapan yang lembut dengan napas yang selalu teratur, meski kemarahan menguasainya sekalipun. "Bisa kau sebutkan namamu? Aku... aku tidak bisa mengenali seseorang lagi."

Naruto tidak berkutik. Membeku. Ingin menangis, sebanding dengan pertanyaan-pertanyaan yang kemudian membanjiri isi kepalanya sampai dia ingin muntah. Tak mampu menjawab atau menemukan setitik informasi yang dapat diterimanya jika dia sedang berkumpul dalam satu ruang obrolan bersama teman-teman SMA-nya, tidak ada satu pun dari mereka dapat menyinggung kenyataan di depannya ini.

Sasuke dan Sakura.

Orang terdekatnya harus memberitahu soal ini, dan apakah mungkin mereka tidak tahu soal ini juga?

"Aku Naruto," Naruto seolah tercekik oleh suaranya sendiri, tenggorokannya kering secara tiba-tiba, begitu saja menyerang, seolah-olah dia tidak minum dalam sebulan ini. "Naruto Uzumaki."

"Ah, Naruto..." wajah perempuan itu merengut, kedua tangannya mencengkeram lengan kursi rodanya. Sepertinya berusaha untuk mengingat. "Apakah kita teman satu angkatan?"

"Iya." Kesedihan itu membuat Naruto membeku, tulang punggungnya sangat panas, sampai-sampai ia dapat merasakan keringat menuruni kulit punggungnya sangat deras. "Kita memang tidak sekelas tapi..."

"Tapi?"

"Apakah kau tidak ingat padaku?" wajah gadis itu gusar, rambut bagian depannya basah oleh keringat. "Kau tidak ingat?" ada kemarahan, ada pula ketidakpercayaan yang dirasakan oleh Naruto sekarang. Mengapa Hinata sampai melupakan aku? Dan apakah aku yang hanya mengingatnya selama ini sampai seperti orang tidak waras? Semua yang aku pikirkan tentang Hinata!

Naruto bertanya-tanya sampai akhirnya Iruka menarik pundaknya. "Kau sedang apa?" dengan wajah pucat dia memandang asistennya. "Terjadi sesuatu?" tangannya yang kaku mencoba untuk diangkat, menunjuk Hinata tengah memasang wajah mengernyit tidak mengerti pada apa yang terjadi di depannya.

Hanya gerak-gerik yang dapat ditemukannya, selain itu hanya kegelapan yang terus menguasainya.

Iruka mengamati seorang gadis tengah duduk di kursi roda. "Kau mengenalnya?" Naruto mengatur napasnya, pria itu berubah menjadi tidak karuan. Keringat bercucuran bahkan melewati wajahnya. "Apa yang sedang terjadi padamu?" Iruka panik bukan main. "Kau kenapa?"

"Gadis itu..." Naruto masih menunjuk dengan badan gemetaran. "Mengapa... mengapa... dia seperti ini?"

Ino Yamanaka keluar dari toko bunganya dengan terbirit-birit, merasa apakah temannya sedang melakukan kesalahan? Padahal kejadian seperti ini tidak pernah terjadi. "Maaf, apakah teman saya melukai Anda?" Naruto mengamati wajah Hinata yang berubah ketakutan. "Hinata, apa yang sedang kaulakukan?" Ino berbisik gusar.

"Aku..." Hinata merengut, merasa tidak mengerti. "Aku tidak melakukan apa pun yang membahayakan."

Ketika menyadari bahwa ini memang kenyataan, semua yang didapatkan olehnya—gadis buta dan cacat itu memang Hinata yang dikenalnya—Naruto terjatuh. Kakinya lemas bukan main. Jantungnya hampir melompat keluar sesaat kenyataan itu menyadarkan dirinya. Ia tidak terjebak di dalam mimpi buruk. Apa yang ada di depannya sesungguhnya yang selama ini tak pernah dia tahu.

"Naruto, kau tidak apa-apa?" Iruka yang panik langsung menjatuhkan buket bunga. Pria itu berlutut menahan tubuh Naruto yang gemetar. "Tenanglah, mengapa kau seperti ini?"

Siguiente capítulo