webnovel

Ih, Gemesin!

Diam.

Hening.

Sedari tadi Jimin diam tanpa melakukan apapun. Hanya menatapku tajam dan mematikan dengan mata sipit coklat polosnya, bibir yang merah muda juga menggemaskan itu mengerucut dan maju beberapa senti. Dia ngambek. Aduh, aku baru tahu penculik bisa ngambek.

"Jimin!"

Tidak ada balasan.

"Jimin!"

Aih, kacang!

"Jimin, aku lapar!" Untuk pertama kalinya setelah berdiam diri sekian lama, akhirnya ia bergerak, tangannya yang kekar mengambil sebuah piring di nakas yang berisi segunduk nasi dan tumpukan lauk. "Aku harus makan sendiri, jadi kau harus—" Bahkan belum sempat menggenapkan kalimatku, pelototan ganas darinya membuatku bungkam.Serupawan apapun juga seorang manusia, tetap saja menyeramkan jika bola matanya sudah ingin keluar.

Pria ini menaikkan ikatan pada tiang kasur, lalu sedikit mengangkat tubuhku guna mendudukannya agar tidak tersedak saat menelan. Kemudian, suap demi suap kuterima dengan berat hati. Gagal lagi muslihatku.

Menit-menit berlalu dengan membosankan. Perutku telah amat penuh tapi dia memaksaku menghabiskan tumpukan makanan tanpa rasa, mungkin ini bentuk balas dendam tentang aksi kaburku semalam. Apa ini karma?

"Bagaimana kalau kita bermain?" ujarku semangat, sebisa mungkin agar terlihat antusias. Dalam sekejap binar kekanakan kembali dalam manik beningnya. Anggukannya bahkan terlalu keras hingga aku yakin sebentar lagi leher itu patah. Syukurnya, saat itu juga, Jimin melupakan masakan hambar yang terasa seperti pasir di tenggorokanku.

"Nah, karena kita akan bermain maka lepas—"

/Ayo, kita main tebak-tebakan. Jadi aku tidak perlu melepaskan pengamanmu./

Sial, gagal lagi.

Dan apa tadi? Tali ini adalah pengaman? Pengaman?! Satu-satunya pengaman yang terpikirkan olehku saat ini adalah my beloved home.

/Kau dulu/

Eh, bukankah dia menderita keterbelakangan mental?

"Jika aku menang, kau turuti permintaanku, oke?"

Jelas sekali ekspresi ragu tercetak di wajahnya. Jika dia menolak, rencanaku yang satu ini juga gagal.

"Jika aku kalah, kau bisa menyuruhku melakukan apapun juga, kok!"

Lega membanjiriku saat ia mengangguk. "Baiklah, aku dulu. Waktu menjawab hanya 5 detik. Berapa hasil dari 1×2?"

/2/

Aih, apa aku terlalu meremehkannya? Kupikir dia tidak akan bisa menjawab itu, atau paling tidak Jimin akan berpikir lama hingga batas waktu berlalu begitu saja. Dia tidak terlalu bodoh ternyata.

Sekarang gilirannya.

/Berapa hasil √6,25.sin 60°.1/2√2?/

Seketika aku blank.

Soal apa-apaan itu?! Catatan pelajaran sudah kubakar habis tidak tersisa.

Hangus! Seperti juga otakku yang sekarang berjuang memikirkan jawaban.

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima.

Pletak!

"Aduh!" Jimin tertawa dengan sangat jahanam melihat keningku yang memerah karena ulahnya.

/Jawabannya 2,5√2/

Sepertinya aku telah salah persepsi tentang pria ini.

***

Hari menjadi minggu. Terhitung tepat 7 hari aku disekap. Jimin dan aku melakukan hal-hal yang telah menjadi rutinitas: makan, minum, dan bermain tebak-tebakan, dan tidak beruntungnya adalah aku tidak pernah menang. Namun aku mulai terbiasa dengan aktifitas ini.

Anehnya, sekarang dia tidak seantusias dulu dengan permainan kami.

/Bagaimana kalau kita bermain permainan baru?/

Sebelum aku merespon, ia sudah melesat keluar pintu. Saat ia kembali, sebuah kotak besar ada di tangannya.

/Aku mendapatkan ini kemarin di gudang/ Saat ia membuka penutupnya, kemudian mengarahkannya padaku, otomatis mataku melebar.

