webnovel

36

Ketika baru duduk di bangkunya, anak-anak di kelas akselerasi mengelilingi Hinata, dan gadis itu tahu apa yang sedang ingin mereka lakukan. Mungkin mencoba menuduh Hinata, mengingat apa yang terjadi pada Ino barangkali disebabkan oleh dirinya. Semua murid tahu, kalau Hinata dan Ino beberapa hari ini mulai dekat seperti seorang teman.

"Kemarin bukankah kau pergi bersama Ino?" seseorang bertanya, gadis berkepang dua. "Apakah kau berbicara tanpa aturan pada Ino? Kau tahu, Ino adalah gadis paling pintar di sini sebelum dirimu."

Hinata menghela napas, perundungan yang paling dibencinya, dan seumur hidupnya, dia tidak menyangka mendapatkannya dari anak-anak sombong di kelas ini.

"Apakah barusan dia menghela napas?"

"Ya Tuhan, gadis tidak tahu diri."

"Sudah aku duga, penyebabnya adalah dia, Ino pasti seperti ini karena ucapan yang dia katakan kemarin sepulang sekolah."

"Apa kau merisak Ino? Coba katakan pada kami, sekarang!"

"Jangan mentang-mentang kau adiknya Senior Neji, maka kau bisa bersikap kurang ajar pada kami semua."

Hinata membanting buku-bukunya ke atas meja hingga membuat sebagian anak-anak yang mengerubungi dirinya kaget bukan main, lalu dia mengedarkan pandangan, dan menatap mereka secara serius. "Aku tidak suka diperlakukan seperti ini, karena aku tidak pernah melakukan penindasan pada siapa pun," ucap Hinata, tegas, tak terpengaruh mereka yang semakin marah. "Apakah kalian tidak bisa melihat wajah bahkan kedua mataku? Apa kalian pikir aku hanya diam saja dan mata sembab ini dikarenakan aku bangun kesiangan?" hampir anak-anak terlihat tidak peduli, mereka melipat kedua tangan ke depan dada. Memandangi Hinata dengan sebuah hinaan.

"Kupikir aku tidak perlu menceritakan apa yang terjadi pada Ino, karena dia tidak menginginkan semua anak-anak tahu, walau sebagian mungkin tahu apa yang terjadi padanya dan pada keluarganya, tapi memang kalian peduli soal itu?" mereka semua terdiam, karena mereka tahu, semua yang di kelas ini lebih menyukai gosip daripada kepedulian. "Kalian semua tidak pernah mencoba merasakan rasa sakit Ino, pantas, Ino lebih ingin meminta tolong padaku untuk menenangkan emosinya, dan seandainya kalian tahu, bahwa Ino ingin sekali mencakar satu per satu anak di kelas ini, apakah kalian termasuk orang-orang tidak tahu diri itu?"

"Apa kau sekarang melimpahkan semua yang terjadi pada kami? Kau ingin kami semua merasa berdosa sepertimu?"

Hinata menarik ujung bibirnya, ia membuang tawanya ke udara seolah tengah meremehkan teman-temannya. "Tidak, cukup aku saja yang merasa berdosa karena tidak berhasil meraih tangan Ino, demi menyelamatkan gadis itu, rasanya sakit, aku pikir kalian tidak akan tahan merasakan dosa semacam ini seumur hidup kalian."

Memutuskan untuk membolos pelajaran demi menenangkan diri seusai berduka, Hinata keluar dari keras, tidak ingin berdebat karena hari ini dia tidak bisa melakukannya. Ia terlalu lelah, bingung, dan semakin sulit setiap detiknya. Gadis itu keluar dari kelas dan menangis sejadi-jadinya di tengah dirinya masih menyusuri koridor, dan Naruto tahu apa yang terjadi pada Hinata.

Pemuda itu kemudian mengikuti ke mana Hinata pergi. Ke sebuah gang kecil antara gedung sekolah mereka dengan bangunan kafetaria dua tingkat. Pasti tidak akan ada yang tahu ketika dia bersembunyi di sana untuk menangis. Ia melihat wajah Ino yang tersenyum, dan semuanya terbayang menyakitkan—berputar-putar seperti permainan spin bottle game menakutkan, dengan tantangan-tangan yang paling tidak diinginkan untuk didapatkan.

"Kau menangis sendiri?" badannya tersentak, ketika mendengar suara itu berada di belakangnya. "Apakah ada yang membuatmu sedih?"

"Kukira kau sudah mendengar kabar tentang Ino," Naru mengangguk, lalu dia menggoyangkan ponselnya. "Pasti banyak yang membicarakannya."

Naru mengangguk sekali lagi. "Grub asosiasi penuh dengan kabar itu, dan kudengar kedua orangtua Ino sedang diperiksa, ada murid yang sedang bersaksi, dan kami pikir itu kau," gadis itu membenarkan, ia tidak akan menutupi masalah ini kepada kakaknya yang pertama kali tahu, juga pada Naruto selaku ketua asosiasi, dan Hinata pikir, Naru memang harusnya tahu masalah ini. "Apa yang kaulakukan sudah benar, dan jangan merasa begitu menyalahkan diri."

Masih menunduk, Naru mendekatinya kemudian memeluknya. "Tenang, aku dan kakakmu akan terus memantau kasus ini," Hinata menangis, dan rasanya tidak bisa ditahan. Ia senang jika Naru mau memberikan pelukan ketika dirinya amat membutuhkan hal tersebut. Kehangatan dan kepedulian pemuda itu sungguh-sungguh berarti dalam situasi seperti sekarang.

Ketika Hinata berhasil lepas seusai meluapkan kesedihannya, Naru mengambil sapu tangan dari saku jasnya, lalu membantu Hinata untuk menghapus air mata gadis itu, tapi di sela-sela bergerak di dekat bibir gadis itu, Naru terdiam memandangi bibir mungil itu tampak begitu manis.

Hinata tahu apa yang terjadi pada Naru, keinginan konyol yang ditunjukkan Naru mungkin tanpa sadar. Hinata memilih mendekati tembok, dan bersandar di sana, Naru menyadari gerakan itu. Sebuah keinginan yang sama, sebuah ajakan yang amat tidak pantas di saat mereka sedang dirundung duka karena siswi di sekolah ini sedang mengalami masalah, tapi mereka tetaplah seorang anak muda yang membutuhkan setidaknya kejutan penuh romantis di kehidupan mereka saat berada di sekolah.

Pemuda itu mengunci gadis itu di tembok, membungkuk dan mendekatkan wajahnya, sampai akhirnya mencicipi betapa lembutnya bibir Hinata yang kemudian terbuka. Naru ingin mencegah dirinya sendiri untuk melakukan hal ini. Tapi Hinata adalah Pengantinnya, dan mereka berdua berhak untuk melakukan hal-hal seperti ini tanpa larangan. Hanya saja status tersebut tidak ada satu pun yang tahu kecuali pemuda itu sendiri.

Di saat ciuman mereka telah usai, Naru menyadari bahwa dia salah mengambil kesempatan ini. Ia harus berhenti, tetapi Hinata menarik jasnya kembali, dan membuat keduanya berdekatan lebih intim. "Bisakah kita dapat melakukannya lebih?" tanya gadis itu, berharap banyak pada Naru, momen ini tidak boleh cepat selesai, pikirnya. "Aku tahu, bahwa tindakan semacam ini sangat bodoh, tapi aku ingin melakukannya, setidaknya meredakan rasa kesalku."

Tangan Hinata diturunkan oleh Naru, betapa kecewanya gadis itu mendapatkan penolakan seperti tempo hari. "Kau masih ingin mengajak diriku berpacaran?" Hinata bersemu merah. "Sebenarnya, apa yang kau butuhkan dariku? Di balik berpacaran."

"Bisakah kita berhubungan intim memang jika tidak ingin berpacaran?"

"Apa?" Naru terkejut bukan main. "Kau benar-benar sudah gila."

Hinata menunduk, bermain-main dengan jarinya. "Kukira kau akan langsung setuju, bukankah laki-laki lebih diuntungkan dalam hal ini?" Naru menggelengkan kepala. "Risiko terberat pada seorang gadis, tapi di sini aku tidak peduli dengan risikonya."

"Tidak adakah alasan yang lebih bisa kuterima sebelum menerima ajakan menggiurkan itu?"

"Kukira semua anak perempuan Tokyo tidak ingin terus menjadi perawan," dan itu memang benar kenyataannya. Hampir mustahil menemukan seusia Hinata tidak mengecap tentang seks. Mereka bisa menyerahkannya pada siapa pun bahkan tanpa komitmen yang jelas. "Aku ingin seperti yang lainnya, dan membahas ranjang bersama seorang teman, tentu saja memiliki pengalaman yang sama juga seperti mereka."

"Kenapa harus aku?"

"Kukira kau satu-satunya yang dapat aku percayai, dan sialnya aku tidak banyak mengenal anak laki-laki, bahkan yang ada di lingkungan sekolah ini sekalipun."

Naru mengangguk, dan berpikir kalau tiba-tiba dia menerimanya, apakah ini akan jadi hal yang benar? Ini masalah kehidupan barunya, tidak ada sangkut pautnya lagi tentang masa lalu mereka, tentu saja, mengapa mereka harus terus mengungkit masa-masa kelam tersebut. Dan menerima ajakan itu membuatnya berpikir tindakannya mungkin salah dan terlalu cepat untuk menerima tanpa basa-basi.

"Aku tidak bawa kondom," balas Naru, tidak terlalu malu untuk mengatakannya. "Aku kira tidak butuh benda itu, dan menggelikan kalau selalu aku bawa ke mana-mana, pada kenyataannya aku tidak pernah tertarik untuk melakukannya."

"Apa sekarang kau masih tidak tertarik?"

"Aku akan menjawabnya nanti jika kita sampai di hotel."

Hinata membasahi bibirnya, ketegangan mulai merayap ke punggungnya. "Jam berapa?"

"Sepulang sekolah?" Naru mencoba memberikan pilihan. "Atau kau ingin melakukannya saat malam? Tapi mungkin Neji akan menaruh curiga begitu kau keluar dari apartemen."

"Sepulang sekolah." Jawab Hinata yakin.

Siguiente capítulo