Cat berwarna-warni ada di sana. Sangat ceria. Sangat ... hidup. Menjadi satu-satunya hal selain pakaia Jimin yang tidak berwarna putih. Syukurlah, seminggu dalam ruangan polos membuatku hampir gila.

Kerjap berikutnya aku sudah bebas, tubuhku terduduk, dan tanganku menggenggam kuas. Aku memandangnya bingung, tapi pria ini membalas dengan senyum secerah matahari.

/Ayo, kita hias ruangan ini!/

Semangatnya menular padaku. Warna-warni! Tanpa sadar aku langsung memeluk tubuh

atletis Jimin dan mencium pipinya karena terlalu senang.

Tunggu ....

Astaga!

Wajaku memerah, saking merahnya hingga aku yakin akan segera meledak

memuntahkan segala rasa malu yang aku tanggung. Bagimana ini?!

Tangannya bergerak panik. /Kenapa?/

Aku tidak bisa menjawab. Mungkin itu refleks, atau mungkin juga ....

/Kenapa kau melakukan itu?/

Benar, aku malu, tapi sekarang entah kenapa rasa kecewa yang malah mendominasi

saat tahu reaksi paniknya. "Maaf, kau tidak menyukainya?"

/Kau bisa hamil!/

Satu.

Dua.

Tiga. Dan tawaku meledak. Bagaimana bisa seorang perempuan hamil hanya karena kecupan pipi? Aih, polosnya Jimin-ku.

"Itu saja tidak bisa membuat hamil, Jimin," ucapku di sela-sela bahak yang

tersisa. Kurasa aku tahu kelemahannya jika kita bermain tebak-tebakkan

nanti. Biologi!

"Kau harus menikah dulu untuk mempunyai anak."

/Menikah itu apa?/

Wow, dia tidak tahu? Ah, aku lupa kekurangannya. "Itu seperti hidup bersama selamanya," jelasku sesimpel mungkin.

/Kalau begitu seperti teman bermain? Seperti kita? Aku ingin bermain bersamamu selamanya./

Namun saat itu juga aku sadar.Tangan dan kaki bebas, tidak terikat, merdeka. Anehnya, pikiran untuk kabur baru masuk ke otakku setelah sekian lama. Kenapa aku melupakan rencana awal?!

Tiba-tiba genggaman hangat dan nyaman menarikku dari keterbekuan, kemudian menuntun tangan ke kaleng cat terbuka setelah itu menuju dinding. Saa mata kami beradu, kilau tulus dan lengkung penuh pesona ada di wajahnya.

Jika aku pergi, akankah keindahan itu hilang?

***

Malam ini sungguh menyenangkan. Aku sudah tidak disekap dalam kamar. Buktinya, Jimin memperbolehkanku berjalan-jalan di sekitar mansion ini. Kepercayaannya padaku harus dimanfaatkan. Selain itu, aku harus menikmatinya selagi bisa kan?

Sekarang aku tahu di mana letak dapur, ruang makan, ruang tamu, ruang keluarga, puluhan kamar tidur,

balkon—bahkan yang hampir membunuhku—terukir dengan nilai seni tinggi, dan lain-lainnya.

Tapi ada satu yang membuatku penasaran. Ruangan yang ada di bagian belakang dan terletak di sudut paling gelap, terkunci. Berhubung aku bukan orang yang tahan dengan rasa penasaran, maka dengan berbekal kunci curian dari saku Jimin, aku akan membukanya.

Langkah demi langkah akhirnya aku sampai. Mau tidak mau ekspektasiku meninggi,

bagaimana jika ruangan itu penuh dengan emas? Tentu akan sangat bermanfaat jika

menjadi kenyataan. Wakakak.

Kunci beputar, derit mengerikan menyusul kemudian saat daun pintu terayun. Bau-bau mencurigakan tercium. Lalu pemandangan yang terpampang di hadapan membuat tubuh membeku.

Kepala-kepala gadis malang tergantung dengan mengenaskan. Lantainya penuh cairan anyir yang sudah menghitam. Onggokan daging dan tulang terkumpul di pojok kanan ruangan. Dinding-dindingnya terhiasi dengan ornamen mengerikan dari alat-alat tajam berkarat dan tak layak pakai dari berbagai jenis. Di tengah-tengah itu semua, sebuah meja kayu lebar yang telah tegores sana-sini berdiri kokoh dan menghantarkan desir dingin pada tulang punggungku. Ini tempat penjagalan manusia!

"Menikmati pemandangan?"

Deg!

Siapa itu?

Siguiente capítulo